PERAN WALISONGO DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM
DI PULAU JAWA
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan
Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar handal yang sanggup mengarungi lautan
lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan
antar kepulauan Indonesia dengan daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat
Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi
titik perhatian, terutama karena hasil yang dijual disana menarik para pedagang
dan menjadi lintasan penting antara Cina dan India.[1]
Pada abad 15 para saudagar muslim telah
mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah hingga mereka memiliki
jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang pantai Utara. Komunitas ini
dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid pertama di tanah Jawa, Masjid
Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai peran besar dalam menuntaskan Islamisasi
di seluruh Jawa. Walisongo berasal dari keturunan syeikh Ahmad bin Isa Muhajir
dari Hadramaut. Ia dikenal sebagai tempat pelarian bagi para keturunan nabi
dari Arab Saudi dan daerah Arab lain yang tidak menganut syiah.[2]
Penyebaran agama Islam di Jawa terjadi pada
waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan berdirinya kerajaan Demak. Era
tersebut merupakan masa peralihan kehidupan agama, politik, dan seni budaya. Di
kalangan penganut agama Islam tingkat atas ada sekelompok tokoh pemuka agama
dengan sebutan Wali. Zaman itu pun dikenal sebagai zaman “kewalen”. Para
wali itu dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Walisanga”, yang merupakan
lanjutan konsep pantheon dewa Hindu yang jumlahnya juga Sembilan orang.[3] Adapun Sembilan orang wali yang
dikelompokkan sebagai pemangku kekuasaan pemerintah yaitu Maulana Malik
Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria,
Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.[4]
B. Batasan Masalah
Untuk menghindari penafsiran yang melebar dari penelitian ini, maka penulis
membatasi masalah hanya pada seputar peran walisongo dalam penyebaran agama Islam
di pulau Jawa.
C. Tujuan Penelitian
Tujuan penulis melakukan penelitian tentang peran walisongo dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa ini adalah untuk mengetahui gambaran umum
proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa oleh walisongo dan menganalisis
makna-makna mendalam tentang cara walisongo dalam menyebarkan agama Islam di
pulau Jawa sehingga bisa diterima oleh masyarakat.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain dapat
menambah khazanah ilmu pengetahuan dan diharapkan dapat memiliki kegunaan yang
bersifat teoritis sekaligus praktis dalam dalam wawasan dan referensi dalam
dunia akademik.
E. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah
di atas, penulis merumuskan beberapa masalah yakni :
1.
Bagaimana sejarah tentang walisongo?
2. Bagaimana cara walisongo menyebarkan agama Islam di pulau Jawa?
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Pengertian Walisongo
Walisongo terdiri dari dua kata yakni wali dan
sanga atau songo (sembilan). Kata wali berasal dari bahasa Arab. Jamaknya
adalah auliya’ yang berarti orang-orang yang tercinta, para penolong,
para pembantu dan juga berarti para pemimpin.[5]
Dalam al-Qur’an juga disebutkan pengertian
wali, sebagaimana yang ada dalam Q.S. 10 Yunus : 62-64 yang
berbunyi :
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ
لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا
يَتَّقُونَ (63) لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ
لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (64)
“Ingatlah, Sesungguhnya
wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula)
mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu
bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam
kehidupan} di akhirat, tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji)
Allah, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”.[6]
Jadi yang dimaksud waliyullah (wali Allah) dalam ayat tersebut di atas
adalah orang-orang yang selalu bertakwa kepada Allah dan mereka tidak mempunyai
rasa takut dan bersusah hati.[7] Sehingga
yang dimaksud dengan walisongo adalah sembilan wali.
B. Konsep Interaksi Sosial
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai
hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat
berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara
kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan
individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, dimana simbol diartikan sebagai
sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang
menggunakannya.[8]
Proses interaksi sosial menurut Herbert Blumer
adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang
dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu
itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir
adalah makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna
dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu.
Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process. Ada beberapa
faktor yang mendorong terjadinya interaksi sosial yakni :
1.
Tindakan sosial
2.
Kontak sosial
Proses interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat bersumber dari
beberapa faktor yaitu :
1.
Imitasi merupakan suatu tindakan sosial seseorang untuk meniru sikap,
tindakan, atau tingkah laku dan penampilan fisik seseorang.
2.
Sugesti merupakan rangsangan, pengaruh, atau stimulus yang diberikan
seseorang kepada orang lain sehingga ia melaksanakan apa yang disugestikan
tanpa berfikir rasional.
3.
Simpati merupakan suatu sikap seseorang yang merasa tertarik kepada orang
lain karena penampilan, kebijaksanaan atau pola pikirnya sesuai dengan
nilai-nilai yang dianut oleh orang yang menaruh simpati.
4.
Identifikasi merupakan keinginan sama atau identik bahkan serupa dengan
orang lain yang ditiru (idolanya).
5.
Empati merupakan proses ikut serta merasakan sesuatu yang dialami oleh
orang lain. Proses empati biasanya ikut serta merasakan penderitaan orang lain.[10]
Selain itu ada pula beberapa bentuk interaksi sosial (association processes) yaitu :
1.
Kerja sama yaitu suatu usaha bersama antara orang
perorangan atau kelompok uintuk mencapai tujuan bersama.
2.
Akomodasi yaitu proses penyesuaian diri dari
orang-perorangan.
3.
Asimilasi, pada dasarnya merupakan perubahan yang
dilakukan secara sukarela yang umum pada dimulai dari penggunaan bahasa. Syarat
asimilasi antara lain terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan
berbeda, terjadi pergaulan antar individu atau kelompok secara intensif dan
dalam waktu yang relatif lama.
4.
Akulturasi yakni proses penerimaan dan pengolahan
unsur-unsur kebudayaan asing menjadi bagian dari kebudayaan suatu kelompok
tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan asing.[11]
BAB III
PEMBAHASAN
A. Sejarah tentang Walisongo
Walisongo secara sederhana artinya sembilan
orang yang telah mencapai tingkat “wali”, suatu derajat tingkat tinggi yang
mampu mengawal babahan hawa sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri
manusia), sehingga memiliki peringkat wali.[12]
Para wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain memiliki
keterkaitan yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan
guru-murid.[13]
Adapun penjelasan tokoh-tokoh walisongo adalah sebagai berikut :
1. Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, dia adalah seorang ahli
tata negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada
tahun 1404 M. Jauh sebelum Ia datang, Islam sudah ada walaupun sedikit, ini
dibuktikan dengan adanya makam Fatimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan
tahun 1082.[14]
Dia juga memiliki beberapa nama antara lain : Maulana Maghribi,
Sunan Gresik, atau Syekh Ibrahim Asamarkandi (Sebutan dalam Babad Tanah
Jawi). Di kalangan para wali, Maulana Malik Ibrahim merupakan tokoh yang
dianggap paling senior atau wali pertama.[15]
Di kalangan rakyat jelata
Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal sangat terkenal terutama di
kalangan kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih tinggi. Sunan
Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama
sederajat, hanya orang yang beriman dan bertakwa tinggi kedudukannya di sisi
Allah. Dia mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik
dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.[16]
Di Gresik, ia juga
memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik semakin meningkat. Ia
memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang.
Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang walisongo yang dianggap sebagai ayah dari
walisongo. Ia wafat di gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.[17]
2. Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Raden Rahmat Ali Rahmatullah adalah cucu raja cempa, ayahnya bernama
Ibrahim Asmaira Kandi yang menikah dengan Puteri Raja Cempa yang bernama Dewi
Candra Wulan.[18]
Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat
berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan istrinya pun berasal dari
kalangan istana Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit, menjadi
murid Ampel. Sunan Ampel tercatat sebagai perancang Kerajaan Islam di pulau
Jawa. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Di samping
itu, Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479
bersama wali-wali lain.[19]
Pada awal Islamisasi Pulau
Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni.
Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat seperti kenduri, selamatan, sesaji
dan sebagainya tetap hidup dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang telah
memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk
sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit
meninggalkannya secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel menghargainya. Hal
tersebut terlihat dari persetujuannya
ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan
agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam.[20] Dan Ia
wafat pada tahun 1478 dimakamkan disebelah masjid Ampel.[21]
3. Raden Paku (Sunan Giri)
Sunan Giri adalah gelar yang disandang oleh Raden Paku seorang mubaligh
ternama di daerah Giri Jawa Timur pada zaman dahulu. Ia juga dikenal dengan
nama Prabu Satmata atau Sultan Abdul Faqih. Ia adalah putra dari Maulana Ishak
dari Blambang (Jawa Timur). Maulana Ishak sebetulnya adalah murid dari pada
Sunan Ampel yang ditugaskan menyebarkan agama Islam di Blambangan. Pada masa
remajanya sunan Giri berguru pada Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan ia menjadi
murid bersama-sama dengan putranya Sunan Ampel yang bernama Maulana Makdum
Ibrahim (Sunan Bonang).[22]
Nama Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian kerajaan Islam
pertama di Jawa, Demak. Ia adalah wali yang secara aktif ikut merencanakan
berdirinya negara itu serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit sebagai
penasihat militer.[23]
Sunan Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan
barang dagangan kepada rakyat Banjar yang sedang dilanda musibah. Ia pernah
bertafakkur di goa sunyi selama 40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah.
Usai bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk
mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang di bawahi dari negeri Pasai
melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya
sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang dinamakan Pesantren Giri.
Tidak berselang lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren tersebut terkenal
di seluruh Nusantara. Sunan Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik di
Jawa atau nusantara baik dilakukannya sendiri waktu muda melalui berdagang atau
bersama muridnya. Ia juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang
bernafas Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-lain.[24]
4. Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Ia Putra Sunan Ampel. Sunan
Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid.[25]
Ia dilahirkan pada tahun 1465 M, dari ibu Condrowati yang lebih dikenal dengan
Nyi Ageng Manila putri dari seorang Tumenggung dari kerajaan Majapahit yang
berkuasa di Tuban.[26]
Ia dianggap sebagai
pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir
utara Jawa Timur. Setelah belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke
Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang menjadi
muridnya berdatangan dari berbagai daerah. Sunan Bonang dan para wali lainnya
dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan
masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka
memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan
menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali
tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah Swt dan tidak
menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua
kalimat syahadat). Gamelan yang mengirinya kini dikenal dengan istilah sekaten,
yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang
dikenal dengan tembang Durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang,
bengis, dan penuh amarah.[27] Sunan
Bonang wafat di pulau Bawean pada tahun 1525 M.[28]
5. Raden Qasim (Sunan Drajad)
Nama asli Sunan Drajat adalah Syariffudin, ia juga dikenal dengan nama
“Raden Qosim”. Sunan Drajat adalah putra dari Sunan Ampel yang kelima dari ibu
Condrowati (Nyai Ageng Manila), dan adik dari Sunan Bonang (Raden Ibrahim).
Berkat hasil didikan dari ayahnya Islam ternama yang aktif berdakwah di daerah
Sedayu Jawa Timur. Ia beristri dengan Dewi Sofiah dan dikaruniai 3 (tiga) orang
putra yaitu : Pangeran Trenggono, Pangeran Sandi, dan Dewi Wuyang. Putra
pertama Sunan Drajat yaitu Pangeran Trenggono akhirnya menjadi Sultan Demak
yang sangat terkenal.[29]
Cara menyebarkan agama Islam dilakukan dengan cara menabuh seperangkat
gamelan, gending, dan tembang macopat setelah itu baru diberi ceramah Islam. Ia
juga mendirikan pesantren untuk menyiarkan agama Islam. Ia wafat pada tahun
1462 M, dan dimakamkan di desa Drajad Lamongan.[30]
6. Raden Sahid (Sunan Kalijaga)
Nama aslinya adalah Raden Sahid, ia putra Raden Sahur putra Temanggung
Wilatika Adipati Tuban. Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat
kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang
terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten
dan dibagikan kpeada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu
tangannya dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir.[31]
Setelah diusir selain mengembara, ia bertemu orang berjubah putih, dia
adalah Sunan Bonang. Lalu Raden Sahid diangkat menjadi murid, kemudian disuruh
menunggui tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh
tubuhnya berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga.[32]
Sewaktu hidupnya ia rajin berdakwah keliling dan terkenal sebagai seorang wali
yang ahli dalam bidang dakwah dan pemerintahan, dengan bukti turut mendirikan
Kerajaan Islam Demak dengan Raden Patah yang dinobatkan sebagai rajanya, yang
terkenal dalam sejarah hingga saat ini. Adapun daerah pusat dari kegiatan
da’wahnya adalah daerah pantai utara Jawa Tengah yaitu Glagah wangi Demak.[33]
7. Raden Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
Nama asli dari Sunan Kudus ialah Ja’far Shodiq. Ia adalah putra dari Raden
Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngundung di Jipang Panolan
(sebelah utara kota Blora). Ia berdakwah di daerah Jawa Tengah bagian utara
yaitu di sekitar daerah Kudus, dengan bukti peninggalan sebuah mesjid dan
menara yang pernah ia dirikan semasa hidupnya. Adapun menara Kudus itu
didirikan sekitar tahun 956 H, yang bertepatan dengan tahun 1549 Masehi di kota
Kudus.[34]
Ahli sejarah mengatakan bahwa ia terkenal sebagai senopati kerajaan Demak,
ahli agama terutama dalam ilmu tauhid, usul hadits, sastra mantiq, lebih-lebih
fiqih, oleh sebab itu ia digelari dengan sebutan waliyul ilmi.[35]
8. Raden Umar Said (Sunan Muria)
Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden
Umar Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus,
ibarat menganbil ikan tidak sampai keruh airnya. Sasaran dakwahnya adalah para pedagang, nelayan dan rakyat
jelata. Ia adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan
wayang sebagai alat dakwah dan ia pulalah yang menciptakan tembang Sinom dan
kinanthi. Ia banyak mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti nelung
dino, mitung dino, ngatus dino dan sebagainya.[36]
Lewat tembang-tembang yang diciptakannya, sunan Muria mengajak umatnya
untuk mengamalkan ajaran Islam. Karena itulan sunan Muria lebih senang
berdakwah pada rakyat jelata daripada kaum bangsawan. Cara dakwah inilah yang
menyebabkan sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah tapa ngeli
yaitu menghanyutkan diri dalam masyarakat.[37]
9. Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
Fatahillah atau Syarif Hidayatullah atau Falatehan juga dikenal dengan sebutan
Sunan Gunung Jati. Ia dilahirkan di Pasai sebelah utara daerah Aceh. Ada yang
mengatakan ia berasal serta berdarah keturunan dari Persia.[38]
Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 dia berangkat ke tanah Jawa
untuk mengamalkan ilmunya. Disana ia bersama
ibunya disambut gembira oleh
pangeran Cakra Buana. Syarifah Mudain
minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka
membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu
Syarif Hidayatullah dipanggil sunan gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan
putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra
Buana yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah Islam
dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.[39]
B. Cara Walisongo Dalam Menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa
Semua sepakat bahwa dakwah yang dilakukan oleh
para wali dengan mempertimbangkan aspek kebijaksanaan hidup. Tidak mengherankan
apabila syiar dakwahnya mudah diterima dan dipahami. Walisongo yang disebutkan
dalam sumber Babad sebagai penyebar agama Islam cukup menarik jika dilihat
peranannya sebagai penyebar agama atau sebagai cultural broker, pada
saat itu kelompok pedagang dan petani yang sebagian besar telah memeluk Islam
merupakan golongan menengah seperti halnya kiai, guru tarekat.[40]
Para wali
ini mendirikan masjid, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat
mengajarkan agama. Konon, mengajarkan agama di serambi masjid ini, merupakan
lembaga pendidikan tertua di Jawa yang sifatnya lebih demokratis. Pada masa
awal perkembangan Islam, sistem seperti ini disebut “gurukula”, yaitu seorang
guru menyampaikan ajarannya kepada beberapa murid yang duduk di depannya. Selain
prinsip-prinsip keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga diajarkan
ilmu-ilmu kanuragan, kekebalan, dan bela diri.[41]
Sebelum Islam datang dan berkembang di pulau
Jawa, masyarakat Jawa telah lama menggemari akan kesenian, baik seni
pertunjukkan wayang dengan gamelannya maupun seni tarik suara. Oleh karena itu
wali songo mengambil siasat menjadikan kesenian itu sebagai alat dakwahnya, guna
memasukkan ajaran Islam kepada masyarakat lewat apa yang selama ini menjadi
kegemarannya.[42]
Sebelum para wali mengambil wayang sebagai
alat dakwahnya terlebih dahulu mereka bermusyawarah tentang hukum dari gambar
wayang yang mirip dengan gambar manusia itu, aliran Giri yang dipelopori oleh
Sunan Giri berpendapat bahwa wayang itu hukumnya haram sebab menyerupai bentuk
manusia, sedangkan menggambar manusia menurutnya adalah haram. Sunan Kalijaga
mengusulkan agar tidak menjadi haram, gambar wayang yang ada itu diubah
bentuknya, umpamanya tangannya lebih panjang dari kakinya, hidungnya
panjang-panjang, kepalanya agak menyerupai kepala binatang dan lain-lain agar
tidak serupa persis dengan manusia, kalau sudah tidak serupa tentu saja
hukumnya tidak haram lagi. Akhirnya usul itu disetujui oleh para wali. Setelah
itu dimulailah pengubahan wayang yang dipelopori oleh Sunan Kalijaga sendiri,
peristiwa itu terjadi kira-kira pada tahun 1443 M, dan sekaligus para wali itu
menciptakan gamelannya. Untuk memainkan wayang dan gamelannya itu para walipun
mengarang cerita yang bernafaskan nilai keislaman.[43]
Kegemaran masyarakat Jawa akan seni suara atau
seni tarik suara, nampaknya mendapatkan perhatian yang serius dari para wali,
oleh karena itu mereka pun tidak ketinggalan pula untuk menciptakan lagu-lagu
yang indah, yang penuh dengan arti dan filsafah kehidupan. Di antara lagu atau
tembang ciptaan para wali itu ialah Lagu Lir Ilir ciptaan Sunan Kalijaga, lagu
Asmaradana dan pucung ciptaan Sunan Giri, lagu Durma ciptaan Sunan Bonang, lagu
Maskumambang dan Mijil ciptaan Sunan Kudus, lagu Sinom dan Kinanti ciptaan
Sunan Muria, lagu Pangkur ciptaan Sunan Drajat.[44]
Lagu-lagu yang diciptakan para wali mengandung arti ataupun makna mengajak,
menyeru kepada kebaikan serta teguran atau peringatan.
Dalam rangka menarik simpati masyarakat, para
wali juga turut serta mewarnai seni ukir yang selama ini telah ada dan
berkembang di masyarakat, namun seni ukir yang ada itu bercorak atau berbentuk
gambar-gambar manusia dan binatang, oleh para wali seni ukir itu dikembangkan
menjadi seni ukir yang berbentuk dedaunan, peti-peti klasik, alat-alat
menggantungkan gamelan dll. Bentuk-bentuk ukiran rumah adat di Kudus, Demak dam
Gresik yang hingga sampai saat ini satu dua masih dapat kita temui dan saksikan
adalah peninggalan-peninggalan di jaman wali.[45]
BAB IV
ANALISIS
A. Analisis Peran dan Tujuan Dakwah Islam Walisongo di Pulau Jawa
Sebenarnya Walisongo
adalah nama suatu dewan dakwah atau dewan mubaligh. Apabila ada salah seorang
wali tersebut pergi atau wafat maka akan segera diganti oleh wali lainnya. Era
Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara
untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam
di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan.
Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa,
juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara
langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding
yang lain.
Kesembilan
wali ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di
pulau Jawa pada abad ke-15. Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam
antara lain :
1.
Sebagai
pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal
ajaran Islam di daerahnya masing-masing.
2.
Sebagai para
pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa
hidupnya.
3.
Sebagai
orang-orang yang ahli di bidang agama Islam.
4.
Sebagai orang
yang dekat dengan Allah Swt karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga
memiliki kemampuan yang lebih.
5.
Sebagai
pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai
jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.
6.
Sebagai guru
agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
7.
Sebagai kiai
yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.
8.
Sebagai tokoh
masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya.
Berkat
kepeloporan dan perjuangan wali sembilan itulah, maka agama Islam menyebar ke
seluruh pulau Jawa bahkan sampai ke seluruh daerah di Nusantara.
Dalam menyebarkan agama Islam, pastilah
walisongo melakukan interaksi sosial dengan masyarakat Jawa. Dalam tiap
interaksi yang dilakukan oleh walisongo dengan masyarakat Jawa pada saat itu
memiliki makna dan tujuan tersendiri.
Dalam menjalankan tugas dakwah (menanamkan
nilai-nilai Islam) tentulah model dakwah walisongo tersebut sesuai dengan
tujuan dakwah Islam itu sendiri. Ada tiga tujuan dari dakwah :
1. Menanamkan aqidah yang
mantap di setiap hati seseorang, sehingga keyakinannya tentang ajaran Islam
tidak dicampuri dengan rasa keraguan, salah satu upaya walisongo dalam rangka
menanamkan aqidah Islam kepada masyarakat Jawa salah satunya adalah dengan
menggunakan sarana mitologi Hindu sebagai model untuk menanamkan aqidah Islam
oleh para walisongo adalah dilakukannya “de-dewanisasi” yang berupa
cerita-cerita yang berkaitan dengan kelemahan dan kekurangan dewa sebagai
sesembahan manusia.
Pada perkembangan
selanjutnya lahir pula mitologi dewa-dewa Hindu yang
sudah diadopsi sedemikian rupa. Dikisahkan dalam Babad Mataram misalnya, bahwa
dewa-dewa pada dasarnya adalah keturunan nabi Adam dan Ibu hawa.[46]
Dengan munculnya kisah-kisah dewa yang asal
usulnya dari keturunan Adam maka jelaslah penanaman aqidah Islam mulai makin
lama makin diyakini banyak orang dan lambat laun mengalahkan kisah mitologi
Hindu yang asli. Munculnya kisah-kisah karangan ulama tersebut, maka orientasi
perang idiologi para ulama semakin jelas mengarah kepada perombakan setting
budaya dan tradisi keagamaan yang ada.
2. Tujuan hukum, maka dakwah
harus diarahkan kepada kepatuhan setiap orang tetapi hukum yang telah disyariatkan
oleh Allah Swt. Salah satu upaya para wali dengan menyebarluaskan nilai-nilai Islam
kepada masyarakat Jawa agar mau mematuhi hukum syariat Islam adalah dengan
membentuk nilai tandingan bagi ajaran yoga-Tantra yang berasaskan malima.[47]
Pertarungan yang terjadi antara mendakwahkan konsep yang bersumber dari Islam
dan bersumber dari ajaran syiwaisme, khususnya sekte yang mengajar
yoga-Tantra pada dasarnya berlangsung secara berkesinambungan dari generasi
dengan berbagai sarana dan media. Bahkan pertarungan konsep terlihat paling
tidak sampai keabad-19, yaitu saat lahirnya dua karya sastra kejawen yang
berjudul Darmogandul dan Gatoloco.
3. Menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat Jawa sehingga terbentuk
pribadi Muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat-sifat terpuji dan
bersih dari sifat-sifat tercela. Para wali dalam menanamkan dakwah Islam di
tanah Jawa ditempuh dengan cara-cara yang sangat bijak dan adiluhung.
Strategi dakwah yang dilakukan oleh walisongo untuk
menguasai dan mendayagunakan segala sumber daya untuk mencapai tujuan bisa
diartikan segala cara yang ditempuh oleh para wali untuk mengajak manusia
ke jalan Allah dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki.
B. Analisis Cara Walisongo Menyebarkan Agama Islam
di Pulau Jawa Dengan Konsep Interaksi Sosial
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi
Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam.
Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu
banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar
dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan
masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para walisongo ini
lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Walisongo dalam melakukan dakwahnya selalu mengadakan komunikasi anatara
sesamanya, bermusyawarah, terutama dalam menghadapi berbagai macam persoalan
yang muncul. Sebagaimana mereka menghadapi ajaran dari Syeh Siti Jenar yang
mengajarkan tentang faham Wahdatul Wujud atau dengan istilah jawa
“Manunggaling kawula gusti”, bersatunya diri dengan Tuhan. Faham ini dianggap
sangat membahayakan dan bahkan dapat merusak aqidah Islam. Akhirnya para wali
itu memutuskan untuk menghukum mati bagi Syeh Siti Jenar.[48]
Dalam melaksanakan dakwah, walisongo
menggunakan beberapa bentuk interaksi sosial di antaranya adalah bentuk
akulturasi dan asimilasi. Pada awal berdakwah, walisongo menghadapi masyarakat
yang mayoritas beragama Hindu dan Budha, sehingga walisongo menggunakan
strategi yang bijak dan halus dalam menyebarkan agama Islam agar bisa diterima
oleh masyarakat. Pada saat itu, masyarakat jawa sangat kental dengan budaya
Jawa, sehingga hal yang dilakukan oleh walisongo adalah memasukkan unsur-unsur
agama Islam ke dalam budaya-budaya yang melekat dalam masyarakat Jawa saat itu.
Beberapa tindakan para wali yang mencerminkan hal ini adalah :
1.
Salah satu cara penyebaran agama Islam yang
dilakukan oleh para Wali ialah dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui
dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat (sebagai objek
dakwah), dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk
akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam
di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren
sebagai sarana pendidikan Islam.
2.
Pada awal Islamisasi
Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang
murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat seperti kenduri, selamatan,
sesaji dan sebagainya tetap hidup dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang
telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk
sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit
meninggalkannya secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel menghargainya. Hal
tersebut terlihat dari persetujuannya
ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha,
mengusulkan agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam.
3.
Sunan Bonang dan
para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan
corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik
gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam,
dengan menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para
wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah Swt dan tidak
menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua
kalimat syahadat), gamelan yang mengirinya kini dikenal dengan istilah sekaten,
yang berasal dari syahadatain.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang
saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang
menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen
bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan
pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah
satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah
dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan
memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa
ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah
(peneguhan).
4.
Sunan kalijaga menggunakan kesenian dalam
rangka penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra dan berbagai
kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam
seperti walisongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan
tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena
pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan
Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia itdak pernah meminta para penonton
untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih dipetik
dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan
ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.
5.
Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam
pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan
Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di
kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi
muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati
Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara
Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sedangkan cara
dakwah yang digunakan oleh Sunan Kudus, yakni :
-
Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah
-
Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama Islam
-
Tut Wuri Handayani
-
Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah langsung diubah
-
Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam
agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
-
Merangkul masyarakat Budha, setelah masjid, Sunan Kudus kemudian mendirikan
padasan tempat wudlu denga pancuran yang berjumlah delapan, di atas pancuran
diberi arca kepala Kebo Gumarang di atasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran
Budha “Jalan berlipat delapan atau asta sunghika marga”.
-
Selamatan Mitoni, biasanya sebelum acara selamatan diadakan membacakan
sejarah Nabi.
6.
Sunan kalijaga sangat toleran pada budaya
lokal (Hindu-Budha). Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang
pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap yakni mengikuti sambil
mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan
sendirinya kebiasaan lama hilang. Dia lah pencipta baju takwa, perayaan
sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja.
Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid
diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.
Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa
memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga.
7.
Pada tahun 1443 saka, bersamaan dengan
pergantian pemerintah Jawa yang berdasarkan Agama Budha (majapahit)
kepemerintahan berdasarkan Islam (Demak) misalnya dalam wayang Beber, wujud
wayang ini kemudian diubah menjadi wayang kulit yang tokohnya terperinci satu
persatu, yang melakukan pengubahan ini adalah para wali. Dalam hal ini para
pemuka Islam telah dapat menghilangkan unsur-unsur kemusrikan. Dalam Islam
terdapat tiga macam hukum mengenai gambar-gambar yaitu mubah, makruh dan
musyrik.[49]
Aliran Giri yang dipelopori oleh Sunan Giri berpendapat bahwa wayang itu
hukumnya haram sebab menyerupai bentuk manusia, sedangkan menggambar manusia
menurutnya adalah haram. Sunan Kalijaga mengusulkan agar tidak menjadi haram,
gambar wayang yang ada itu diubah bentuknya, umpamanya tangannya lebih panjang
dari kakinya, hidungnya panjang-panjang, kepalanya agak menyerupai kepala
binatang dan lain-lain agar tidak serupa persis dengan manusia, kalau sudah
tidak serupa tentu saja hukumnya tidak haram lagi. Akhirnya usul itu disetujui
oleh para wali. Setelah itu dimulailah pengubahan wayang yang dipelopori oleh
Sunan Kalijaga sendiri, peristiwa itu terjadi kira-kira pada tahun 1443 M, dan
sekaligus para wali itu menciptakan gamelannya. Untuk memainkan wayang dan
gamelannya itu para walipun mengarang cerita yang bernafaskan nilai keIslaman.
Adapun pelaku cerita dalam pewayangan yang terkenal hingga saat ini adalah
cerita tentang punokawan Pandowo, yang terdiri dari semar, petruk, gareng dan
bagong. Ke empat pelaku itu mengandung falsafah yang amat dalam, di antaranya
ialah sebagai berikut :
-
Semar, dari bahasa Arab ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dikatakan bahwa
kebenaran agama Islam adalah kokoh, sejahtera bagaikan kokohnya yang sudah
tertancap yakni Simaaruddunya.
-
Petruk, dari bahasa Arab ‘Fatruk’ yang artinya tinggalkan, sama
dengan kalimat fatruk kuluman siwallahi yaitu tinggalkanlah segala apa
yang selain Allah.
-
Gareng, dari bahasa Arab ‘naala qoriin’ (nala gareng), yang artinya
memperoleh banyak kawan, yaitu sebagai tujuan para wali adalah berdakwah untuk
memperoleh banyak kawan.
-
Bagong, dari bahasa Arab ‘bagha’ yang artinya lacut atau berontak,
yaitu memberontak terhadap segala sesuatu yang dhalim.[50]
Para wali mengubah wayang kulit itu bukan sekedar untuk memberantas
kemusyrikan, tetapi juga lebih untuk mengenalkan agama Islam, sehingga orang
bersedia memeluk dan mengenalkan ajaran-ajarannya.
Dalam setiap lakon dapat diambil suri tauladan atau makna yang tersirat dan
tersurat dalam setiap lakon agar manusia dapat mengambil hikmahnya. Dengan
demikian, peranan wayang lebih sebagai dasar filosofi manusia Jawa.
Di samping ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para pujangga Jawa
dikatakan, sunan Kalijaga tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia
mengarang lakon-lakon wayang yang baru, dan menjadi dalang pagelaran wayang
yang mementaskan “kalimat syahadat” ia bersedia memainkan lakon wayang dengan
syarat pihak penyelenggara pagelaran sudi mengucapkan syahadat sebagai tanda
kerelaan memeluk Islam, dan dia juga tidak pernah meminta upah
pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton juga untuk mengikutinya
mengucapkan kalimat sahadat.[51]
Di samping itu dalam berbagai lakon maupun gambaran para tokohnya
menunjukkan nilai-nilai etis, misalnya nilai kebenaran sejati, kedudukan nilai
kebenaran sejati dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua kesatria
yang baik dalam wayang selalu berusaha menjadi manusia kebenaran yang
dilambangkan oleh tindakan mereka untuk melenyapkan ketidak kebenaran (sura
dira jaya ningrat lebur dening pangastuti).
Ajaran tentang kebenaran dalam wayang merupakan ajaran pokok Resi
Wiyasa dalam lakon wahyu purbasejati mengajarkan kepada manusia untuk percaya
kepada enam hal. Yaitu: manembah (menyembah kepada Tuhan), menepi (tidak
boleh bertengkar), maguru (berguru), mengabdi kepada anak isteri, dan makarya
(bekerja) tanpa pamrih, maka perlahan-lahan ceritanya diarahkan kepada
cerita yang mengenalkan ajaran Islam. Para wali itulah yang mula-mula
memberikan pengaruh Islam kepada cerita-cerita mereka.[52]
Pertunjukan wayang yang jalannya ceritanya banyak digubah dari kitab
aslinya yaitu kitab Mahabarata semuanya mempunyai tujuan utama, yaitu
memberikan petunjuk kepada manusia ke jalan yang baik dan benar, ke jalan yang
dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk memacu cipta rasa dan karsa manusia
agar tergugah untuk ikut memperindah bebrayan agung untuk ikut mahayu
hayuning bawana. Dengan demikian, pertunjukan wayang tidak hanya sebagai
tuntunan dan alat penghibur, tetapi juga memuat tuntunan kehidupan manusia.[53]
Walisongo
banyak berperan dalam proses Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa.
Gerakan dakwah yang kultural serta sikapnya yang mampu membaur dengan
masyarakat dan mengakulturasikan antara budaya pribumi dengan ajaran dan syariat
Islam membuat kiprah dakwah mereka berhasil. Metode dakwah walisongo secara
umum bersifat kultural dipandang sangat cocok dengan kondisi masyarakat saat
itu. Sebagian besar masyarakat pribumi saat itu masih menganut ajaran
Hindu-Budha yang juga sebagai ajaran resmi dianut Kerajaan Majapahit.
Semua itu apabila kita
telaah dengan teliti adalah merupakan perjuangan dan hasil kerja keras yang
dilakukan oleh para walisongo untuk menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan di atas tentang
peran walisongo dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, dapat penulis
simpulkan beberapa hal penting sebagaimana di bawah ini :
1.
Walisongo secara sederhana artinya sembilan
orang yang telah mencapai tingkat “Wali”, suatu derajat tingkat tinggi yang
mampu mengawal babahan hawa sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri
manusia), sehingga memiliki peringkat wali. Tokoh-tokoh walisongo adalah sebagai berikut :
a.
Syekh Maulana Malik Ibrahim yang dikenal
sebagai Sunan Gresik
b.
Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel
c.
Raden Paku yang dikenal sebagai Sunan Giri
d.
Raden Makdum Ibrahim yang dikenal sebagai
Sunan Bonang
e.
Raden Qasim yang dikenal sebagai Sunan Drajad
f.
Raden Sahid yang dikenal sebagai Sunan
Kalijaga
g.
Raden Ja’far Shadiq yang dikenal sebagai Sunan
Kudus
h.
Raden Umar Said yang dikenal sebagai Sunan
Muria
i.
Syarif Hidayatullah yang dikenal sebagai Sunan
Gunung Jati
2.
Cara walisongo dalam menyebarkan agama Islam
di pulau Jawa adalah dengan gerakan dakwah
yang kultural, serta sikapnya yang mampu membaur dengan masyarakat dan
mengakulturasikan antara budaya pribumi dengan syariat Islam membuat kiprah
dakwah mereka berhasil. Beberapa metode dakwah walisongo adalah dengan
mendirikan masjid dan dengan kesenian (wayang kulit, seni suara, dan seni
ukir).
3.
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta
: Gama Media, 2002.
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan
Terjemahnya, Bandung : C.V. J-ART, 2005.
Fattah, Nur Amin, Metode Da’wah Walisongo, Pekalongan
: C.V. Bahagia, 1997.
Ibrahim, Tatang, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester 1
dan 2, Bandung : CV ARMICO, 2009.
Munir, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta :
Amzah, 2010.
Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan
Indonesia (Religi dan Filsafat), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada,
2009.
____________, Sejarah
Kebudayaan Indonesia (Sistem Sosial), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2009.
Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga (Penyebaran
Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.
Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di
Asia Tenggara, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.
Sofwan, Ridin dkk, Islamisasi Islam di Jawa
Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta :
Pustaka Pelajar, 2004.
Su’ud, Abu, Islamologi (Sejarah Ajaran dan
Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2003.
Sutrisno, Budiono Hadi, Sejarah Walisongo
Misi PengIslaman di Tanah Jawa, Yogyakarta : Graha Pustaka, 2009.
Syukur, Fatah NC, Sejarah Peradaban Islam, Semarang
: PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.
Wahyudi, Asnan dan Abu Khalid, Kisah Walisongo, Surabaya
: Karya Ilmu, tt.
Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta :
Grafindo Persada, 1994.
Internet :
http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial
http://mohammadqadarusman.blogspot.com/2013/06/makalah-interaksisosial.html
[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Grafindo Persada,
1994, hlm. 191.
[2] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Religi dan
Filsafat), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm 76.
[3] Mukhlis Paeni, Sejarah
Kebudayaan Indonesia (Sistem Sosial), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada,
2009, hlm. 128-129.
[4] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam,
Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester 1 dan 2, Bandung : CV ARMICO,
2009, hlm. 25-26.
[5] Nur Amin Fattah, Metode Da’wah Walisongo, Pekalongan : C.V.
Bahagia, 1997, hlm. 19.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : C.V.
J-ART, 2005, hlm. 217.
[7] Nur Amin Fattah, loc. cit.
[8] Lihat pada
http://mohammadqadarusman.blogspot.com/2013/06/makalah-interaksi-sosial.html
[9] Ibid.
[10] Lihat pada http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial/
[11] Lihat pada http://mohammadqadarusman.blogspot.com/2013/06/makalah-interaksi-
sosial.html
[12] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta
: Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 21-22.
[13] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi PengIslaman di Tanah
Jawa, Yogyakarta : Graha Pustaka, 2009, hlm. 16.
[14] Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban
Umat Manusia), Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2003, hlm. 125.
[15] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 28.
[16] Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki
Putra, 2009, hlm. 194.
[17] Ibid.
[18] Fatah Syukur, loc. cit.
[19] Tatang Ibrahim, op. cit., hlm. 27.
[20] Ibid., hlm. 28-29.
[21] Fatah Syukur, op. cit., hlm. 195.
[22] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 30.
[23] Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi Islam di Jawa Walisongo, Penyebar Islam
di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm.
65.
[24] Fatah Syukur, op. cit., hlm. 196.
[25] Ibid.
[26] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 29.
[27] Tatang Ibrahim, op. cit., hlm. 29.
[28] Fatah Syukur, op. cit., hlm. 196.
[29] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 30-31.
[30] Fatah Syukur, op. cit., hlm. 197.
[31] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2010, hlm.
308.
[32] Ibid.
[33] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 32.
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Fatah Syukur, op. cit., hlm. 199.
[37] Budiono Hadi Sutrisno, op. cit., hlm. 137-138.
[38] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 33.
[39] Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, Kisah Walisongo, Surabaya : Karya
Ilmu, tt, hlm. 140.
[40] Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga (Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis
Kultural), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 27.
[41] Mukhlis Paeni, op. cit., 128-129.
[42] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 46.
[43] Ibid., hlm. 47-48.
[44] Ibid., hlm. 51.
[45] Ibid., hlm. 58.
[46] Ridin Sofwan, op. cit., hlm. 248.
[47] Kalau di kalangan pengikut yoga-tantrama istilah ma-lima berkonotasi
sebagai suatu ajaran penyempurnaan batin, mereka para ulama justru mentapkan
bahwa apa yang disebut ma-lima adalah suatu konsep perbuatan yang tidak patut
dilakukan oleh manusia yang berbudi, konsep ma-lima versi ulama adalah sebagai
berikut : madat (memakan candu), main (berjudi), maling (mencuri), minum
(minum-minuman keras), dan madon (berzina), ibid., hlm, 250.
[48] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 41.
[49] Purwadi, op. cit., hlm. 121.
[50] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 47-48.
[51] Ibid., hlm. 123.
[52] Ibid., hlm. 63.
[53] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media,
2002, hlm. 177.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar