Jumat, 27 Maret 2015

PERAN WALISONGO DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI PULAU JAWA

PERAN WALISONGO DALAM PENYEBARAN AGAMA ISLAM DI PULAU JAWA


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Sejak zaman prasejarah, penduduk kepulauan Indonesia dikenal sebagai pelayar-pelayar handal yang sanggup mengarungi lautan lepas. Sejak awal abad Masehi sudah ada rute-rute pelayaran dan perdagangan antar kepulauan Indonesia dengan daerah di daratan Asia Tenggara. Wilayah Barat Nusantara dan sekitar Malaka sejak masa kuno merupakan wilayah yang menjadi titik perhatian, terutama karena hasil yang dijual disana menarik para pedagang dan menjadi lintasan penting antara Cina dan India.[1]
Pada abad 15 para saudagar muslim telah mencapai kemajuan pesat dalam usaha bisnis dan dakwah hingga mereka memiliki jaringan di kota-kota bisnis di sepanjang pantai Utara. Komunitas ini dipelopori oleh Walisongo yang membangun masjid pertama di tanah Jawa, Masjid Demak yang menjadi pusat agama yang mempunyai peran besar dalam menuntaskan Islamisasi di seluruh Jawa. Walisongo berasal dari keturunan syeikh Ahmad bin Isa Muhajir dari Hadramaut. Ia dikenal sebagai tempat pelarian bagi para keturunan nabi dari Arab Saudi dan daerah Arab lain yang tidak menganut syiah.[2]
Penyebaran agama Islam di Jawa terjadi pada waktu kerajaan Majapahit runtuh disusul dengan berdirinya kerajaan Demak. Era tersebut merupakan masa peralihan kehidupan agama, politik, dan seni budaya. Di kalangan penganut agama Islam tingkat atas ada sekelompok tokoh pemuka agama dengan sebutan Wali. Zaman itu pun dikenal sebagai zaman “kewalen”. Para wali itu dalam tradisi Jawa dikenal sebagai “Walisanga”, yang merupakan lanjutan konsep pantheon dewa Hindu yang jumlahnya juga Sembilan orang.[3] Adapun Sembilan orang wali yang dikelompokkan sebagai pemangku kekuasaan pemerintah yaitu Maulana Malik Ibrahim, Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Drajat, Sunan Giri, Sunan Muria, Sunan Kudus, Sunan Kalijaga, dan Sunan Gunung Jati.[4]
B.       Batasan Masalah
Untuk menghindari penafsiran yang melebar dari penelitian ini, maka penulis membatasi masalah hanya pada seputar peran walisongo dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa.
C.      Tujuan Penelitian
Tujuan penulis melakukan penelitian tentang peran walisongo dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa ini adalah untuk mengetahui gambaran umum proses penyebaran agama Islam di pulau Jawa oleh walisongo dan menganalisis makna-makna mendalam tentang cara walisongo dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa sehingga bisa diterima oleh masyarakat.
D.      Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini antara lain dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan dan diharapkan dapat memiliki kegunaan yang bersifat teoritis sekaligus praktis dalam dalam wawasan dan referensi dalam dunia akademik.
E.       Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan batasan masalah di atas, penulis merumuskan beberapa masalah yakni :
1.      Bagaimana sejarah tentang walisongo?
2.      Bagaimana cara walisongo menyebarkan agama Islam di pulau Jawa?



BAB II
LANDASAN TEORI
A.      Pengertian Walisongo
Walisongo terdiri dari dua kata yakni wali dan sanga atau songo (sembilan). Kata wali berasal dari bahasa Arab. Jamaknya adalah auliya’ yang berarti orang-orang yang tercinta, para penolong, para pembantu dan juga berarti para pemimpin.[5]
Dalam al-Qur’an juga disebutkan pengertian wali, sebagaimana yang ada dalam Q.S. 10 Yunus : 62-64 yang berbunyi :
أَلَا إِنَّ أَوْلِيَاءَ اللَّهِ لَا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلَا هُمْ يَحْزَنُونَ (62) الَّذِينَ آمَنُوا وَكَانُوا يَتَّقُونَ (63) لَهُمُ الْبُشْرَى فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا وَفِي الْآخِرَةِ لَا تَبْدِيلَ لِكَلِمَاتِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (64)
Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertakwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan} di akhirat, tidak ada perubahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah, yang demikian itu adalah kemenangan yang besar”.[6]
Jadi yang dimaksud waliyullah (wali Allah) dalam ayat tersebut di atas adalah orang-orang yang selalu bertakwa kepada Allah dan mereka tidak mempunyai rasa takut dan bersusah hati.[7] Sehingga yang dimaksud dengan walisongo adalah sembilan wali.
B.     Konsep Interaksi Sosial
Interaksi sosial dapat diartikan sebagai hubungan-hubungan sosial yang dinamis. Hubungan sosial yang dimaksud dapat berupa hubungan antara individu yang satu dengan individu lainnya, antara kelompok yang satu dengan kelompok lainnya, maupun antara kelompok dengan individu. Dalam interaksi juga terdapat simbol, dimana simbol diartikan sebagai sesuatu yang nilai atau maknanya diberikan kepadanya oleh mereka yang menggunakannya.[8]
Proses interaksi sosial menurut Herbert Blumer adalah pada saat manusia bertindak terhadap sesuatu atas dasar makna yang dimiliki sesuatu tersebut bagi manusia. Kemudian makna yang dimiliki sesuatu itu berasal dari interaksi antara seseorang dengan sesamanya. Dan terakhir adalah makna tidak bersifat tetap namun dapat dirubah, perubahan terhadap makna dapat terjadi melalui proses penafsiran yang dilakukan orang ketika menjumpai sesuatu. Proses tersebut disebut juga dengan interpretative process. Ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya interaksi sosial yakni :
1.      Tindakan sosial
2.      Kontak sosial
3.      Komunikasi sosial[9]
Proses interaksi sosial yang terjadi dalam masyarakat bersumber dari beberapa faktor yaitu :
1.      Imitasi merupakan suatu tindakan sosial seseorang untuk meniru sikap, tindakan, atau tingkah laku dan penampilan fisik seseorang.
2.      Sugesti merupakan rangsangan, pengaruh, atau stimulus yang diberikan seseorang kepada orang lain sehingga ia melaksanakan apa yang disugestikan tanpa berfikir rasional.
3.      Simpati merupakan suatu sikap seseorang yang merasa tertarik kepada orang lain karena penampilan, kebijaksanaan atau pola pikirnya sesuai dengan nilai-nilai yang dianut oleh orang yang menaruh simpati.
4.      Identifikasi merupakan keinginan sama atau identik bahkan serupa dengan orang lain yang ditiru (idolanya).
5.      Empati merupakan proses ikut serta merasakan sesuatu yang dialami oleh orang lain. Proses empati biasanya ikut serta merasakan penderitaan orang lain.[10]
Selain itu ada pula beberapa bentuk interaksi sosial (association processes) yaitu :
1.    Kerja sama yaitu suatu usaha bersama antara orang perorangan atau kelompok uintuk mencapai tujuan bersama.
2.    Akomodasi yaitu proses penyesuaian diri dari orang-perorangan.
3.    Asimilasi, pada dasarnya merupakan perubahan yang dilakukan secara sukarela yang umum pada dimulai dari penggunaan bahasa. Syarat asimilasi antara lain terdapat sejumlah kelompok yang memiliki kebudayaan berbeda, terjadi pergaulan antar individu atau kelompok secara intensif dan dalam waktu yang relatif lama.
4.    Akulturasi yakni proses penerimaan dan pengolahan unsur-unsur kebudayaan asing menjadi bagian dari kebudayaan suatu kelompok tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan asing.[11]







BAB III
PEMBAHASAN
A.      Sejarah tentang Walisongo
Walisongo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat “wali”, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan hawa sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki peringkat wali.[12] Para wali tidak hidup secara bersamaan. Namun satu sama lain memiliki keterkaitan yang sangat erat, bila tidak dalam ikatan darah juga dalam hubungan guru-murid.[13] Adapun penjelasan tokoh-tokoh walisongo adalah sebagai berikut :
1.      Syekh Maulana Malik Ibrahim (Sunan Gresik)
Syekh Maulana Malik Ibrahim berasal dari Turki, dia adalah seorang ahli tata negara yang ulung. Syekh Maulana Malik Ibrahim datang ke pulau Jawa pada tahun 1404 M. Jauh sebelum Ia datang, Islam sudah ada walaupun sedikit, ini dibuktikan dengan adanya makam Fatimah binti Maimun yang nisannya bertuliskan tahun 1082.[14]
Dia juga memiliki beberapa nama antara lain : Maulana Maghribi, Sunan Gresik, atau Syekh Ibrahim Asamarkandi  (Sebutan dalam Babad Tanah Jawi). Di kalangan para wali, Maulana Malik Ibrahim merupakan tokoh yang dianggap paling senior atau wali pertama.[15]
Di kalangan rakyat jelata Sunan Gresik atau sering dipanggil Kakek Bantal sangat terkenal terutama di kalangan kasta rendah yang selalu ditindas oleh kasta yang lebih tinggi. Sunan Gresik menjelaskan bahwa dalam Islam kedudukan semua orang adalah sama sederajat, hanya orang yang beriman dan bertakwa tinggi kedudukannya di sisi Allah. Dia mendirikan pesantren yang merupakan perguruan Islam, tempat mendidik dan menggembleng para santri sebagai calon mubaligh.[16]
Di Gresik, ia juga memberikan pengarahan agar tingkat kehidupan rakyat Gresik semakin meningkat. Ia memiliki gagasan mengalirkan air dari gunung untuk mengairi sawah dan ladang. Syekh Maulana Malik Ibrahim seorang walisongo yang dianggap sebagai ayah dari walisongo. Ia wafat di gresik pada tahun 882 H atau 1419 M.[17]
2.      Raden Rahmat (Sunan Ampel)
Raden Rahmat Ali Rahmatullah adalah cucu raja cempa, ayahnya bernama Ibrahim Asmaira Kandi yang menikah dengan Puteri Raja Cempa yang bernama Dewi Candra Wulan.[18]
Menurut Babad Diponegoro, Sunan Ampel sangat berpengaruh di kalangan istana Majapahit, bahkan istrinya pun berasal dari kalangan istana Raden Fatah, putra Prabu Brawijaya, Raja Majapahit, menjadi murid Ampel. Sunan Ampel tercatat sebagai perancang Kerajaan Islam di pulau Jawa. Dialah yang mengangkat Raden Fatah sebagai sultan pertama Demak. Di samping itu, Sunan Ampel juga ikut mendirikan Masjid Agung Demak pada tahun 1479 bersama wali-wali lain.[19]
Pada awal Islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya tetap hidup dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel menghargainya. Hal tersebut terlihat  dari persetujuannya ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam.[20] Dan Ia wafat pada tahun 1478 dimakamkan disebelah masjid Ampel.[21]
3.      Raden Paku (Sunan Giri)
Sunan Giri adalah gelar yang disandang oleh Raden Paku seorang mubaligh ternama di daerah Giri Jawa Timur pada zaman dahulu. Ia juga dikenal dengan nama Prabu Satmata atau Sultan Abdul Faqih. Ia adalah putra dari Maulana Ishak dari Blambang (Jawa Timur). Maulana Ishak sebetulnya adalah murid dari pada Sunan Ampel yang ditugaskan menyebarkan agama Islam di Blambangan. Pada masa remajanya sunan Giri berguru pada Raden Rahmat (Sunan Ampel) dan ia menjadi murid bersama-sama dengan putranya Sunan Ampel yang bernama Maulana Makdum Ibrahim (Sunan Bonang).[22]
Nama Sunan Giri tidak bisa dilepaskan dari proses pendirian kerajaan Islam pertama di Jawa, Demak. Ia adalah wali yang secara aktif ikut merencanakan berdirinya negara itu serta terlibat dalam penyerangan ke Majapahit sebagai penasihat militer.[23]
Sunan Giri atau Raden Paku dikenal sangat dermawan, yaitu dengan membagikan barang dagangan kepada rakyat Banjar yang sedang dilanda musibah. Ia pernah bertafakkur di goa sunyi selama 40 hari 40 malam untuk bermunajat kepada Allah. Usai bertafakkur ia teringat pada pesan ayahnya sewaktu belajar di Pasai untuk mencari daerah yang tanahnya mirip dengan yang di bawahi dari negeri Pasai melalui desa Margonoto sampailah Raden Paku di daerah perbatasan yang hawanya sejuk, lalu dia mendirikan pondok pesantren yang dinamakan Pesantren Giri. Tidak berselang lama hanya dalam waktu tiga tahun pesantren tersebut terkenal di seluruh Nusantara. Sunan Giri sangat berjasa dalam penyebaran Islam baik di Jawa atau nusantara baik dilakukannya sendiri waktu muda melalui berdagang atau bersama muridnya. Ia juga menciptakan tembang-tembang dolanan anak kecil yang bernafas Islami, seperti jemuran, cublak suweng dan lain-lain.[24]
4.      Raden Makdum Ibrahim (Sunan Bonang)
Nama aslinya adalah Raden Makdum Ibrahim. Ia Putra Sunan Ampel. Sunan Bonang terkenal sebagai ahli ilmu kalam dan tauhid.[25] Ia dilahirkan pada tahun 1465 M, dari ibu Condrowati yang lebih dikenal dengan Nyi Ageng Manila putri dari seorang Tumenggung dari kerajaan Majapahit yang berkuasa di Tuban.[26]
Ia dianggap sebagai pencipta gending pertama dalam rangka mengembangkan ajaran Islam di pesisir utara Jawa Timur. Setelah belajar di Pasai, Aceh, Sunan Bonang kembali ke Tuban, Jawa Timur, untuk mendirikan pondok pesantren. Santri-santri yang menjadi muridnya berdatangan dari berbagai daerah. Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah Swt dan tidak menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat). Gamelan yang mengirinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain. Sunan Bonang sendiri menciptakan lagu yang dikenal dengan tembang Durma, sejenis macapat yang melukiskan suasana tegang, bengis, dan penuh amarah.[27] Sunan Bonang wafat di pulau Bawean pada tahun 1525 M.[28]

5.      Raden Qasim (Sunan Drajad)
Nama asli Sunan Drajat adalah Syariffudin, ia juga dikenal dengan nama “Raden Qosim”. Sunan Drajat adalah putra dari Sunan Ampel yang kelima dari ibu Condrowati (Nyai Ageng Manila), dan adik dari Sunan Bonang (Raden Ibrahim). Berkat hasil didikan dari ayahnya Islam ternama yang aktif berdakwah di daerah Sedayu Jawa Timur. Ia beristri dengan Dewi Sofiah dan dikaruniai 3 (tiga) orang putra yaitu : Pangeran Trenggono, Pangeran Sandi, dan Dewi Wuyang. Putra pertama Sunan Drajat yaitu Pangeran Trenggono akhirnya menjadi Sultan Demak yang sangat terkenal.[29]
Cara menyebarkan agama Islam dilakukan dengan cara menabuh seperangkat gamelan, gending, dan tembang macopat setelah itu baru diberi ceramah Islam. Ia juga mendirikan pesantren untuk menyiarkan agama Islam. Ia wafat pada tahun 1462 M, dan dimakamkan di desa Drajad Lamongan.[30]
6.      Raden Sahid (Sunan Kalijaga)
Nama aslinya adalah Raden Sahid, ia putra Raden Sahur putra Temanggung Wilatika Adipati Tuban. Raden Sahid sebenarnya anak muda yang patuh dan kuat kepada agama dan orang tua, tapi tidak bisa menerima keadaan sekelilingnya yang terjadi banyak ketimpangan, hingga dia mencari makanan dari gudang kadipaten dan dibagikan kpeada rakyatnya. Tapi ketahuan ayahnya, hingga dihukum yaitu tangannya dicampuk 100 kali sampai banyak darahnya dan diusir.[31]
Setelah diusir selain mengembara, ia bertemu orang berjubah putih, dia adalah Sunan Bonang. Lalu Raden Sahid diangkat menjadi murid, kemudian disuruh menunggui tongkatnya di depan kali sampai berbulan-bulan sampai seluruh tubuhnya berlumut. Maka Raden Sahid disebut Sunan Kalijaga.[32]
Sewaktu hidupnya ia rajin berdakwah keliling dan terkenal sebagai seorang wali yang ahli dalam bidang dakwah dan pemerintahan, dengan bukti turut mendirikan Kerajaan Islam Demak dengan Raden Patah yang dinobatkan sebagai rajanya, yang terkenal dalam sejarah hingga saat ini. Adapun daerah pusat dari kegiatan da’wahnya adalah daerah pantai utara Jawa Tengah yaitu Glagah wangi Demak.[33]
7.      Raden Ja’far Shadiq (Sunan Kudus)
Nama asli dari Sunan Kudus ialah Ja’far Shodiq. Ia adalah putra dari Raden Usman Haji yang bergelar dengan sebutan Sunan Ngundung di Jipang Panolan (sebelah utara kota Blora). Ia berdakwah di daerah Jawa Tengah bagian utara yaitu di sekitar daerah Kudus, dengan bukti peninggalan sebuah mesjid dan menara yang pernah ia dirikan semasa hidupnya. Adapun menara Kudus itu didirikan sekitar tahun 956 H, yang bertepatan dengan tahun 1549 Masehi di kota Kudus.[34]
Ahli sejarah mengatakan bahwa ia terkenal sebagai senopati kerajaan Demak, ahli agama terutama dalam ilmu tauhid, usul hadits, sastra mantiq, lebih-lebih fiqih, oleh sebab itu ia digelari dengan sebutan waliyul ilmi.[35]
8.      Raden Umar Said (Sunan Muria)
Ia adalah putra dari Sunan Kalijaga dengan Dewi Saroh. Nama aslinya Raden Umar Said, dalam berdakwah ia seperti ayahnya yaitu menggunakan cara halus, ibarat menganbil ikan tidak sampai keruh airnya. Sasaran dakwahnya  adalah para pedagang, nelayan dan rakyat jelata. Ia adalah satu-satunya wali yang mempertahankan kesenian gamelan dan wayang sebagai alat dakwah dan ia pulalah yang menciptakan tembang Sinom dan kinanthi. Ia banyak mengisi tradisi Jawa dengan nuansa Islami seperti nelung dino, mitung dino, ngatus dino dan sebagainya.[36]
Lewat tembang-tembang yang diciptakannya, sunan Muria mengajak umatnya untuk mengamalkan ajaran Islam. Karena itulan sunan Muria lebih senang berdakwah pada rakyat jelata daripada kaum bangsawan. Cara dakwah inilah yang menyebabkan sunan Muria dikenal sebagai sunan yang suka berdakwah tapa ngeli yaitu menghanyutkan diri dalam masyarakat.[37]
9.      Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati)
Fatahillah atau Syarif Hidayatullah atau Falatehan juga dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati. Ia dilahirkan di Pasai sebelah utara daerah Aceh. Ada yang mengatakan ia berasal serta berdarah keturunan dari Persia.[38]
Setelah selesai menuntut ilmu pada tahun 1470 dia berangkat ke tanah Jawa untuk mengamalkan ilmunya. Disana ia bersama  ibunya disambut  gembira oleh pangeran Cakra Buana. Syarifah  Mudain minta agar diizinkan tinggal dipasumbangan Gunung Jati dan disana mereka membangun pesantren untuk meneruskan usahanya Syeh Datuk Latif  gurunya pangeran Cakra Buana. Oleh karena itu Syarif Hidayatullah dipanggil sunan gunung Jati. Lalu ia dinikahkan dengan putri Cakra Buana Nyi Pakung Wati kemudian ia diangkat menjadi pangeran Cakra Buana yaitu pada tahun 1479 dengan diangkatnya ia sebagai pangeran dakwah Islam dilakukannya melalui diplomasi dengan kerajaan lain.[39]
B.     Cara Walisongo Dalam Menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa
Semua sepakat bahwa dakwah yang dilakukan oleh para wali dengan mempertimbangkan aspek kebijaksanaan hidup. Tidak mengherankan apabila syiar dakwahnya mudah diterima dan dipahami. Walisongo yang disebutkan dalam sumber Babad sebagai penyebar agama Islam cukup menarik jika dilihat peranannya sebagai penyebar agama atau sebagai cultural broker, pada saat itu kelompok pedagang dan petani yang sebagian besar telah memeluk Islam merupakan golongan menengah seperti halnya kiai, guru tarekat.[40]
Para wali ini mendirikan masjid, baik sebagai tempat ibadah maupun sebagai tempat mengajarkan agama. Konon, mengajarkan agama di serambi masjid ini, merupakan lembaga pendidikan tertua di Jawa yang sifatnya lebih demokratis. Pada masa awal perkembangan Islam, sistem seperti ini disebut “gurukula”, yaitu seorang guru menyampaikan ajarannya kepada beberapa murid yang duduk di depannya. Selain prinsip-prinsip keimanan dalam Islam, ibadah, masalah moral juga diajarkan ilmu-ilmu kanuragan, kekebalan, dan bela diri.[41]
Sebelum Islam datang dan berkembang di pulau Jawa, masyarakat Jawa telah lama menggemari akan kesenian, baik seni pertunjukkan wayang dengan gamelannya maupun seni tarik suara. Oleh karena itu wali songo mengambil siasat menjadikan kesenian itu sebagai alat dakwahnya, guna memasukkan ajaran Islam kepada masyarakat lewat apa yang selama ini menjadi kegemarannya.[42]
Sebelum para wali mengambil wayang sebagai alat dakwahnya terlebih dahulu mereka bermusyawarah tentang hukum dari gambar wayang yang mirip dengan gambar manusia itu, aliran Giri yang dipelopori oleh Sunan Giri berpendapat bahwa wayang itu hukumnya haram sebab menyerupai bentuk manusia, sedangkan menggambar manusia menurutnya adalah haram. Sunan Kalijaga mengusulkan agar tidak menjadi haram, gambar wayang yang ada itu diubah bentuknya, umpamanya tangannya lebih panjang dari kakinya, hidungnya panjang-panjang, kepalanya agak menyerupai kepala binatang dan lain-lain agar tidak serupa persis dengan manusia, kalau sudah tidak serupa tentu saja hukumnya tidak haram lagi. Akhirnya usul itu disetujui oleh para wali. Setelah itu dimulailah pengubahan wayang yang dipelopori oleh Sunan Kalijaga sendiri, peristiwa itu terjadi kira-kira pada tahun 1443 M, dan sekaligus para wali itu menciptakan gamelannya. Untuk memainkan wayang dan gamelannya itu para walipun mengarang cerita yang bernafaskan nilai keislaman.[43]
Kegemaran masyarakat Jawa akan seni suara atau seni tarik suara, nampaknya mendapatkan perhatian yang serius dari para wali, oleh karena itu mereka pun tidak ketinggalan pula untuk menciptakan lagu-lagu yang indah, yang penuh dengan arti dan filsafah kehidupan. Di antara lagu atau tembang ciptaan para wali itu ialah Lagu Lir Ilir ciptaan Sunan Kalijaga, lagu Asmaradana dan pucung ciptaan Sunan Giri, lagu Durma ciptaan Sunan Bonang, lagu Maskumambang dan Mijil ciptaan Sunan Kudus, lagu Sinom dan Kinanti ciptaan Sunan Muria, lagu Pangkur ciptaan Sunan Drajat.[44] Lagu-lagu yang diciptakan para wali mengandung arti ataupun makna mengajak, menyeru kepada kebaikan serta teguran atau peringatan.
Dalam rangka menarik simpati masyarakat, para wali juga turut serta mewarnai seni ukir yang selama ini telah ada dan berkembang di masyarakat, namun seni ukir yang ada itu bercorak atau berbentuk gambar-gambar manusia dan binatang, oleh para wali seni ukir itu dikembangkan menjadi seni ukir yang berbentuk dedaunan, peti-peti klasik, alat-alat menggantungkan gamelan dll. Bentuk-bentuk ukiran rumah adat di Kudus, Demak dam Gresik yang hingga sampai saat ini satu dua masih dapat kita temui dan saksikan adalah peninggalan-peninggalan di jaman wali.[45]



BAB IV
ANALISIS
A.      Analisis Peran dan Tujuan Dakwah Islam Walisongo di Pulau Jawa
Sebenarnya Walisongo adalah nama suatu dewan dakwah atau dewan mubaligh. Apabila ada salah seorang wali tersebut pergi atau wafat maka akan segera diganti oleh wali lainnya. Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat "sembilan wali" ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Kesembilan wali ini mempunyai peranan yang sangat penting dalam penyebaran agama Islam di pulau Jawa pada abad ke-15. Adapun peranan walisongo dalam penyebaran agama Islam antara lain :
1.         Sebagai pelopor penyebarluasan agama Islam kepada masyarakat yang belum banyak mengenal ajaran Islam di daerahnya masing-masing.
2.         Sebagai para pejuang yang gigih dalam membela dan mengembangkan agama Islam di masa hidupnya.
3.         Sebagai orang-orang yang ahli di bidang agama Islam.
4.         Sebagai orang yang dekat dengan Allah Swt karena terus-menerus beribadah kepada-Nya, sehingga memiliki kemampuan yang lebih.
5.         Sebagai pemimpin agama Islam di daerah penyebarannya masing-masing, yang mempunyai jumlah pengikut cukup banyak di kalangan masyarakat Islam.
6.         Sebagai guru agama Islam yang gigih mengajarkan agama Islam kepada para muridnya.
7.         Sebagai kiai yang menguasai ajaran agama Islam dengan cukup luas.
8.         Sebagai tokoh masyarakat Islam yang disegani pada masa hidupnya.
Berkat kepeloporan dan perjuangan wali sembilan itulah, maka agama Islam menyebar ke seluruh pulau Jawa bahkan sampai ke seluruh daerah di Nusantara.
Dalam menyebarkan agama Islam, pastilah walisongo melakukan interaksi sosial dengan masyarakat Jawa. Dalam tiap interaksi yang dilakukan oleh walisongo dengan masyarakat Jawa pada saat itu memiliki makna dan tujuan tersendiri.
Dalam menjalankan tugas dakwah (menanamkan nilai-nilai Islam) tentulah model dakwah walisongo tersebut sesuai dengan tujuan dakwah Islam itu sendiri. Ada tiga tujuan dari dakwah :
1.      Menanamkan aqidah yang mantap di setiap hati seseorang, sehingga keyakinannya tentang ajaran Islam tidak dicampuri dengan rasa keraguan, salah satu upaya walisongo dalam rangka menanamkan aqidah Islam kepada masyarakat Jawa salah satunya adalah dengan menggunakan sarana mitologi Hindu sebagai model untuk menanamkan aqidah Islam oleh para walisongo adalah dilakukannya “de-dewanisasi” yang berupa cerita-cerita yang berkaitan dengan kelemahan dan kekurangan dewa sebagai sesembahan manusia.
Pada  perkembangan  selanjutnya  lahir  pula  mitologi  dewa-dewa Hindu yang sudah diadopsi sedemikian rupa. Dikisahkan dalam  Babad Mataram misalnya, bahwa dewa-dewa pada dasarnya adalah keturunan nabi Adam dan Ibu hawa.[46]
Dengan munculnya kisah-kisah dewa yang asal usulnya dari keturunan Adam maka jelaslah penanaman aqidah Islam mulai makin lama makin diyakini banyak orang dan lambat laun mengalahkan kisah mitologi Hindu yang asli. Munculnya kisah-kisah karangan ulama tersebut, maka orientasi perang idiologi para ulama semakin jelas mengarah kepada perombakan setting budaya dan tradisi keagamaan yang ada.
2.      Tujuan hukum, maka dakwah harus diarahkan kepada kepatuhan setiap orang tetapi hukum yang telah disyariatkan oleh Allah Swt. Salah satu upaya para wali dengan menyebarluaskan nilai-nilai Islam kepada masyarakat Jawa agar mau mematuhi hukum syariat Islam adalah dengan membentuk nilai tandingan bagi ajaran yoga-Tantra yang berasaskan malima.[47]
Pertarungan yang terjadi antara mendakwahkan konsep yang bersumber dari Islam dan bersumber dari ajaran syiwaisme, khususnya sekte yang mengajar yoga-Tantra pada dasarnya berlangsung secara berkesinambungan dari generasi dengan berbagai sarana dan media. Bahkan pertarungan konsep terlihat paling tidak sampai keabad-19, yaitu saat lahirnya dua karya sastra kejawen yang berjudul Darmogandul dan Gatoloco.
3.      Menanamkan nilai-nilai akhlak kepada masyarakat Jawa sehingga terbentuk pribadi Muslim yang berbudi luhur, dihiasi dengan sifat-sifat terpuji dan bersih dari sifat-sifat tercela. Para wali dalam menanamkan dakwah Islam di tanah Jawa ditempuh dengan cara-cara yang sangat bijak dan adiluhung.
Strategi dakwah yang dilakukan oleh walisongo untuk menguasai dan mendayagunakan segala sumber daya untuk mencapai tujuan bisa diartikan segala cara yang ditempuh oleh para  wali untuk mengajak manusia ke jalan Allah dengan memanfaatkan segala sumber daya yang dimiliki.
B.       Analisis Cara Walisongo Menyebarkan Agama Islam di Pulau Jawa Dengan Konsep Interaksi Sosial
Era Walisongo adalah era berakhirnya dominasi Hindu-Budha dalam budaya Nusantara untuk digantikan dengan kebudayaan Islam. Mereka adalah simbol penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di Jawa. Tentu banyak tokoh lain yang juga berperan. Namun peranan mereka yang sangat besar dalam mendirikan Kerajaan Islam di Jawa, juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara luas serta dakwah secara langsung, membuat para walisongo ini lebih banyak disebut dibanding yang lain.
Walisongo dalam melakukan dakwahnya selalu mengadakan komunikasi anatara sesamanya, bermusyawarah, terutama dalam menghadapi berbagai macam persoalan yang muncul. Sebagaimana mereka menghadapi ajaran dari Syeh Siti Jenar yang mengajarkan tentang faham Wahdatul Wujud atau dengan istilah jawa “Manunggaling kawula gusti”, bersatunya diri dengan Tuhan. Faham ini dianggap sangat membahayakan dan bahkan dapat merusak aqidah Islam. Akhirnya para wali itu memutuskan untuk menghukum mati bagi Syeh Siti Jenar.[48]
Dalam melaksanakan dakwah, walisongo menggunakan beberapa bentuk interaksi sosial di antaranya adalah bentuk akulturasi dan asimilasi. Pada awal berdakwah, walisongo menghadapi masyarakat yang mayoritas beragama Hindu dan Budha, sehingga walisongo menggunakan strategi yang bijak dan halus dalam menyebarkan agama Islam agar bisa diterima oleh masyarakat. Pada saat itu, masyarakat jawa sangat kental dengan budaya Jawa, sehingga hal yang dilakukan oleh walisongo adalah memasukkan unsur-unsur agama Islam ke dalam budaya-budaya yang melekat dalam masyarakat Jawa saat itu. Beberapa tindakan para wali yang mencerminkan hal ini adalah : 
1.         Salah satu cara penyebaran agama Islam yang dilakukan oleh para Wali ialah dengan cara mendakwah. Penyebaran Islam melalui dakwah ini berjalan dengan cara para ulama mendatangi masyarakat (sebagai objek dakwah), dengan menggunakan pendekatan sosial budaya. Pola ini memakai bentuk akulturasi, yaitu menggunakan jenis budaya setempat yang dialiri dengan ajaran Islam di dalamnya. Di samping itu, para ulama ini juga mendirikan pesantren-pesantren sebagai sarana pendidikan Islam.
2.         Pada awal Islamisasi Pulau Jawa, Sunan Ampel menginginkan agar masyarakat menganut keyakinan yang murni. Ia tidak setuju bahwa kebiasaan masyarakat seperti kenduri, selamatan, sesaji dan sebagainya tetap hidup dalam sistem sosio-kultural masyarakat yang telah memeluk agama Islam. Namun wali-wali yang lain berpendapat bahwa untuk sementara semua kebiasaan tersebut harus dibiarkan karena masyarakat sulit meninggalkannya secara serentak. Akhirnya, Sunan Ampel menghargainya. Hal tersebut terlihat  dari persetujuannya ketika Sunan Kalijaga dalam usahanya menarik penganut Hindu dan Budha, mengusulkan agar adat istiadat Jawa itulah yang diberi warna Islam.
3.         Sunan Bonang dan para wali lainnya dalam menyebarkan agama Islam selalu menyesuaikan diri dengan corak kebudayaan masyarakat Jawa yang sangat menggemari wayang serta musik gamelan. Mereka memanfaatkan pertunjukan tradisional itu sebagai media dakwah Islam, dengan menyisipkan napas Islam ke dalamnya. Syair lagu gamelan ciptaan para wali tersebut berisi pesan tauhid, sikap menyembah Allah Swt dan tidak menyekutukannya. Setiap bait lagu diselingi dengan syahadatain (ucapan dua kalimat syahadat), gamelan yang mengirinya kini dikenal dengan istilah sekaten, yang berasal dari syahadatain.
Sunan Bonang juga menggubah gamelan Jawa yang saat itu kental dengan estetika Hindu, dengan memberi nuansa baru. Dialah yang menjadi kreator gamelan Jawa seperti sekarang, dengan menambahkan instrumen bonang. Gubahannya ketika itu memiliki nuansa dzikir yang mendorong kecintaan pada kehidupan transedental (alam malakut). Tembang “Tombo Ati” adalah salah satu karya Sunan Bonang.
Dalam pentas pewayangan, Sunan Bonang adalah dalang yang piawai membius penontonnya. Kegemarannya adalah menggubah lakon dan memasukkan tafsir-tafsir khas Islam. Kisah perseteruan Pandawa-Kurawa ditafsirkan Sunan Bonang sebagai peperangan antara nafi (peniadaan) dan ‘isbah (peneguhan).
4.         Sunan kalijaga menggunakan kesenian dalam rangka penyebaran Islam, antara lain dengan wayang, sastra dan berbagai kesenian lainnya. Pendekatan jalur kesenian dilakukan oleh para penyebar Islam seperti walisongo untuk menarik perhatian di kalangan mereka, sehingga dengan tanpa terasa mereka telah tertarik pada ajaran-ajaran Islam sekalipun, karena pada awalnya mereka tertarik dikarenakan media kesenian itu. Misalnya, Sunan Kalijaga adalah tokoh seniman wayang. Ia itdak pernah meminta para penonton untuk mengikutinya mengucapkan kalimat syahadat. Sebagian wayang masih dipetik dari cerita Mahabarata dan Ramayana, tetapi di dalam cerita itu disispkan ajaran agama dan nama-nama pahlawan Islam.
5.         Sunan Kudus memiliki peran yang besar dalam pemerintahan Kesultanan Demak, yaitu sebagai panglima perang, penasehat Sultan Demak, Mursyid Thariqah dan hakim peradilan negara. Ia banyak berdakwah di kalangan kaum penguasa dan priyayi Jawa. Di antara yang pernah menjadi muridnya, ialah Sunan Prawoto penguasa Demak, dan Arya Penangsang adipati Jipang Panolan. Salah satu peninggalannya yang terkenal ialah Mesjid Menara Kudus, yang arsitekturnya bergaya campuran Hindu dan Islam. Sedangkan cara dakwah yang digunakan oleh Sunan Kudus, yakni :
-       Membiarkan adat istiadat lama yang sulit diubah
-       Menghindarkan konfrontasi secara langsung dalam menyiarkan agama Islam
-       Tut Wuri Handayani
-       Bagian adat istiadat yang tidak sesuai dengan mudah diubah langsung diubah
-       Merangkul masyarakat Hindu seperti larangan menyembelih sapi karena dalam agama Hindu sapi adalah binatang suci dan keramat.
-       Merangkul masyarakat Budha, setelah masjid, Sunan Kudus kemudian mendirikan padasan tempat wudlu denga pancuran yang berjumlah delapan, di atas pancuran diberi arca kepala Kebo Gumarang di atasnya hal ini disesuaikan dengan ajaran Budha “Jalan berlipat delapan atau asta sunghika marga”.
-       Selamatan Mitoni, biasanya sebelum acara selamatan diadakan membacakan sejarah Nabi.
6.         Sunan kalijaga sangat toleran pada budaya lokal (Hindu-Budha). Ia berpendapat bahwa masyarakat akan menjauh jika diserang pendiriannya. Maka mereka harus didekati secara bertahap yakni mengikuti sambil mempengaruhi. Sunan Kalijaga berkeyakinan jika Islam sudah dipahami, dengan sendirinya kebiasaan lama hilang. Dia lah pencipta baju takwa, perayaan sekatenan, grebeg maulud, Layang Kalimasada, lakon wayang Petruk Jadi Raja. Lanskap pusat kota berupa Kraton, alun-alun dengan dua beringin serta masjid diyakini sebagai karya Sunan Kalijaga.  Metode dakwah tersebut sangat efektif. Sebagian besar adipati di Jawa memeluk Islam melalui Sunan Kalijaga.
7.         Pada tahun 1443 saka, bersamaan dengan pergantian pemerintah Jawa yang berdasarkan Agama Budha (majapahit) kepemerintahan berdasarkan Islam (Demak) misalnya dalam wayang Beber, wujud wayang ini kemudian diubah menjadi wayang kulit yang tokohnya terperinci satu persatu, yang melakukan pengubahan ini adalah para wali. Dalam hal ini para pemuka Islam telah dapat menghilangkan unsur-unsur kemusrikan. Dalam Islam terdapat tiga macam hukum mengenai gambar-gambar yaitu mubah, makruh dan musyrik.[49]
Aliran Giri yang dipelopori oleh Sunan Giri berpendapat bahwa wayang itu hukumnya haram sebab menyerupai bentuk manusia, sedangkan menggambar manusia menurutnya adalah haram. Sunan Kalijaga mengusulkan agar tidak menjadi haram, gambar wayang yang ada itu diubah bentuknya, umpamanya tangannya lebih panjang dari kakinya, hidungnya panjang-panjang, kepalanya agak menyerupai kepala binatang dan lain-lain agar tidak serupa persis dengan manusia, kalau sudah tidak serupa tentu saja hukumnya tidak haram lagi. Akhirnya usul itu disetujui oleh para wali. Setelah itu dimulailah pengubahan wayang yang dipelopori oleh Sunan Kalijaga sendiri, peristiwa itu terjadi kira-kira pada tahun 1443 M, dan sekaligus para wali itu menciptakan gamelannya. Untuk memainkan wayang dan gamelannya itu para walipun mengarang cerita yang bernafaskan nilai keIslaman. Adapun pelaku cerita dalam pewayangan yang terkenal hingga saat ini adalah cerita tentang punokawan Pandowo, yang terdiri dari semar, petruk, gareng dan bagong. Ke empat pelaku itu mengandung falsafah yang amat dalam, di antaranya ialah sebagai berikut :
-       Semar, dari bahasa Arab ‘Simaar’ yang artinya Paku. Dikatakan bahwa kebenaran agama Islam adalah kokoh, sejahtera bagaikan kokohnya yang sudah tertancap yakni Simaaruddunya.
-        Petruk, dari bahasa Arab ‘Fatruk’ yang artinya tinggalkan, sama dengan kalimat fatruk kuluman siwallahi yaitu tinggalkanlah segala apa yang selain Allah.
-       Gareng, dari bahasa Arab ‘naala qoriin’ (nala gareng), yang artinya memperoleh banyak kawan, yaitu sebagai tujuan para wali adalah berdakwah untuk memperoleh banyak kawan.
-       Bagong, dari bahasa Arab ‘bagha’ yang artinya lacut atau berontak, yaitu memberontak terhadap segala sesuatu yang dhalim.[50]
Para wali mengubah wayang kulit itu bukan sekedar untuk memberantas kemusyrikan, tetapi juga lebih untuk mengenalkan agama Islam, sehingga orang bersedia memeluk dan mengenalkan ajaran-ajarannya.
Dalam setiap lakon dapat diambil suri tauladan atau makna yang tersirat dan tersurat dalam setiap lakon agar manusia dapat mengambil hikmahnya. Dengan demikian, peranan wayang lebih sebagai dasar filosofi manusia Jawa.
Di samping ajaran-ajaran yang disampaikan oleh para pujangga Jawa dikatakan, sunan Kalijaga tokoh yang paling mahir dalam mementaskan wayang. Dia mengarang lakon-lakon wayang yang baru, dan menjadi dalang pagelaran wayang yang mementaskan “kalimat syahadat” ia bersedia memainkan lakon wayang dengan syarat pihak penyelenggara pagelaran sudi mengucapkan syahadat sebagai tanda kerelaan memeluk Islam, dan dia  juga tidak pernah meminta upah pertunjukan, tetapi ia meminta para penonton juga untuk mengikutinya mengucapkan kalimat sahadat.[51]
Di samping itu dalam berbagai lakon maupun gambaran para tokohnya menunjukkan nilai-nilai etis, misalnya nilai kebenaran sejati, kedudukan nilai kebenaran sejati dalam wayang dibuktikan oleh kenyataan bahwa semua kesatria yang baik dalam wayang selalu berusaha menjadi manusia kebenaran yang dilambangkan oleh tindakan mereka untuk melenyapkan ketidak kebenaran (sura dira jaya ningrat lebur dening pangastuti).
Ajaran tentang kebenaran dalam wayang merupakan ajaran pokok Resi Wiyasa dalam lakon wahyu purbasejati mengajarkan kepada manusia untuk percaya kepada enam hal. Yaitu: manembah (menyembah kepada Tuhan), menepi (tidak boleh bertengkar), maguru (berguru), mengabdi kepada anak isteri, dan makarya (bekerja) tanpa pamrih, maka perlahan-lahan ceritanya diarahkan kepada cerita yang mengenalkan ajaran Islam. Para wali itulah yang mula-mula memberikan pengaruh Islam kepada cerita-cerita mereka.[52]
Pertunjukan wayang yang jalannya ceritanya banyak digubah dari kitab aslinya yaitu kitab Mahabarata semuanya mempunyai tujuan utama, yaitu memberikan petunjuk kepada manusia ke jalan yang baik dan benar, ke jalan yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa. Untuk memacu cipta rasa dan karsa manusia agar tergugah untuk ikut memperindah bebrayan agung untuk ikut mahayu hayuning bawana. Dengan demikian, pertunjukan wayang tidak hanya sebagai tuntunan dan alat penghibur, tetapi juga memuat tuntunan kehidupan manusia.[53]
Walisongo banyak berperan dalam proses Islamisasi di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Gerakan dakwah yang kultural serta sikapnya yang mampu membaur dengan masyarakat dan mengakulturasikan antara budaya pribumi dengan ajaran dan syariat Islam membuat kiprah dakwah mereka berhasil. Metode dakwah walisongo secara umum bersifat kultural dipandang sangat cocok dengan kondisi masyarakat saat itu. Sebagian besar masyarakat pribumi saat itu masih menganut ajaran Hindu-Budha yang juga sebagai ajaran resmi dianut Kerajaan Majapahit.
Semua itu apabila kita telaah dengan teliti adalah merupakan perjuangan dan hasil kerja keras yang dilakukan oleh para walisongo untuk menyebarkan agama Islam di pulau Jawa.






BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan pada pembahasan di atas tentang peran walisongo dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa, dapat penulis simpulkan beberapa hal penting sebagaimana di bawah ini :
1.        Walisongo secara sederhana artinya sembilan orang yang telah mencapai tingkat “Wali”, suatu derajat tingkat tinggi yang mampu mengawal babahan hawa sanga (mengawal sembilan lubang dalam diri manusia), sehingga memiliki peringkat wali. Tokoh-tokoh walisongo adalah sebagai berikut :
a.         Syekh Maulana Malik Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Gresik
b.         Raden Rahmat yang dikenal sebagai Sunan Ampel
c.         Raden Paku yang dikenal sebagai Sunan Giri
d.        Raden Makdum Ibrahim yang dikenal sebagai Sunan Bonang
e.         Raden Qasim yang dikenal sebagai Sunan Drajad
f.          Raden Sahid yang dikenal sebagai Sunan Kalijaga
g.         Raden Ja’far Shadiq yang dikenal sebagai Sunan Kudus
h.         Raden Umar Said yang dikenal sebagai Sunan Muria
i.           Syarif Hidayatullah yang dikenal sebagai Sunan Gunung Jati
2.        Cara walisongo dalam menyebarkan agama Islam di pulau Jawa adalah dengan gerakan dakwah yang kultural, serta sikapnya yang mampu membaur dengan masyarakat dan mengakulturasikan antara budaya pribumi dengan syariat Islam membuat kiprah dakwah mereka berhasil. Beberapa metode dakwah walisongo adalah dengan mendirikan masjid dan dengan kesenian (wayang kulit, seni suara, dan seni ukir).



3.         
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Darori, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2002.

Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : C.V. J-ART, 2005.

Fattah, Nur Amin, Metode Da’wah Walisongo, Pekalongan : C.V. Bahagia, 1997.

Ibrahim, Tatang, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester 1 dan 2, Bandung : CV ARMICO, 2009.

Munir, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2010.

Paeni, Mukhlis, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Religi dan Filsafat), Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2009.

____________, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Sistem Sosial), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009.

Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga (Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010.

Sofwan, Ridin dkk, Islamisasi Islam di Jawa Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004.

Su’ud, Abu, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2003.

Sutrisno, Budiono Hadi, Sejarah Walisongo Misi PengIslaman di Tanah Jawa, Yogyakarta : Graha Pustaka, 2009.

Syukur, Fatah NC, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009.

Wahyudi, Asnan dan Abu Khalid, Kisah Walisongo, Surabaya : Karya Ilmu, tt.

Yatim, Badri, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Grafindo Persada, 1994.

Internet :
http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial
http://mohammadqadarusman.blogspot.com/2013/06/makalah-interaksisosial.html




[1] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Grafindo Persada, 1994, hlm. 191.
[2] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Religi dan Filsafat), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm 76.
[3] Mukhlis Paeni, Sejarah Kebudayaan Indonesia (Sistem Sosial), Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2009, hlm. 128-129.
[4] Tatang Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, Madrasah Tsanawiyah Untuk Kelas IX Semester 1 dan 2, Bandung : CV ARMICO, 2009, hlm. 25-26.
[5] Nur Amin Fattah, Metode Da’wah Walisongo, Pekalongan : C.V. Bahagia, 1997, hlm. 19.
[6] Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnya, Bandung : C.V. J-ART, 2005, hlm. 217.
[7] Nur Amin Fattah, loc. cit.
[8] Lihat pada http://mohammadqadarusman.blogspot.com/2013/06/makalah-interaksi-sosial.html
[9] Ibid.
[10] Lihat pada http://belajarpsikologi.com/pengertian-interaksi-sosial/
[11] Lihat pada http://mohammadqadarusman.blogspot.com/2013/06/makalah-interaksi- sosial.html
[12] Saifullah, Sejarah dan Kebudayaan Islam di Asia Tenggara, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2010, hlm. 21-22.
[13] Budiono Hadi Sutrisno, Sejarah Walisongo Misi PengIslaman di Tanah Jawa, Yogyakarta : Graha Pustaka, 2009, hlm. 16.
[14] Abu Su’ud, Islamologi (Sejarah Ajaran dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia), Jakarta : PT. Rineka Cipta, 2003, hlm. 125.
[15] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 28.
[16] Fatah Syukur NC, Sejarah Peradaban Islam, Semarang : PT. Pustaka Rizki Putra, 2009, hlm. 194.
[17] Ibid.
[18] Fatah Syukur, loc. cit.
[19] Tatang Ibrahim, op. cit., hlm. 27.
[20] Ibid., hlm. 28-29.
[21] Fatah Syukur, op. cit., hlm. 195.
[22] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 30.
[23] Ridin Sofwan, dkk, Islamisasi Islam di Jawa Walisongo, Penyebar Islam di Jawa, Menurut Penuturan Babad, Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 65.
[24] Fatah Syukur, op. cit., hlm. 196.
[25] Ibid.   
[26] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 29.
[27] Tatang Ibrahim, op. cit., hlm. 29.
[28] Fatah Syukur, op. cit., hlm. 196.
[29] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 30-31.
[30] Fatah Syukur, op. cit., hlm. 197.
[31] Samsul Munir, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta : Amzah, 2010, hlm. 308.
[32] Ibid.
[33] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 32.
[34] Ibid.
[35] Ibid.
[36] Fatah Syukur, op. cit., hlm. 199.
[37] Budiono Hadi Sutrisno, op. cit., hlm. 137-138.
[38] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 33.
[39] Asnan Wahyudi dan Abu Khalid, Kisah Walisongo, Surabaya : Karya Ilmu, tt, hlm. 140.
[40] Purwadi, Dakwah Sunan Kalijaga (Penyebaran Agama Islam di Jawa Berbasis Kultural), Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2004, hlm. 27.
[41] Mukhlis Paeni, op. cit., 128-129.
[42] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 46.
[43] Ibid., hlm. 47-48.
[44] Ibid., hlm. 51.
[45] Ibid., hlm. 58.
[46] Ridin Sofwan, op. cit., hlm. 248.
[47] Kalau di kalangan pengikut yoga-tantrama istilah ma-lima berkonotasi sebagai suatu ajaran penyempurnaan batin, mereka para ulama justru mentapkan bahwa apa yang disebut ma-lima adalah suatu konsep perbuatan yang tidak patut dilakukan oleh manusia yang berbudi, konsep ma-lima versi ulama adalah sebagai berikut : madat (memakan candu), main (berjudi), maling (mencuri), minum (minum-minuman keras), dan madon (berzina), ibid., hlm, 250.
[48] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 41.
[49] Purwadi, op. cit., hlm. 121.
[50] Nur Amin Fattah, op. cit., hlm. 47-48.
[51] Ibid., hlm. 123.
[52] Ibid., hlm. 63.
[53] Darori Amin, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta : Gama Media, 2002, hlm. 177.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar