Jumat, 27 Maret 2015

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA

KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
A.    Pendahuluan
Menjadikan Hukum Tata Negara sebagai sebuah obyek kajian, tidak hanya di dalamnya membahas mengenai organisasi dan tata kerja organ-organ atau alat-alat perlengkapan negara, hubungan antar alat perlengkapan negarabaik horizontal maupun vertikal, juga mempelajari hubungan antara alat-alat perlengkapan negara dengan warga negara. Obyek kajian Hukum Tata Negara yang demikian ini tentu dilandasi oleh kenyataan bahwa proses terbentuknya negara, tidak mungkin meninggalkan salah satu unsur utamanya, yakni Warga Negara (rakyat).
Di dalam teori kedaulatan rakyat dinyatakan bahwa terbentuknya sebuah negara tidak adalah disebabkan oleh adanya kontrak sosial atau perjanjian masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa antara negara dan Warga Negara merupaka dua hal yang saling berkaitan. Bahkan tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh sebab itu masalah kewarganegaraan termasuk di dalamnya hak-hak asasi manusia menjadi pokok bahasan yang tidak akan ditinggalkan dalam mempelajari Hukum Tata Negara.
B.     Pengertian Warga Negara
Warga negara adalah sekelompok orang yang berdasarkan ketentuan hukum berstatus sebagai pendukung tertib hukum negara. Mereka mempunyai hak-hak dari negara dan kewajiban-kewajiban tertentu terhadap negara.[1]
Di lain buku disebutkan bahwa rakyat sebuah negara meliputi semua orang yang bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaan negara dan tunduk pada kekuasaan negara itu. Pada permulaan rakyat di suatu negara hanya terdiri dari orang-orang dari satu keturunan yang berasal dari satu nenek moyang, dalam hal ini faktor yang terpenting adalah pertalian darah. Akan tetapi wilayah negara itu didatangi oleh orang-orang dari negara lain yang mempunyai nenek moyang pula.
Sekarang faktor bertempat tinggal bersama juga turut menentukan apakah seseorang termasuk dalam pengertian rakyat dalam negara itu. Adapun orang-orang yang berada di wilayah suatu negara dapat dibagi atas penduduk dan bukan penduduk.
Penduduk adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh peraturan negara yang bersangkutan diperkenankan mempunyai tempat tinggal pokok (domisili) dalam wilayah negara itu. Bkan penduduk adalah mereka yang berada di wilayah suatu negara untuk sementara waktu dan tidak bermaksud bertempat tinggal di wilayah negara itu. Penduduk dapat dibagi atas:
1.      Penduduk warga negara, dengan singkat disebut warga negara, dan
2.      Penduduk bukan warga negara yang disebut orang asing.
Tiap negara biasanya menentukan dalam UU kewarganegaraan siapa yang menjadi warga negara dan siapa yang dianggap orang asing. Di indonesia kewarganegaraan itu diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006. Dalam UUD 1945 Pasal 26 dinyatakan :
1.      Yang menjadi warga negara ialah orang-orang Bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan dengan UU sebagai warga negara.
2.      Syarat-syarat yang mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan UU.[2]
C.    Asas-asas Kewarganegaraan
Layaknya sebuah organisasi dapat berdiri dengan syarat utamanya adalah anggota. Demikian halnya dengan negara yang diketahui hakikatnya sama dengan organisasi, anggotanya dinamakan warga negara dan penduduk negara.
Untuk menentukan siapa yang menjadi warga negara, masing-masing negara yang merdeka dan berdaulat berhak untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk menjadi  warga negara, sepanjang tidak bertentangan dengan pasal 15 Declaration of  human right, pasal tersebut menentukan sebagai berikut :
1.    Setiap orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
2.    Tidak seorang pun dengan semena-mena dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti kewarganegaraan.[3]
Terkait dengan syarat-syarat untuk menjadi warga negara dalam ilmu tata negara dikenal adanya dua asas kewarganegaraan, yaitu :
a)      Asas ius sanguinis adalah asas keturunan atau hubungan darah, artinya bahwa kawarganegaraan seseorang ditentukan oleh orang tuanya. Semisal seseorang adalah warga negara A karena orang tuanya adalah warga negara A.
b)      Asas ius soli adalah asas daerah kelahiran, artinya bahwa status kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh tempat kelahirannya di negara tersebut. Semisal seseorang adalah warga negara B karena dia lahirnya di negara B.[4]
 Disamping asas yang tersebut di atas, dalam menentukan kewarganegaraan dipergunakan juga dua stelsel kewarganegaraan. Stelsel itu adalah :
a)      Stelsel aktif, dan
b)      Stelsel pasif.
Menurut stelsel aktif orang harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara aktif untuk menjadi warga negara. Menurut stelsel pasif orang dengan sendirinya dianggap menjadi warga negara tanpa melakukan suatu tindakan hukum tertentu.
Berhubungan dengan kedua stelsel itu harus kita bedakan :
a)      Hak opsi, yaitu hak untuk memilih suatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif)
b)      Hak repudiasi, yaitu hak untuk menolak suatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif).[5]
Akibat adanya kebebasan bagi negara yang merdeka dan berdaulat dalam menetukan asas kewarganegaraan yang digunakan untuk menentukan warga negaranya ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi, yaitu :
a)      Apatride, yaitu adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan (tanpa kewarganegaraan), terjadi apabila menurut peraturan kewarganegaraan, seseorang tidak diakui sebagai warga negara dari negara manapun atau tidak mempunyai kewarganegaraan. Misalnya, Agus dan Ira adalah suami istri yang berstatus warga negara B yang berasas ius soli. Mereka berdomisili di negara A yang berasas ius sanguini. Kemudian lahirlah anak mereka, Budi, menurut negara A, Budi tidak diakui sebagai warga negaranya. Begitu pula menurut warga negara B juga tidak diakui sebagai warga negaranya, karena lahir di wilayah negara lain. Dengan demikian Budi tidak mempunyai kewarganegaraan atau apatride.
b)      Bipatride, yaitu adanya seorang penduduk yang mempunyai dua macam kewarganegaraan sekaligus (kewarganegaraan rangkap atau dwi-kewarganegaraan), terjadi apabila menurut peraturan dari dua negara terkait seseorang dianggap sebagai warga negara kedua negara tersebut. Misalnya, adi dan ani adalah suami istri yang berstatus warga Negara A namun mereka berdomisili di negara B. Negara A menganut asas ius-sanguinis dan negara B menganut asas ius-soli. Kemudian lahirlah anak mereka, Dani. Menurut negara A yang menganut asas ius-sanguinis, Dani adalah warga negaranya yang mengikuti kewarganegaraan orang tuanya. Menurut negara B yang menganut asas ius-soli, Dani juga warga negaranya, karena tempat kelahirannya adalah di negara B. Dengan demikian Dani mempunyai status dua kewarganegaraan atau  bipatride.[6]
Ketentuan-ketentuan yang mengatur persoalan kewarganegaraan di indonesia tercantum dalam UU kewarganegaraan Indonesia (UU No. 62 tahun 1958 yang kemudian diubah dengan UU No. 12 tahun 2006), yang pada pokoknya memakai asas ius sanguinis.
Sebelum adanya UU kewarganegaraan itu di Indonesia berlaku Peraturan Kewarganegaraan  yang lama, yang pada pokoknya mengatur asas ius soli. Sebagaimana akibat dari peraturan yang lama itu timbulah masalah dwi-kewarganegaraan di kalangan orang-orang Cina di indonesia. Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah Indonesia di RRC mengadakan persetujuan. Atas persetujuan itu diadakan kerja sama yang baik dan pengertian yang memuaskan, sehingga kedua pihak berhasil menyelesaikan soal dwi-kewarganegaraan.[7]

D.    Peraturan Perundang-undangan Kewarganegaraan
1.      Undang-Undang Dasar 1945
Menurut pasal 26 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa yang warga negara ialah orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang sebagai warga negara. Ketentuan seperti ini memberikan penegasan bahwa untuk orang-orang bangsa Indonesia asli secara otomatis merupakan warga negara, sedangkan bagi orang-orang bangsa lain untuk menjadi warga negara Indonesia harus disahkan terlebih dahulu dengan undang-undang.[8]
Sebelum disetujui rumusan pasal 26 UUD 1945 yang merupakan aturan dasar tentang kewarganegaraan, ada dua keturunan Cina yang berbeda pendapat. Apakah keturunan Cina yang di Indonesia menjadi warga negara Indonesia atau tidak. Sehubungan dengan adanya perbedaan pendapat ini, PF. Dahler seorang anggota panitia peranakan Belanda mengusulkan agar pengaturan kewarganegaraan diatur lebih lanjut dengan undang-undang, sebagaimana terlihat dalam ketentuan pasal 26 UUD 1945 sebagai berikut ;
1)   Yang menjadi warga negara adalah orang-orang bangsa Indonesia asli  dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang.
2)   Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang.[9]
Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah RI mengeluarkan suatu peraturan tentang kewarganegaraan yaitu UU No. 3 tahun 1945.
Menurut UU itu penduduk negara ialah mereka yang bertempat tinggal di Indonesia selama satu tahun berturut-turut. Selanjutnya disebutkan, bahwa yang menjadi warga negara Indonesia pada pokoknya adalah :
1)   Penduduk asli dalam daerah RI, termasuk anak-anak dari penduduk asli itu;
2)   Istri seorang warga negara Indonesia;
3)   Keturunan dari seorang warga negara yang kawin dengan wanita negara asing;
4)   Anak-anak yang lahir dalam daerah Indonesia yang oleh orang tuanya tidak diakui dengan cara yang sah;
5)   Anak-anak yang lahir dalam daerah Indonesia dan tidak diketahui siapa orang tuanya;
6)   Anak-anak yang lahir dalam waktu 300 hari setelah ayahnya, yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia, meninggal;
7)   Orang bukan penduduk asli yang paling akhir telah bertempat tinggal di Indonesia selama 5  tahun berturut-turut, dan telah berumur 21 tahun atau telah kawin. Dalam hal ini bila berkeberatan untuk menjadi warga negara indonesia, ia boleh menolak dengan keterangan, bahwa ia adalah warga negara lain;
8)   Masuk menjadi waraga negara Indonesia dengan jalan pewarganegaraan (naturalisasi).[10]
2.      Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Pada tahun 1949 Indonesia dan Belanda  melakukan kesepakatan yang berkenaan tentang pembagian warga negara sebagaimana yang terkenal dengan Persetujuan Perihal Pembagian warga negara (P3WN). Persetujuan ini kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1950 No. 2.[11]
Menurut persetujuan tersebut, penghuni tanah air Indonesia yang bukan orang asing disebut kaulanegara Belanda. Kaulanegara Belanda itu dibedakan sebagai berikut :
a.       Kaulanegara Belanda orang Belanda;
b.      Kaulanegara Belanda bukan orang Belanda, tetapi yang termasuk Bumi Putra;
c.       Kaulanegara Belanda bukan orang Belanda, tetapi juga bukan  Bumi Putra, misalnya orang-orang Timur Asing (Cina, India, Pakistan, dan lain-lain).[12]
Untuk melaksanakan lembaran Negara No. 2 Tahun 1950 maka dibentuklah PP No. 1 Tahun 1950 tentang Pelaksanaan pembagian Warga Negara. Menurut Pasal 1 PP no. 1 Tahun 1950 ditentukan keterangan tentang memilih atau menolak kebangsaan Indonesia dapat dinyatakan oleh :
1.      Hakim perdata, jika ia bertempat tinggal di pulau Jawa dan Madura.
2.      Hakim perdata, bupati, atau pejabat pamong praja, jika ia bertempat tinggal di pulau Jawa dan Madura.
3.      Komisaris agung RIS, jika ia bertempat tinggal di Kerajaan Belanda.
4.      Wakil diplomatik atau konsul RIS atau pejabat lain yang diserahi tugas kepentingan Indonesia di luar daerah peserta UNI.
5.      Pengadilan Jakarta, jika yang bersangkutan bertempat tinggal di luar peserta UNI apabila tidak ada wakil diplomatik, konsuler, atau pejabat yang ditunjuk unt uk tugas itu di negara asing tersebut.[13]
3.      Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Pasal 5 UUDS 1950 menetukan tentang kewarganegaraan Republik Indonesia sebagai berikut :
1)      Kewarganegaraan Republik Indonesia diatur oleh undang-undang.
2)      Pewarganegaraan (naturalisasi) dilakukan oleh atau dengan kuasa undang-undang.
            Untuk kepastian hukum tentang kedudukan warga negara yang telah menjadi warga negara sebelumnya baik karena peraturan perundang-undangan sebelumnya maupun berdasarkan persetujuan perihal pembagian warga negara antara RIS dengan Kerajaan Belanda, maka dibuatlah ketentuan peralihan sebagaimana ditentukan dalam pasal 144 UUD 1950.
            Dengan adanya ketentuan itu jelaslah adanya kepastian hukum siapa saja yang menjadi WNRI menurut UUDS 1950, yakni:
1)      Mereka yang telah menjadi WNI menurut UU No. 3 Tahun 1946.
2)      Mereka yang telah memilih berkebangsaan Indonesia, sebagaimana yang ditentukan LN No. 2 Tahun 1950 dan PP No. 1 Tahun 1950.
            Meskipun telah ditentukan dalam Pasal 144 UUDS 1950 tentang siapa saja yang termasuk WNI, tidaklah berarti masalah kewarganegaraan selesai. Masalah baru muncul akibat perbedaan asas kewarganegaraan yang digunakan antara Ri dan RRC, sehingga keturunan Cina di Indonesia masih memiliki dua kewarganegaraan (bipatride).
            Untuk mengakhiri masalah tersebut diadakanlah perjanjian antara pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Soenario dan pemerintah Cina diwakili oleh Chou En Lai. Perjanjian diratifikasi dengan UU No. 2 Tahun 1958 tentang Persetuan perjanjian antara RI dan RRT Mengenai Dwikewarganegaraan dan dilaksanakan dengan PP. No. 20 Tahun 1959. Kemudian UU no. 2 tahun 1958 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU No. 4 tahun 1969.
            Setelah lebih kurang delapan tahun berlaku pasal 5 UUDS 1950, barulah dapat direalisasikan dengan dibentuknya UU No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan republik indonesia. dari Pasal 1 UU No. 62 tahun 1958, ada sepuluh jenis orang-orang yang termasuk warga Negara indonesia. Kemudian apabila dibandingkan antara UU no. 62 tahun 1958 dengan UU No. 3 Tahun 1946 terdapat perbedaan yang prinsipil dalam pemakaian asas kewarganegaraan. UU no. 62 tahun 1958 menganut asas ius sanguinis (keturunan), sedangkan UU No. 3 Tahun 1946 menganut asas ius soli (kelahiran). Hal ini disebabkan suasana pembuatan UU No. 62 tahun 1958 baik perancangnya maupun ketika melakukan pembahasan undang-undang tersebut diliputi rasa kebangsaan nasional yang sedang bergelora.[14]
4.      Peretujuan Kewarganegaraan dalam KMB ( Konferensi Meja Bundar)
            Dalam KMB 1949 dicapai suatu persetujuan penentuan warga negara antara RI dan Kerajaan Belanda pada tanggal 27 desember 1949 mengenai siapa saja yang menjadi warga negara RI.[15]
E.     Undang-undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
            Undang-undang yang mengatur ihwal kewarganegaraan dalam konstitusi negara Republik Indonesia, dalam historisnya telah mengalami perbaikan-perbaikan dan perubahan yang diindikatori oleh adanya tuntutan demokratisasi dan kebutuhan reformasi lainnya, dengan tujuan agar masalah hak-hak dan perlindungan warga negara dapat diposisikan secara tepat di dalam kerangka perlindungan HAM tanpa mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
             Lahirnya UU No. 12 tahun 2006 sebagai pengganti atas UU No. 62 tahun 1958 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3 tahun 1976 tentang perubahan pasal 18 UU No. 62 tahun 1958 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia, dilatarbelakangi pertama-tama karena adanya perubahan UUD 1945 yang memberi tempat yang luas bagi perlindungan HAM yang juga berakibat terjadinya perubahan atas pasal-pasal mengenai hal-hal yang terkait dengan kewarganegaraan dan hak-haknya.[16]
            Undang-undang No. 62 Tahun 1958 secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia.
            Secara filosofis, Undang-undang tersebut masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan falsafah Pancasila, antara lain, karena bersiat diskriminatif, kurang menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara, serta kurang memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.
            Secara yuridis, landasan konstitusional pembentukan Undang-Undang tersebut adalah Undand-Undang Dasar Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 juli 1959 yang menyatakan kembali pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indaonesia Tahun 1945.
            Secara sosiologis, Undang-undang tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global.
Berdasarkan pertimbangan di atas, perlu dibentuk undang-undang kewarganegaraan yang baru  sebagai pelaksanaan pasal  26 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indaonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan agar hal-hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.[17]
            Menurut penjelasan umum undang-undang No. 12 tahun 2006, terkandung asas kewarganegaraan umum dan asas kewarganegaraan khusus. Asas kewarganegaraan umum meliputi :
1)      Asas ius sanguinis (law of the blood).
2)      Asas ius soli (law of the soil).
3)      Asas kewarganegaraan tunggal.
4)      Asas kewarganegaraan ganda terbatas.
            Adapun asas kewarganegaraan khusus yang terkandung di dalam undang-undang ini meliputi :
1)      Asas kepentingan nasional.
2)      Asas perlindungan maksimum.
3)      Asas persamaan di muka hukum dan pemerintahan.
4)      Asas kebenaran substantif.
5)      Asas nondiskriminatif.
6)      Asas pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
7)      Asas keterbukaan.
8)      Asas publisitas.[18]
Pokok materi muatan yang diatur dalam undang-Undang ini meliputi :
a)      Siapa yang menjadi Warga Negara Indonesia.
b)      Syarat dan tata cara memperoleh Kewarganegaraan Rebublik Indonesia, yang di jelaskan menurut Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2006, permohonan pewarganegaraan dapat diajukan oleh pemohon jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Adapun prosedur permohonan pewarganegaraan diatur dalam Pasal 10 sampai dengan 18 dan Pasal 22.[19]
c)      Kehilangan kewarganegaraan Republik Indonesia, yang dijelaskan dalam pasal 23 UU No. 12 Tahun 2006.
d)     Syarat dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia.
e)      Ketentuan pidana.
            Dalam undang-undang ini pengaturan mengenai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah hanya semata-mata untuk memberikan perlindungan terhadap anak tentang status kewarganegaraannya saja.
            Dengan berlakunya undang-undang ini, Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1976 tentang perubahan, pasal 18 Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
            Selain itu,  semua peraturan perundang-undangan sebelumnya yang mengatur mengenai kewarganegaraan, dengan sendirinya tidak berlaku karena tidak sesuai dengan UUD RI 1945.[20]
F.     Kesimpulan
            Dengan lahirnya UU No. 12 tahun 2006, nuansa diskriminatif yang sebelumnya sempat menjadi paradigma dalam kewarganegaraan Republik Indonesia kini sudah mulai tereduksi. Sekalipun pada taraf perkembangan selanjutnya masih perlu adanya tinjauan-tinjauan kritis yang bersifat progresif guna mencapai tatanan konstitusi yang idealis.
            Namun dari pada itu, UU No. 12 tahun 2006 telah mewujudkan kelonggaran dalam politik hukum kewarganegaraan kita saat ini. Bahkan membuka pintu lebar-lebar bagi siapa pun yang berhak dan ingin menjadi warga negara sesuai dengan tuntutan perlindungan HAM sebagai hati nurani global. Dengan demikian, siapa pun boleh dan dipermudah untuk menjadi warga negara Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang juga memudahkan dan memberi jaminan hukum agar pemerintah tidak mempersulit dalam proses administrasinya.



DAFTAR PUSTAKA
Handoyo, B. Hestu Cipto, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya.
Kansil, C. S. T, 1989, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka.
Kansil, C. S. T dan Christine S. T. Kansil, 2008, Hukum Tata Negara Republik  Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta.
Mahfudh MD, Moh, 2010, Konstitusi Dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers.
Radjab, Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta.
Zubaidi, Achmad dan Kaelan, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk perguruan Tinggi, Yogyakarta : Paradigma.




[1] Dasril Radjab, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, Jakarta, hal. 160.
[2] C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, 2008, Hukum Tata Negara Republik  Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, hal.  200-201.
[3] Dasril Radjab, Op. Cit, hal. 160-161.
[4] Achmad Zubaidi dan Kaelan, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk perguruan Tinggi, Yogyakarta : Paradigma, hal. 118.
[5] C. S. T. Kansil, Christine S. T, Op. Cit, hal. 201
[6]  Achmad Zubaidi dan Kaelan, Op.cit, hal. 118-119
[7] C. S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Op.cit, hal. 202-203.
[8] B. Hestu Cipto Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma Jaya, hal. 360.
[9] Dasril Radjab, Op. Cit, hal. 163
[10] C. S. T. Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, hal. 100.
[11] Dasril Radjab, Op. Cit, hal. 165
[12] C. S. T. Kansil, Loc. Cit.
[13] Dasril Radjab, Op. Cit, hal. 166-167.
[14] Ibid, hal. 167-170.
[15] C . S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Op.cit, hal. 204.
[16] Moh. Mahfudh MD, 2010, Konstitusi Dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali Pers, hal. 233.
[17] C . S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Op.cit, hal. 206-207.
[18] B. Hestu Cipto Handoyo, Op. cit, hal. 366-368.
[19] Ibid, hal. 371.
[20] C . S. T. Kansil dan Christine S. T. Kansil, Op.cit, hal. 208.