Jumat, 03 Juli 2015

PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM

PARTAI POLITIK DAN PEMILIHAN UMUM

A.      Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang berkedaulatan rakyat sesuai Pasal 1 ayat (2) amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan sendiri berarti kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dan itu berarti rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi di Indonesia. Dengan menyandang prinsip kedaulatan rakyat inilah mengantarkan Indonesia untuk menganut sistem demokrasi sebagai metode awal penyelenggaraan negara. Dalam sistem demokrasi haruslah dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur, melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi kekuasaan.[1] Konstitusi menempatkan rakyat di satu pihak sebagai pemilik kedaulatan tertinggi, dan lembaga negara sesuai dengan fungsinya masing-masing di pihak yang lain sebagai pelaksana kedaulatan tersebut.
Demokrasi erat kaitannya dengan pemilihan umum (pemilu). Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggaraan Pemilu: “Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945”.[2]
Lazimnya pemilu diselenggarakan untuk memilih wakil-wakil rakyat yang tergabung dalam partai politik (parpol), karena itu peserta pemilu biasanya dari partai politik. Namun demikian ada peserta perseorangan khususnya dalam pemilu untuk memilih wakil-wakil wilayah perwakilan territorial. Partai politik merupakan peserta pemilu. Dalam Pasal 22 E ayat (3) UUD 1945 dinyatakan : “Bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai Politik”.
Penempatan anggota dewan merupakan pemberian mandat oleh suatu partai politik. Partai politik memiliki arti penting dalam kehidupan demokrasi, juga sebagai roda penggerak demokrasi. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka makalah ini akan menjelaskan secara rinci mengenai partai politik dan pemilihan umum di Indonesia.
PEMBAHASAN
A.    Partai Politik
1.      Sejarah Partai Politik di Indonesia
a.       Partai Politik di Masa Penjajahan
Kehadiran partai politik dalam sejarah politik Indonesia modern dimulai pada permulaan abad ke-20. Sejalan dengan berbagai kebijakan baru pemerintah Hindia belanda yang banyak dipengaruhi oleh politik etis, berbagai asosiasi yang bersifat etnis, kebudayaan, dan keagamaan bermunculan sejak tahun 1905. Partai-partai politik bermunculan setelah Gubernur Jenderal Idenburg memberikan kekuasaan kepada Sarekat Islam bergerak secara lokal, karena ia mengira organisasi ini tidak akan terlibat ke dalam aktivitas politik. Partai-partai lain pun bermunculan dalam kurun 1910-1930, seperti Indische partij, ISDV (yang kemudian berubah menjadi Partij Komunis Hindia), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927.[3]
Sepanjang empat dasawarsa abad ke-20, partai-partai politik memberikan konstribusi yang besar dalam menumbuhkan semangat nasionalisme Indonesia, kendatipun partai-partai itu tumbuh dan berkembang berdasarkan ideologi politik yang berbeda-beda. Sarekat Islam (yang kemudian menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia), Pergerakan penyadar, dan Partai Islam Indonesia adalah partai-partai dengan ideologi politik islam; PNI dan Partai Indonesia Raya (Parindra) berideologi nasionalisme; sedangkan Partij Kominis Hindia (kemudian menjadi Parta Komunis Indonesia) berideologi komunisme. Perbedaan ideologi antar partai tersebut kerap kali menjadi pangkal pertikaian di antara pemimpin pergerakan politik pada masa penjajahan Belanda. Perbedaan strategi dalam berjuang mencapai kemerdekaan, seperti antara kelompok “kooperasi” dan “non-kooperasi”, juga menjadi sumber pertikaian. Meskipun memiliki visi politik yang berbeda-beda, partai-partai tersebut sama-sama berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka berusaha sekuat tenaga agar masyarakat awam mengerti politik dan memiliki kesadaran bahwa mereka bangsa yang terjajah dan harus berjuang mencapai kemerdekaan.[4]
b.      Partai Politik di Indonesia 1945-1965
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945, disahkanlah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang kemudian terkenal dengan sebutan UUD 1945. Tidak ada aturan rinci dalam UUD ini yang berhubungan dengan kehidupan kepartaian. Hal-hal yang bersifat tersirat, yang berhubungan dengan kehidupan kepartaian, terkandung dalam kalimat-kalimat pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasan.[5]
Meskipun UUD 1945 bersifat demokratis dan menganut asas  kedaulatan rakyat, sehari setelah UUD itu disahkan, anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengambil keputusan untuk hanya mendirikan satu partai, yang dinamai Partai Nasional Indonesia (kemudian populer dengan PNI Staatspartij). Partai ini direncanakan dipimpin oleh Soekarno-Hatta, dengan melibatkan tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan dari partai-partai pada zaman penjajahan. Namun keputusan ini banyak ditentang dengan alasan : Pertama, kelompok penentang menganggap bahwa pembentukan partai tunggal negara adalah ide yang hanya dikenal di negara yang menganut fasisme atau komunisme. Padahal, negara Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah negara demokrasi yang menjamin kebebasan rakyatnya untuk berkumpul dan berserikat. Jadi, rakyat harus diberikan kebebasan mendirikan partai-partai politik karena kekuasaan harus dibangun dari bawah, bukan direkayasa dari atas. Kedua, kelompok penentang merasa curiga bahwa penggunaan istilah PNI hanyalah taktik pendukung nasionalisme untuk mendominasi gelanggang politik Indonesia pasca kemerdekaan. Sebab, istilah PNI dengan mudah mengingatkan orang pada PNI yang didirikan oleh Soekarno pada tahun 1927.
Setelah pengumuman penundaan pembentukan PNI Staaspartij, partai-partai politik lain bermunculan. Pada tanggal 15 September 1945 berdiri Partai buruh Indonesia (PBI) untuk menghimpun kekuatan kaum buruh Indonesia di masa awal kemerdekaan. Golongan komunis segera mendirikan kembali Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 21 Oktober 1945. Golongan sosialis mendirikan PARSI (Partai Rakyat Sosialis) pada tanggal 1 November 1945. Golongan islam mendirikan Masyumi sebagai partai politik Islam satu-satunya pada tanggal 7 November 1945. Aktivitas ini diikuti oleh tokoh-tokoh Katolik dan Kristen dengan mendirikan partai berasaskan ajaran agamanya masing-masing. Smentara itu cabang-cabang PNI Staatspartij yang terlanjur terbentuk, pada tahun 1946 melebur menjadi PNI Baru. Lama-kelamaan kata “Baru” tersebut hilang dan menjadi PNI.[6]
2.      Partai Politik dan Pelembagaan Demokrasi
Partai politik mempunyai posisi (status) dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi. Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses pemerintahan dengan warga negara. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa partai politik lah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh Schattscheider “Political parties created democracy”. Oleh karena itu, partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem politik yang demokratis.[7]
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis bahkan skeptis terhadap partai politik. Pandangan yang paling serius di antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada kendaraan politik bagi sekelompok elite politik yang berkuasa atau berniat memuaskan nafsu birahi kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi sebagai alat bagi segelintir orang yang yang kebetulan beruntung memenangkan suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the general will atau kepentingan umum.[8]
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling mengendalikan dalam hubungan check and balances. Akan tetapi, jika lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif, atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrimlah yang merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan sistem check and balances dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip check and balances berdasarkan konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan demokrasi yang dikembangkan dalam suatu negara. Semua ini tentu berkaitan dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam masyarakat. Kebebasan berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat demokratis yang bersangkutan.[9] Pemerintah telah membuat aturan mengenai partai politik  yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 31 tahun 2002, kemudian menjadi Undang-Undang nomor 2 tahun 2008, dan akhirnya diperbarui lagi menjadi Undang-Undang nomor 2 tahun 2011.
3.      Fungsi Partai Politik
Pada umumnya, para ilmuan politik menggambarkan adanya beberapa fungsi dari partai politik. Fungsi partai politik Miriam Budiharjo meliputi beberapa sarana antara lain : (i) komunikasi politik, (ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) rekruitmen politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict management).[10] Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knap, fungsi partai politik itu mencakup fungsi : (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns), (iii) sarana rekruitmen politik, dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.[11]
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik mengatur pula tentang fungsi partai politik, yaitu sebagai sarana :
a)      Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga Negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b)      Penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan bangsa untuk menyejahterakan masyarakat.
c)      Penyerap, penghimpun, dann penyalur aspirasi politik masyarakat secara konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
d)     Partisipasi politik warga negara Indonesia.[12]
4.      Pembentukan Partai Politik
Pembentukan partai politik diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik. Beberapa peraturan yang menyinggung tentang pembentukan partai politik, terdapat pada :
a.       Pasal 2 yang berbunyi :
1)      Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh) orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau sudah menikah dari setiap provinsi.
a)      Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai Politik dengan akta notaris.
b)      Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota Partai Politik lain.
2)      Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
3)      Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
4)      AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit :
a)      Asas dan ciri Partai Politik;
b)      Visi dan misi Partai Politik;
c)      Nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik;
d)     Tujuan dan fungsi Partai Politik;
e)      Organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f)       Kepengurusan Partai Politik;
g)      Mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan jabatan politik;
h)      Sistem kaderisasi;
i)        Mekanisme pemberhentian anggota Partai Politik;
j)        Peraturan dan keputusan Partai Politik;
k)      Pendidikan politik;
l)        Keuangan Partai Politik; dan
m)    Mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik.
5)      Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
b.      Pasal 3 yang berbunyi :
1)      Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum.
2)      Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai Politik harus mempunyai:
a)      Akta notaris pendirian Partai Politik;
b)      Nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan perundangundangan;
c)      Kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada kabupaten/kota yang bersangkutan;
d)     Kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai tahapan terakhir pemilihan umum; dan
e)      Rekening atas nama Partai Politik.
c.       Pasal 4 yang berbunyi :
1)      Kementerian menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3 ayat (2).
2)      Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan secara lengkap.
3)      Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian dan/atau verifikasi.
4)      Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.[13]
5.      Pembubaran Partai Politik
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mendorong berbagai pihak untuk mendirikan partai politik. Persyaratan mengenai pendirian partai politik telah dibahas dalam sub bab terdahulu. Di samping harus memenuhi prsyaratan, partai politik mempunyai hak dan kewajiban. Selain itu ada larangan-larangan tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh partai politik. Pelanggaran terhadap larangan dapat mengakibatkan sebuah partai politik dibubarkan.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik memuat larangan yang tidak boleh dilanggar yaitu dalam Pasal 40 :
1)      Partai politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang sama dengan :
a.       Bendera atau lambang negara Republik Indonesia
b.      Lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah
c.       Nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional
d.      Nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi terlarang;
e.       Nama atau gambar seseorang, atau
f.       Yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau gambar Partai Politik lain.
2)      Partai politik dilarang :
a.       Melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan, atau
b.      Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
3)      Partai Politik dilarang :
a.       Menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk apapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
b.      Menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak manapun tanpa mencatumkan identitas yang jelas
c.       Menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
d.      Meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, atau
e.       Menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakila Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabuaten/Kota sebagai sumber pendanaan partai politik.
4)      Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham suatu badan usaha.
5)      Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran atau paham komunisme/marxisme-leninisme.[14]
 Pelanggaran terhadap larangan tersebut, tidak serta merta meyebabkan partai politik yang bersangkutan diancam dengan tindakan pembubaran. Sanksi bagi partai politik yang terbukti melanggar larangan-larangan tersebut ada yang bersifat administratif, ada yang bersifat perdata, dan ada pula sanksi yang bersifat pidana. Bentuk-bentuk sanksi tersebut dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 47 ayat (5) Undang Undang Nomor 2 Tahun 2008 yaitu bahwa pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang diterapkan oleh badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotaya. Disamping ketentuan tersebut, bentuk-bentuk sanksi juga terdapat dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yaitu :
1)      Partai Politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan oleh pegadilan negeri.
2)      Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dikenai saksi administratif berupa pembekuan sementara Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling lama 1 (satu) tahun.
3)      Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketetuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
4)      Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya.
5)      Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik yang bersagkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya.
6)      Pelaggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri serta asset dan sahamnya disita untuk negara.
7)      Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dikenai sanksi pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi.
Prosedur pengajuan pembubaran partai politik ke Mahkamah Kostitusi diatur dalam ketentuan Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Kostitusi yang menyatakan:
1)      Pemohon adalah Pemerintah.
2)      Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan, yang diaggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan atas pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat 60 (enam puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Registrasi Perkara Konstitusi.
Dalam ketentuan Pasal 68 belum jelas mengenai jenis pelanggaran yang seperti apa yang dapat dijadikan dasar bagi Pemerintah untuk menuntut pembubaran sebuah partai politik. Namun dapat ditafsirkan bahwa alat bukti surat yang dipakai untuk menilai permohonan yang diajukan oleh Pemerintah dalam hal ini adalah :
a)      Anggaran dasar
b)      Anggaran rumah tangga
c)      Laporan kegiatan partai politik yang bersangkutan.
Jika salah satu dari ketiganya ditemukan bukti adanya hal-hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah Konstitusi dapat membubarkan Partai Politik yang bersangkutan dengan putusan yang bersifat final dan mengikat.[15]
Sampai dengan saat sekarang ini, Mahkamah Konstitusi belum pernah memutus perkara pembubaran partai politik, karena permohonan untuk pembubaran partai politik belum pernah diajukan ke Mahkamah Konstitusi oleh Pemerintah. Hal ini dapat dimengerti, karena pembubaran partai politik tidak hanya dapat dilakukan dengan permohonan kepada Mahkamah Konstitusi tetapi pembubaran partai politik dapat terjadi karena alasan-alasan lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 hanya menentukan bahwa sebuah partai politik bubar apabila:
a)      Membubarkan diri atas keputusan sediri
b)      Menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau
c)      Dibubarkan oleh Mahkamah Kostitusi.
Selama ini partai politik bubar dengan alasan membubarkan diri atas keputusan sendiri atau mengggabungkan diri dengan partai politik lain.
6.         Kepengurusan Partai Politik
Keanggotaan atau kepengurusan partai politik diatur oleh UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008 tentang partai politik, yang terdapat pada :
a.       Pasal 16 yang berbunyi :
1)      Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik apabila :
-          Meninggal dunia;
-          Mengundurkan diri secara tertulis;
-          Menjadi anggota Partai Politik lain; atau
-          Melanggar AD dan ART.
2)      Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART.
3)      Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
b.      Pasal 19 yang berbunyi :
1)      Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara.
2)      Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi.
3)      Kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.
-          Kepengurusan Partai Politik tingkat kecamatan berkedudukan di ibu kota kecamatan.
4)      Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan.
c.       Pasal 23 yang berbunyi :
1)      Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai dengan AD dan ART.
2)      Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat pusat didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak terbentuknya kepengurusan yang baru.
3)      Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak diterimanya persyaratan.
d.      Pasal 29 yang berbunyi :
1)      Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk menjadi :
-          Anggota Partai Politik;
-          Bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
-          Bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah; dan
-          Bakal calon Presiden dan Wakil Presiden.
(1a) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
2)      Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan perundang-undangan.
3)      Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a), dan ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD dan ART.[16]
7.         Keuangan Partai Politik
Perihal keuangan atau dana partai politik dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 83 tahun 2012 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2009 tentang bantuan dana kepada partai politik, yang berbunyi di antaranya :
a)      Pasal 1 Ayat (2) : Bantuan keuangan adalah bantuan keuangan yang bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya didasarkan atas jumlah perolehan suara, dengan prioritas penggunaan untuk pendidikan politik.
b)      Pasal 9 yang berbunyi :
1)      Bantuan keuangan kepada Partai Politik digunakan sebagai dana penunjang kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat Partai Politik.
2)      Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari APBN atau APBD.
3)      Bantuan Keuangan kepada Partai Politik digunakan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat paling sedikit 60 % (enam puluh persen).
c)      Pasal 10 yang berbunyi :
Kegiatan pendidikan politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 ayat (1) bertujuan untuk:
a.       meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b.      meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c.       meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
d)     Pasal 12A yang berbunyi :
1.      Partai Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran bantuan keuangan yang bersumber dari dana APBN dan APBD kepada BPK secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diperiksa paling lambat 1 (satu) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
2.      Pemeriksaan atas laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah selesai dilakukan oleh BPK paling lama 3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
3.      BPK menyampaikan hasil pemeriksaan atas laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Partai Politik paling lama 1 (satu) bulan setelah pemeriksaan selesai dilakukan.[17]
Selain itu, masalah keuangan partai politik juga diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, sebagai berikut :
a.       Pasal 34 yang berbunyi :
1)      Keuangan Partai Politik bersumber dari:
a)      Iuran anggota;
b)      Sumbangan yang sah menurut hukum; dan
c)      Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
2)      Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa.
3)      Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.
a.       Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat. (3b) Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan:
-          Pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan Republik Indonesia;
-          Pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan pengkaderan anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.
4)      Bantuan keuangan dan laporan penggunaan bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan (3a) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
b.      Pasal 35 yang berbunyi :
1)      Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang diterima Partai Politik berasal dari :
a)      Perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART;
b)      Perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan
c)      Perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) per perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.
2)      Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan dan kemandirian Partai Politik.[18]
8.         Pengawasan Partai Politik
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Partai Politik oleh Mahkamah Agung, ditetapkan bebrapa aturan pengawasan partai politik di antaranya :
a.       Di dalam Pasal 2 yang berbunyi “Mahkamah Agung melaksanakan tugas pengawasan terhadap partai politik agar mentaati atau tidak melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta menjalankan hak dan kewajiban sebaik-baiknya.”
b.      Pasal 3 yang berbunyi :
1)      Mahkamah Agung mempunyai wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang dalam rangka penjatuhan sanksi terhadap partai politik yang melanggar ketentuan perundang-undangan dan pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung  setelah melalui proses peradilan.
2)      Kewenangan Mahkamah Agung dalam rangka pengawasan merupakan kegiatan yang bersifat preventif dan represif, dengan tetap memperhatikan sikap kemandirian partai politik dalam rangka mengatur rumah tangga organisasinya.
3)      Dalam hal pelaksanaan pengawasan atas laporan keuangan partai politik, Mahkamah Agung dapat menunjuk Akuntan Publik apabila dianggap perlu untuk melakukan audit terhadap laporan keuangan tersebut.[19]
9.         Peradilan Partai Politik
Partai politik dan pemilu dalam suatu negara adalah 2 (dua) unsur yang sangat penting, untuk melihat apakah negara itu diselenggarakan dengan system pemerintahan yang demokratis atau tidak. Bagi negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi, pemilu merupakan atribut sekaligus tolok ukur dari nilai-nilai dasar demokrasi yang dianutnya. M. Rusli Karim mengemukakan, pemilu merupakan salah satu sarana utama untuk menegakkan tatanan demokrasi (kedaulatan rakyat), yang berfungsi sebagai alat menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi, bukan sebagai tujuan demokrasi.[20] Sedangkan, partai politik seperti dikemukakan Schattscheider ‘political parties created democracy’. Jadi partai politiklah yang membentuk demokrasi, bukan sebaliknya.[21]
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, partai politik merupakan salah satu peserta pemilu, disamping perorangan. Partai politik melalui pemilu dapat mencalonkan kader atau anggotanya, serta simpatisan atau pihak lain untuk dapat dipilih dan duduk dalam jabatan-jabatan kenegaraan atau pemerintahan. Dengan memenangkan pemilu, partai politik dapat menguasai dan mempengaruhi jalannya pemerintahan. Parai politik dalam menjalankan garis politik atau keputusan-keputusan politiknya dapat berurusan dengan pengadilan. Beberapa jenis perkara yang dapat melibatkan partai politik di pengadilan diantaranya adalah :
a.       Sengketa internal partai politik;
b.      Sengketa antar partai politik atau antara partai politik dengan subjek hukum lainnya;
c.       Pertentangan antara partai politik dengan pemerintah;
d.      Perselisihan mengenai hasil pemilihan umum (pemilu) antara partai politik sebagai peserta pemilu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu.[22]
Beberapa peraturan yang menyangkut fungsi peradilan yang menangani perkara pemilu, adalah :
a.       Untuk perkara pidana pemilu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyerahkan wewenang peradilannya secara atributif kepada Peradilan Umum (Pengadilan Negeri). Pasal 254 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menentukan 'Pengadilan negeri dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana Pemilu menggunakan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini'.
b.      Untuk perkara pelanggaran administrasi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyerahkan wewenang peradilannya secara atributif kepada Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pasal 249 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menentukan 'Pelanggaran administrasi pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota sesuai dengan tingkatannya'.
c.       Untuk perkara penetapan hasil Pemilihan umum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyerahkan wewenang peradilannya secara atributif kepada Mahkamah Konstitusi. Pasal 259 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menentukan : 'Dalam hal terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional, peserta pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi'.
B.     Pemilihan Umum (Pemilu)
1.      Konsep Dasar Pemilu
Hampir tidak ada sistem pemerintahan yang bersedia menerima cap tidak demokratis, maka hampir tidak ada sistem pemerintahan yang tidak menjalankan pemilu. Pemilu hakikatnya merupakan sistem penjaringan pejabat publik yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia dengan sistem pemerintahan demokrasi.[23]
Bagi sejumlah negara yang menerapkan atau mengklaim diri sebagai negara demokrasi (berkedaulatan rakyat), pemilu memang dianggap sebagai lambang sekaligus tolak ukur utama dari demokrasi. Artinya, pelaksanaan dan hasil pemilu merupakan refleksi dari suasana keterbukaan dan aplikasi dari nilai dasar demokrasi, di samping perlu adanya kebebasan berpendapat dan berserikat yang dianggap cerminan pendapat warga negara. Alasannya, pemilu memang akan melahirkan suatu representatif aspirasi rakyat yang tentu saja berhubungan erat dengan legitimasi bagi pemerintah. Melalui pemilu, demokrasi sebagai sistem yang menjamin kebebasan warga negara terwujud melalui  penyerapan suara sebagai bentuk partisipasi publik secara luas. Dengan kata lain pemilu merupakan simbol kedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat berarti rakyatlah yang mempunyai kekuasaan yang tertinggi, rakyatlah yang menentukan corak dan cara pemerintahan, dan rakyatlah yang menentukan tujuan apa yang hendak dicapai.[24]
Dilihat dari segi hukum, kedaulatan hakikatnya merupakan kekuasaan tertinggi yang harus dimiliki oleh negara. Kekuasaan tersebut meliputi : Pertama, kekuasaan tertinggi untuk menentukan serta melaksanakan hukum terhadap semua orang dan golongan yang terdapat dalam lingkungan kekuasaannya atau kedaulatan ke dalam (internal sovereignty); Kedua, kekuasaan tertinggi yang tidak diturunkan dari kekuasaan lain yang tidak dimiliki oleh pihak lain (intervensi negara lain) atau kedaulatan keluar (external sovereignty).
Salah satu ciri negara demokrasi adalah melaksanakan pemilu dalam waktu-waktu tertentu. Pemilu pada hakikatnya merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat dan sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya untuk menjalankan pemerintahan. Kenyataannya, hanya pemerintahan yang representatiflah yang dianggap meiliki legitimasi dari rakyat untuk memimpin dan mengatur pemerintahan. Sehingga dengan melalui pemilu, klaim jajaran elite pemerintahan bekerja untuk dan atas nama kepentingan rakyat menjadi dapat diakui.[25]  
2.      Tujuan Pemilu
Sebagai sarana pelaksanaan atas kedaulatan rakyat berdasarkan Pancasila dalam Negara Republik Indonesia, maka tujuan pemilu adalah :
a.       Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib
b.      Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
c.       Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga negara[26] 
Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam pembukaan dan pasal 1 UUD 1945, Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat. Yang dimaksudkan disini adalah kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain tercermin dilaksanakan pemilu dalam waktu tertentu. Pemilu dalam rangka memberi kesempatan kepada warga negara untuk melaksanakan haknya, memiliki tujuan :
a.       Untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan kedaulatan yang dipunyai
b.      Terbuka kemungkinan baginya untuk duduk dalam badan perwakilan rakyat sebagai wakil yang dipercayakan oleh para pemilihnya
Pemilu sangat besar artinya bagi partai politik karena memiliki manfaat, diantaranya :
a.       Untuk mengetahui seberapa besar sesungguhnya para pendukungnya
b.      Jika menang, sebagai media untuk menjalankan programnya
Dengan demikian, maka pada dasarnya pemilu sangat penting artinya bagi warga negara, paratai politik, dan pemerintah. Bagi pemerintah yang dihasilkan dari pemilu yang jujur, berarti pemerintah tersebut mendapatkan dukungan yang sebenarnya dari rakyat. Tetapi sebaliknya, jika pemilu dilaksanakan dengan tidak jujur, maka dukungan rakyat tersebut bersifat semu. Dari sudut pemilu sendiri, ketiga tujuan pemilu baru bisa tercapai jika pemilu dilaksanakan dengan jujur, sehingga setiap warga negara memberikan pilihan berdasarkan hati nuraninya.[27]
3.      Ciri dan Sistem Pemilu
Secara konseptual, terdapat dua mekanisme yang dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil, yaitu :
a.       Menciptakan seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih ke dalam suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil (electoral system)
b.      Menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi
Sementara itu, Ranney menyebutkan bahwa ciri-ciri suatu pemilu yang benar-benar bebas meliputi : (1) diselenggarakan secara reguler; (2) pilihan yang benar-benar berarti; (3) kebebasan menempatkan calon; (4) kebebasan mengetahui dan mendiskusikan pilihan-pilihan; (5) hak pilih orang dewasa yang universal; (6) perlakuan yang sama dalam pemberian suara; (7) pendaftaran pemilih yang bebas; dan (8) penghitungan dan pelaporan hasil yang tepat.[28]
Sistem pemilihan sendiri memiliki arti penting terutama berkaitan dengan sistem pemerintahan berdasar demokrasi perwakilan. Berbagai sistem pemilihan dengan variasi masing-masing menunjukkan indikasi keunggulan dan kelemahan.
a.       Sistem pemilihan mekanis
Sistem ini menempatkan rakyat sebagai suatu masa individu-individu yang sama. Jadi sistem ini mengutamakan individu sebagai pengenal hak pihak aktif dan memandang rakyat (korps pemilih) sebagai suatu masa individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara (suara sendiri) dalam setiap pemilihan.
Secara substansial sistem pemilihan mekanis memiliki ciri-ciri antara lain :
a)      Partai-partai yang mengorganisasi pemilihan-pemilihan dan memimpin pemilih berdasarkan sistem Bi Party dan Multy Party (liberalisme, sosialisme) atau Uni Party (komunisme)
b)      Badan Perwakilan Rakyat bersifat badan perwakilan kepentingan umum rakyat seluruhnya
c)      Badan Perwakilan yang dihasilkan disebut parlemen
d)     Wakil-wakil yang duduk di badan perwakilan rakyat langsung dipilih[29]
1)      Sistem pemilihan mekanis distrik
Sistem pemilihan distrik disebut juga dengan istilah sistem perwakilan distrik atau mayoritas (single member constituencies). Dinamakan sistem distrik karena wilayah negara dibagi dalam distrik-distrik pemilihan (daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama dengan jumlah anggota Dewan perwakilan Rakyat yang dikehendaki. Misalnya, jumlah anggota DPR ditentukan 300 orang, maka wilayah negara dibagi dalam 300 distrik pemilihan (daerah pemilihan, atau constituence). Jadi setiap distrik pemilihan diwakili oleh satu orang wakil di DPR.
Disebut sistem mayoritas karena untuk menentukan siapa-siapa yang dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu distrik ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara terbanyak. Dengan kata lain, bahwa seorang  kandidat harus memenangkan jumlah terbanyak dari suara sah agar dapat terpilih dalam suatu daerah pemilihan distrik.
Ditinjau dari segi calon dan keberadaan partai-partai kecil, maka sistem distrik ini memiliki kelebihan diantaranya :
a.       Setiap calon dari suatu distrik pemilihan biasanya dari distrik tersebut atau bisa dari distrik lain, tetapi orang tersebut dikenal secara baik oleh distrik yang bersangkutan.
b.      Suara yang diberikan kepada calon yang tidak terpilih tidak dapat digabungkan, maka sistem ini mempunyai kecenderungan untuk terjadinya penyederhanaan partai. 
Sistem distrik pada dasarnya terdiri dari dua bentuk. Pertama, formula pluralitas (pluralitas sederhana). Formula ini dipakai dalam pemilihan wakil tunggal (presiden, gubernur, dan lainnya). Pada formula ini, seorang kandidat atau parpol dinyatakan menang apabila meraih suara terbanyak dari konstituen. Kedua, formula mayoritas. Dalam pola ini kandidat atau parpol dinyatakan menang apabila berhasil mengumpulkan suara pemilih mayoritas (50% + 1) dan mereka berhak mewakili distriknya.[30]
Lijpart mengemukakan dua formula antisipasi suara 50% + 1 dalam formula mayoritas tidak terpenuhi.
a.       Formula campuran pluralitas-mayoritas. Di mana jika mayoritas (50% + 1) tidak terpenuhi karena banyaknya kandidat, maka diadakan pemberian suara ke dua (formula pluralitas). Caranya penentuan pemenang berdasarkan suara terbanyak yang berhasil dikumpulkan.
b.      Formula mayoritas pada pemilihan kedua (majority run off), yaitu pemilihan yang hanya diikuti oleh dua kandidat yang memperoleh suara terbesar pada pemilihan putaran pertama, sehingga dihasilkan pemenang dengan suara mayoritas.[31]
2)      Sistem proposional
Sistem proporsional adalah sistem dimana presentasi kursi di badan perwakilan rakyat yang dibagi pada tiap-tiap partai politik, disesuaikan dengan presentasi jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap partai politik itu. Dengan lain kata sistem ini merupakan metode transfer suara pemilih di kursi parlemen sesuai dengan proporsi perolehan suara pemilih. Umpamanya jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilu adalah 1.000 orang dan jumlah kursi di badan perwakilan rakyat ditentukan 10 kursi, berarti untuk satu orang wakil rakyat dibutuhkan 100 suara. Pembagian kursi di badan perwakilan tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai politik yang ikut pemilu itu.[32]
Secara umum mekanisme sistem pemilihan proporsional diterapkan dengan cara kerja sebagai berikut :
a)      Menentukan alokasi jumlah kursi pada satu daerah pemilihan (provinsi)
b)      Menentukan besarnya kuota untuk menentukan berapa suara yang dibutuhkan parpol agar mendapatkan satu kursi di parlemen. Besarnya kuota ini tergantung pada jumlah penduduk dan jumlah kursi yang diperebutkan
Secara umum penentuan quto dalam pengisian kursi lembaga perwakilan rakyat dapat diformulasikan sebagai :
Q =
Dengan       Q = Quota
                    X = Jumlah penduduk di suatu wilayah
                    V = Jumlah kursi yang tersedia
Misalnya jumlah penduduk di daerah pemilihan Jawa Timur berjumlah 36.206.060 dan jumlah kursi yang disediakan sejumlah 86 kursi, maka quota yang harus dihasilkan suatu parpol untuk memiliki satu kursi adalah :
Q =  =
                                     Q = 421.000,70
Artinya bahwa untuk mendapat satu kursi sebagai wakil dari Jawa Timur, maka suatu parpol minimal harus mendapat suara sekitar 421.000 suara.[33]
Sistem proporsional dapat digunakan dalam 300 variasi, tetapi ada dua metode yang utama yaitu : (a) Hare System (Single Tranferable Vote); dan (b) List System.
a)      Hare System (Single Tranferable Vote)
Dalam sistem hare system pemilih diberi kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari distrik yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk pemilih ditentukan dan jika jumlah keutaman pertama dipenuhi dan apabila ada sisa suara, maka kelebihan ini dapat dipindahkan kepada calon berikutnya. Contoh jumlah suara yang dibutuhkan untuk dapat terpilih sebagai wakil rakyat adalah 1000 suara. Calon-calon dari parpol X mendapat suara sebagai berikut, A untuk daerah 1 mendapat 1900, B untuk daerah 2 mendapat 900 suara, C untuk daerah 3 mendapat 700 suara dan D untuk daerah 4 mendapat 500 suara, apabila diimbangkan suara 1000, maka dari parpol X hanyalah calon A dari daerah 1, sedangkan calon-calon lain tidak mendapat imbangan suara. Tetapi dipraktekkan hare system, maka kelebihan suara A sebanyak 100 dipindahkan ke calon B, sehingga calon B juga terpilih karena mendapat suara 1000. Kelebihan 800 dari A dapat dipindahkan ke C dan seterusnya. Sehingga akhirnya C dan D juga terpilih sebab jumlah suara menjadi 1000 sesuai dengan jumlah imbangan suara yang diperlukan. Dari sini dengan hare system  yang semula calon A saja yang terpilih akhirnya semua calon dapat terpilih. Konsekuensi sistem ini adalah bahwa perhitungan suara agak berbelit-belit dan membutuhkan kecermatan.[34]  
b)      List System (List Proporsional Representative)
Menurut model list system (sistem daftar) pemilih diminta memilih di antara daftar-daftar calon yang berisi sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu.
Ditinjau dari segi keberadaan suara dan partai-partai kecil sistem proporsional memiliki kelebihan, antara lain :
1.      Disenangi oleh partai kecil karena penggabung suara memungkinkan parpol kecil mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat yang semula tidak mencapai jumlah imbangan suara yang ditentukan
2.      Tidak ada suara yang hilang, karena sering dikatakan bahwa sistem tersebut sangat demokratis, yaitu ada jaminan bahwa setiap suara yang diberikan akan ada wakilnya di lembaga perwakilan rakyat
3.      Karena semua parpol mendapat kursi di lembaga perwakilan rakyat yang tidak ditentukan secara daerah, maka sistem tersebut menakibatkan lembaga perwakilan rakyat bersifat nasional.
Selain kelebihan yang dimiliki sistem proporsional juga memiliki kekurangan-kekurangan, antara lain :
1.      Penghitungan suara yang berbelit-belit sudah dipastikan perlu biaya banyak
2.      Kurang disenangi oleh parpol yang besar
3.      Para pemilih akan memilih parpol bukan calon perorangan seperti sistem distrik. Akibatnya para pemilih tidak mengetahui siapakah sebenarnya wakilnya di lembaga perwakilan rakyat, kekuasaan parpol sangat besar (karena parpol lah yang memilih siapa-siapa calon parpol untuk pemilu)
4.      Ada kecenderungan bertambahnya parpol dan perpecahan sebagai akibat ambisi perorangan yang ingin duduk sebagai pemimpin parpol.
Dalam penerapannya, sistem daftar ini terdiri dari dua bentuk. Pertama, sistem daftar tertutup. Pada sistem ini para pemilih harus memilih partai politik peserta pemilu dan tidak bisa memilih calon legislatif. Karena dalam sistem ini calon legislatif ditentukan dan diurutkan sepihak oleh parpol yang mencalonkannya. Kedua, sistem terbuka. Dalam sistem ini pemilih tidak hanya memilih partai, tetapi juga memilih calon legislatif, karena parpol tidak menentukan dan mengurutkan calon secara sepihak.[35]
b.      Sistem organis
Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan hidup berdasarkan : geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu (ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan lembaga-lembaga sosial (universitas). Masyarakat dipandang sebagai satu organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi tertentu dalam totalite organisme itu, seperti persekutuan-persekutuan hidup tersebut di atas. Berdasarkan pandangan ini, persekutuan-persekutuan hidup itulah yang diutamakannya sebagai pengendali hak pilih, atau dengan kata lain pengendali hak untuk mengurus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat.
Pemilihan organis secara substansial memiliki ciri-ciri :
1)      Organis, partai-partai politik itu tidak perlu dikembangkan, karena pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam lingkungan sendiri
2)      Badan perwakilan bersifat badan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus persekutuan hidup itu
3)      Pemilihan organis menghasilkan dewan korporatif
4)      Wakil-wakil dalam badan perwakilan berdasarkan pengangkatan.[36]
4.      Pemilu 2004 dalam Kerangka Budaya Politik Bangsa
a.       Sistem, Tujuan, dan Asas Pemilu 2004
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 alinea keempat, antara lain menyatakan bahwa : “Kemerdekaan kebangsaan Indonesia disusun dalam Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1 Ayat (2), menyatakan bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar.” Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.[37]
Ketentuan mengenai pemilihan umum diatur dalam Bab VIIB dengan judul pemilihan umum UUD 1945, hasil amandemen. Bab ini memuat hanya satu pasal saja, yaitu pasal 22E yang merupakan hasil perubahan ketiga UUD 1945. Pasal 22E Ayat (1) menyatakan : “Pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun sekali.” Hal ini merupakan asas pemilu yang dijelaskan lebih lanjut di dalam Pasal 22E Ayat (2) untuk apa pemilu dilaksanakan, yaitu untuk memilih anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Kemudian pasal 22E ayat (4) menjelaskan bahwa pemilu diselenggarakan oleh lembaga independen yang bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jadi ini merupakan acuan utama di dalam pelaksanaan pemilu.[38]
Selain pasal 22E masih terdapat pasal lainnya yang menyebutkan kata-kata pemilihan umum, yaitu Pasal 6A Ayat (1) yang menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan langsung oleh rakyat. Bagaimana maksud Pasal 6A Ayat (1) dipilih langsung oleh rakyat itu diatur lebih lanjut di dalam Pasal 6A Ayat (2), (3), (4), dan (5) yang berbicara tentang masalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 18 Ayat (3) UUD 1945 menjelaskan pemilihan umum untuk anggota DPRD. Pasal 19 Ayat (1) UUD 1945 mengatur tentang masalah pemilu untuk memilih anggota DPR. Selanjutnya Pasal 22C Ayat (1) menjelaskan masalah pemilihan umum untuk memilih anggota DPD. Khusus Pasal 24C mengatur tentang lembaga yang berwenang dalam menyelesaikan sengketa hasil pemilu.
Operasionalisasi dari Pasal 22E UUD 1945 tersebut dituangkan dalam UU No. 12 Tahun 2004 tentang Pemilu Legislatif yang mengakomodasi pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD; UU 23 Tahun 2004 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mengakomodasi pelaksanaan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden.[39]
Pemilu 2004 merupakan pemilu yang amat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya, baik pada Orde Lama, Orde Baru maupun awal orde reformasi tahun 1999 lalu. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain : Pertama, pemilu diselenggarakan oleh KPU yang mandiri, non-partisan, tidak memihak, transparan dan profersional karena rekrutmen keanggotaannya melibatkan seluruh masyarakat melalui mekanisme fit and propertest. Kedua, pemilu diselenggarakan untuk memilih wakil rakyat (DPR, DPRD Prov., DPRD Kota/Kab.) dan wakil daerah (DPD), serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh dukungan rakyat sehingga memiliki derajat legitimasi yang tinggi. Ketiga, pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.[40]
Selain itu, secara substansial dalam pemilihan wakil rakyat yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat sistem Pemilu 2004 dilaksanakan dalam dua sistem yaitu :
1)      Sistem Proporsional dengan Daftar Caleg terbuka
Sistem proporsional merupakan sistem pemilu, dimana jumlah kursi yang diperoleh suatu perpol peserta pemilu berbanding lurus dengan perolehan suara parpol tersebut. Adapun daftar Caleg Terbuka artinya melalui pemilu, pemilih dapat menentukan secara langsung calon yang diinginkan. Sistem ini digunakan untuk memilih anggota DPR/DPRD. Adapun caranya, yaitu dengan memilih tanda gambar partai politik dan nama calon anggota DPR/DPRD; kertas suara yang akan dicoblos meliputi tanda gambar parpol dan nama caleg; serta tiap daerah berbeda karena calegnya berbeda.[41]
2)      Sistem Distrik Berwakil Banyak
Sistem Distrik Berwakil Banyak menunjukkan bahwa suatu wilayah distrik (provinsi) memiliki lebih dari satu wakil, yakni jumlah anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 orang. Sistem ini digunakan untuk memilih DPD, caranya yaitu memilih calon anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD); kertas suara berupa foto gambar calon. Dengan ketentuan, bahwa calon yang memiliki suara terbanyak (berdasarkan peringkat) yang bakal jadi. Adapun kelebihan suara tidak diperhitungkan lagi.[42]
b.      Mekanisme Pemilu
Berdasarkan UU No. 12 tahun 2003 Pemilu 2004 dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai lembaga penyelenggara pemilu KPU terdiri atas KPU Pusat dengan anggota 11 orang, KPU Provinsi dan KPU Kota/kabupaten masing-masing beranggotakan 5 orang, yang bersifat nasional, tetap dan mandiri. Sedangkan di tingkat kecamatan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) beranggotakan 5 orang, dan pada tingkat Desa/Kelurahan Panitia Pemungutan Suara (KPPS) beranggotakan 3 orang, yang melibatkan pihak birokrat (bisa dipastikan tetap bersikap independen dengan tetap menjaga jarak yang sama dengan seluruh partai politik manapun).[43]
Masyarakat dalam Pemilu 2004 akan menerima 4 form kertas suara yang harus dicoblos. Tiga form untuk memilih parpol dan legislatif karena terdiri dari caleg DPRD dan satu form lagi untuk memilih DPR;
Tabel Komparasi Pemilu 2004 dan sebelumnya
Pemilu 2004
Pemilu Sebelum 2004
1.      Untuk memilih presiden/wapres, anggota DPD dan DPR/DPRD
Untuk memilih anggota DPRD I, DPRD II, dan DPR
2.      Quota wanita dalam badan legislatif 30%
Quota wanita tidak ditentukan
3.      Hak pilih dilakukan secara individu (untuk memilih anggota DPD) dan partai (untuk memilih anggota DPR/DPRD)
Hak pilih dilakukan secara partai (untuk memilih anggota DPR/DPRD)
4.      Gambar meliputi, gambar partai (untuk memilih anggota DPR/DPRD) dan orang (untuk presiden/wapres dan anggota DPD)
Gambar meliputi gambar partai saja (untuk memilih anggota DPR/DPRD saja)


5.      Semua anggota MPR (DPR dan DPD) dipilih melalui pemilihan
Anggota MPR ada yang dipilih (anggota DPR) dan ada yang diangkat (FABRI, F. Utusan daerah/Golongan)
Adapun tahap-tahap penyelenggaraan pemilu 2004 adalah sebagai berikut :
1)      Tahap Sosialisasi
Sosialisasi ini dilakukan mengingat Pemilu 2004 secara substansi berbeda dengan pemilu sebelumnya terutama masalah mekanismenya yang hanya terdeteksi secara sepotong-potong dan tidak utuh.
Sosialisasi dilakukan selama tiga tahap, yaitu :
a.       Tahap pertama, September-Desember 2003 difokuskan untuk membangun pemahaman calon pemilih terhadap terjadinya berbagai perubahan fundamental.
b.      Tahap kedua, Januari-April 2004 difokuskan pada informasi dana tata cara teknis pencoblosan agar surat kuasa yang digunakan sah.
c.       Tahap ketiga, Mei-Oktober 2004 difokuskan pada sosialisasi pemilihan presiden.[44]
2)      Tahap Verifikasi
Verifikasi terhadap partai peserta pemilu dilakukan oleh Depkeh dan HAM melalui KPU dan brakhir 27 Oktober 2003. Dari hasil verifikasi sampai akhir Oktober 2003 diketahui partai peserta pemilu 2004 berjumlah 24 parpol.[45]
3)      Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan Pemilu 2004 meliputi dua tahapan :
a.       Tahap pertama Pemilu Legislatif, dilakukan pada 5 April 2004 yang bertujuan untuh memilih anggota DPR/DPRD dan anggota DPD yang akan duduk di MPR, dengan alokasi kursi di MPR sejumlah 550, setelah tiadanya anggota MPR yang diangkat (FTNI/POLRI dan F. Utusan Daerah/Golongan).[46]
b.      Tahap kedua Pemilu Presiden meliputi dua putaran :
-          Putaran pertama pemilihan pasangan calon presiden dan wapres pada 3 Juli 2004 yang bertujuan untuk memilih pasangan calon presiden dan wapres.
-          Putaran kedua pemilihan pasangan calon presiden dan wapres pada 20 September 2004. Putaran kedua ini dilakukan jika tidak ada pasangan calon presiden/wapres terpilih pada pemungutan putaran pertama. Karena jika pasangan calon pada pemungutan putaran pertama (5 Juli 2004) telah mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara sedikitnya 20% suara di provinsi, yang tersebar pada lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dapat ditetapkan sebagai presiden/wapres. Tetapi jika tidak ada pasangan terpilih, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak pertama dan kedua dipilih kembali olh rakyat secara langsung dalam pemilu presiden dan wapres putaran ke-2.[47]
c.       Hasil Pemilu 2004
1)      Pemilu Legislatif
Pemilu 2004 diikuti oleh 24 kontestan peserta pemilu yang kebanyakan merupakan partai baru hasil fusi dari beberapa partai peserta pemilu 1999. Jumlah ini 50% lebih sedikit jika dibandingkan dengan kontestan peserta pemilu 1999 yang berjumlah 48 kontestan. Dua partai baru yang berhasil masuk dalam 10 besar antara lain Partai Demokrat (PD) dan Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB atau partai Golkar Baru).
Pemilu legislatif yang diselenggarakan 5 April 2004 dengan dasar UU No. 12 Tahun 2003 dan menempatkan Partai Golkar keluar sebagai pemenang, disusul PDI-Perjuangan, PKB, PPP, PD, PKS, PAN, dan PKPB. Berdasarkan hasil penelitian pemilu 2004 merupakan pemilu yang paling demokratis sejak pemilu pertama 1955. Ada beberapa indikator yang dijadikan parameter : Pertama, pemilu 2004 dilaksanaan oleh KPU yang anggota-anggotanya terdiri dari unsur-unsur non-partisan partai. Kedua, adanya panitia pengawas dan panitia independen, sehingga berbagai bentuk kecurangan dapat diminimalisir. Ketiga, setiap adanya pelanggaran dapat segera diselesaikan pada lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan.[48]
Tabel Hasil Pemilu 2004 untuk Anggota DPR
No
Nama Partai
Kursi DPR Penetapan KPU
Kursi DPR Setelah Putusan MK
Keterangan
1
Partai Golkar
128
127
Berkurang 1 untuk Partai Pelopor
2
PDIP
109
109
Tetap
3
PKB
52
52
Tetap
4
PPP
58
58
Tetap
5
Partai Demokrat
57
55
Berkurang 2 untuk PAN dan Partai Pelopor
6
PKS
45
45
Tetap
7
PAN
52
53
Bertambah 1 dari Partai Demokrat
8
PBB
11
11
Tetap
9
PBR
13
14
Bertambah 1 dari PNBK
10
PDS
12
13
Bertambah 1 dari PDK
11
PKPB
2
2
Tetap
12
PKPI
1
1
Tetap
13
PDK
5
4
Berkurang 1 untuk PDS
14
PNBK
1
0
Berkurang 1 untuk PBR
15
Partai Patriot P
0
0
Tetap
16
PNI Marhaenis
1
1
Tetap
17
PPNUI
0
0
Tetap
18
Partai Pelopor
2
4
Bertambah 2 dari Partai Demokrat dan Partai Golkar
19
Partai PDI
1
1
Tetap
20
Partai Merdeka
0
0
Tetap
21
PSI
0
0
Tetap
22
Partai PIB
0
0
Tetap
23
PPD
0
0
Tetap
24
PBSD
0
0
Tetap
Total
550
550

Sumber : Mahkamah Konstitusi RI 2004
Catatan :
PPNUI tidak mengajukan permohonan perselisihan hasil pemilu ke MK.
2)   Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Ciri khusus daripada pemilu 2004 adalah sistem pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilu presiden putaran pertama menempatkan pasangan Mega-Hasyim yang didukung oleh PDI-Perjuangan, Wiranto-Sholahudin Wahid yang didukung Partai Golkar, Amin-Siswono yang didukung PAN, SBY-Kalla yang didukung tiga partai yaitu PD, PKP, dan PBB serta pasangan Hamzah-Agum yang didukung oleh PPP.
Suatu euphoria baru dalam dunia perpolitikan dan ketatanegaraan, maka untuk menyampaikan visi dan misi bagi masing-masing pasangan diadakan debat calon. Dalam debat tersebut masing-masing pasangan memberikan proyeksi tentang langkah-langkah apa yang akan diambil jika pasangan tersebut terpilih nantinya.
Pemilu presiden putaran pertama ini menempatkan pasangan SBY-Kalla sebagai urutan pertama disusul pasangan Mega-Hasyim pada urutan kedua. Karena pemenang pemilu presiden putaran pertama (pasangan SBY-Kalla) tidak mendapatkan suara lebih 50%, maka pasangan yang menempati urutan pertama dan kedua masuk pada putaran berikutnya.
Dalam tenggang waktu menjelang pemilu presiden putaran kedua diadakan kampanye terbatas oleh masing-masing calon dan pendukungnya. Secara institusi pasangan Mega-Hasyim didukung oleh tiga partai besar yaitu Partai Golkar, PDI-Perjuangan, dan PPP, di samping juga PBR dan partai lain yang masuk dalam kelompok Koalisi Kebangsaan dengan Partai Golkar sebagai pemimpinnya. Sementara pasangan SBY-Kalla memperoleh dukungan dari PD, PKP, PBB, dan PKS yang terhimpun dalam Koalisi Kerakyatan. Dua partai besar PKB dan Pan menyatakan netralitas dengan memberikan kebebasan kepada pemilihnya untuk memberikan suaranya.
Pemilu presiden putaran kedua akhirnya menempatkan pasangan SBY-Kalla sebagai pemenang dengan perolehan suara 60:40 terhadap pasangan Mega-hasyim. Selanjutnya, SBY-Kalla sebagai presiden dan wapres dengan kabinet persatuan menetapkan 100 hari kerja untuk merealisasi janji dan program jangka pendeknya. Langkah awal dari 100 hari kerja terutama ditekankan pada semua sektor baik hukum, pendidikan, kesehatan maupun sektor-sektor lain khususnya pemberantasan korupsi.[49]              
5.         Pemilu 2009 dengan Mekanisme dan Sistem Parliamentary Threshold
Pemilu 2009 dirancang lebih menjamin demokrasi konstitusional. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pemilu 2009 memiliki karakteristik yang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pertama, diterapkannya sistem penyederhanaan partai (parlimentary threshold). Kedua, akomodasi terhadap calon presiden non-partai (calon independen).
Langkah pertama dilakukan sebagai upaya untuk menciptakan stabilitas kepartaian demi mewujudkan amanah UUD 1945 dalam memaksimalkan sistem presidensial dengan tanpa menodai hak-hak demokrasi dalam UUD 1945. Adapun langkah kedua ditempuh untuk mengakomodasi calon atau figur yang benar-benar merupakan pilihan masyarakat. Sehingga mereka bukanlah partisan yang pada nantinya hanya berpihak pada partai-partai yang mengusungkan dan bersifat sektarian sebagaimana selama ini kita saksikan. Dengan langkah ini diharapkan akan lahir figur yang benar-benar hanya berpihak pada kepentingan negara dan bangsa, karena tidak merasa atau perlu membalas budi terhadap kelompok tertentu.[50]
a.       Latar Belakang Lahirnya Parliamentary Threshold
Sistem multi-partai yang dewasa ini dianut dalam pemilu di Indonesia menghasilkan pembiakan jumlah partai politik yang berujung pada ketidakefektifan. Jika pada pemilu 2004 terdapat 24 parpol, pada pemilu 2009 terdapat 34 parpol yang menjadi kontestan.
Menurut Ali Masykur Musa, pembiakan jumlah parpol tersebut menandai dua fenomena. Pertama, menunjukkan suburnya iklim demokrasi sebagai konsekuensi kebebasan berpolitik. Dimana berorganisasi dan berpolitik merupakan hak setiap warga negara, termasuk mendirikan parpol. Kedua, menunjukkan belum stabilnya penataan sistem kepartaian.
Dalam sistem pemilu yang terfragmentasi akan sulit melahirkan satu partai kuat untuk mendukung pemerintahan, sehingga mengharuskan parpol-parpol melakukan koalisi dengan parpol lain. Sementara bangunan koalisi sendiri masih terkesan rapuh, karena bagaimanapu juga kondisi koalisi antar-parpol tidak dibangun atas kesadaran ideologi dan kerakyatan, melainkan dibangun atas dasar kepentingan sesaat (pragmatis).
Rapuhnya pemerintah sebagai dampak lemahnya sistem kepartaian diindikasikan dengan seringnya kebijakan pemerintah diinterpelasi oleh DPR, hak angket dan ancaman penarikan dukungan. Hal ini selalu menjadi senjata bagi parpol-parpol untuk berkompromi dengan pemerintah (presiden).
Mencermati fenomena demikian, maka presiden beserta DPR mengundangkan undang-undang politik sebagai upaya menciptakan stabilitas politik, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif). Salah satu sistem yang diadopsi dalam UU tersebut adalah penetapan mekanisme parliamentary threshold.
Pasal 202 Ayat (1) UU Pemilu Legislatif menyebutkan :
Partai Politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas perolehan sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
Maksud dari ketentuan tersebut adalah, apabila suatu parpol peserta pemilu yang mendapatkan kursi yang minim di DPR tetapi tidak melampaui ambang batas 2,5%, maka sebagai konsekuensinya parpol peserta pemilu tersebut tidak dapat mendudukan kadernya di DPR.[51]
b.      Tujuan
Untuk membangun stabilitas politik melalui pemilu dalam sistem presidensial dengan sistem multi-partai, bisa dilakukan dengan dua pola penyederhanaan. Pertama, dilakukan secara paksaan, seperti terjadi pada masa Orde Baru. Dimana parpol tidak boleh lebih dari dua partai (PPP & PDI) dan satu golongan karya (GOLKAR) yang sebenarnya juga berperan sebagai parpol. Kedua, secara alamiah cara ini dapat dilakukan dengan :
1)      Memilih salah satu sistem pemilu (sistem distrik atau sistem proporsional)
2)      Memberlakukan sistem ambang batas (parliamentary threshold)
3)      Mengecilkan besaran daerah pemilihan seperti pada pemilu 2004 dimana rentang daerah pemilihan adalah berkisar antara 3-12 kursi.
Alasan tersebut menjadi pemicu perlunya sistem ambang batas yang akan me-manage sistem multi-partai yang ada. Dalam implementasinya parliamentary threshold memilih beberapa tujuan, antara lain :
1)      Membentuk sistem kepartaian multi-partai sederhana, yaitu dengan meminimalisasi jumlah parpol di parlemen
2)      Memperkuat parpol dan parlemen
3)      Meningkatkan dan memperbaiki mekanisme serta prosedur rekrutmen pejabat publik
4)      Memperkuat sistem presidensial setelah terealisasinya sistem multi-partai sederhana
5)      Meningkatkan kualitas pelayanan publik manakala sistem pemerintahan berjalan dengan efektif.[52]
c.       Mekanisme Transfer Suara Pemilih
Seperti halnya pada pemilu 2004, pemilu 2009 menggunakan sistem mekanik dengan dua model dalam mentransfer suara pemilih. Pertama, sistem distrik terutama digunakan dalam menjaring calon anggota DPD. Kedua, sistem proporsional yang digunakan untuk menjaring calon anggota DPR.
Dalam sistem kedua digunakan sistem daftar (list system), dimana pentransferan suara pemilih pada kursi parlemen dilakukan berdasarkan rerata tertinggi atau biasa disebut dengan pembagi (divisor) dan sisa suara terbesar (larger remainder) atau biasa disebut kuota.
Metode penghitungan divisor (pembagi) atau rerata tinggi ditetapkan dengan memberikan kursi-kursi yang tersedia pertama kepada parpol yang mempunyai jumlah suara rerata tertinggi, kemudian rerata tersebut akan terus menurun berdasarkan perhitungan pembagi. Prosedur ini terus berlaku sampai kursi terbagi habis.[53]
Tabel Alokasi Kursi Berdasarkan Rumus Divisor D’hondt
Dalam Distrik 9 Wakil dengan 4 Parpol
Parpol
Perolehan Suara
Alokasi D’hont
Total Kursi
X/1
X/2
X/3
A
33.939
33.939 (2)
16.969 (7)
11.313 (9)
3
B
56.157
56.157 (1)
28.078 (3)
18.719 (6)
3
C
24.150
24.150 (4)
12.075 (8)
8.550
2
D
20.663
20.663 (5)
10.331
6.887
1
Total
134.909

9
Catatan :
Penghitungan alokasi kursi berdasarkan formula rerata tinggi D’Hondt biasa digunakan untuk mengeliminasi parpol-parpol kecil.
Tabel Alokasi Kursi Berdasarkan Rumus Divisor
Sainte-Lague dalam Distrik 9 Wakil dengan 4 Parpol
Parpol
Perolehan Suara
Alokasi Sainte-Lague
Total Kursi
X/1.4
X/3
X/5
A
33.939
24.242 (2)
11.313 (6)
6.787
2
B
56.157
40.112 (1)
18.719 (3)
11.231 (7)
3
C
24.150
17.256 (4)
8.050 (8)
4.830
2
D
20.663
14.759 (5)
6.887 (9)
4.132
2
Total
134.909

9
Catatan :
Penghitungan alokasi kursi berdasarkan formula Sainte-Lague biasa digunakan untuk memberi tempat pada parpol-parpol kecil.
Apabila konsep Parliamentary Threshold (PT) diterapkan pada pemilu (misalnya pemilu 2004), maka akan diperoleh parpol mana yang lolos PT dan parpol mana yang tidak lolos PT (Non-PT).
Adapun berdasarkan aturan Parliamentary Threshold, maka perhitungan lolos tidaknya parpol melewati ambang batas 2,5% ialah jumlah suara sah secara nasional yang diperoleh satu parpol dikali 100 kemudian dibagi jumlah total parpol.
PT = A/B x 100%
Dengan PT = partai yang lolos Parliamentary Threshold; A = jumlah suara sah secara nasional yang diperoleh suatu parpol; dan B = jumlah total suara yang diperoleh parpol.
Misalnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP), memperoleh suara sah secara nasional sejumlah 9.248.764 suara, sedangkan suara total sah secara nasional sejumlah 113.462.414 suara. Berdasarkan data tersebut apakah PPP lolos PT?
Dengan rumus di atas diperoleh :
PT = A/B x 100% = 9.248.764/113.462.414 x 100%
PT = 8,15%
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka presentase perolehan suara PPP sebesar 8,15% dan hal itu melebihi ambang batas 2,5%. Artinya, bahwa PPP lolos PT dan dapat ikut perhitungan penentuan perolehan kursi parlemen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 203 Ayat (2) dan (3) UU Pemilu Legislatif dinyatakan :
Ayat (2)   Suara untuk perhitungan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah seluruh partai politik peserta pemilu dikurangi jumlah suara sah partai politik yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 202 Ayat (1)
Ayat (3)   Dan hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu sebagaimana pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah partai politik peserta pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 203 Ayat (2) dan (3) seandainya ditetapkan terhadap 24 parpol pada pemilu 2004 akan diperoleh gambaran tentang parpol yang lolos PT (PT) dan yang tidak lolos PT (Non-PT).[54]
Hasil Perolehan Suara untuk Daerah Pemilihan Jawa Barat I
Pada Pemilu 2004
No
Nama Partai
Jumlah Suara Sah Parpol
Kategori Parpol
1
Partai Golkar
263.625
PT
2
PDIP
224.551
PT
3
PKB
39.072
PT
4
PPP
82.840
PT
5
Partai Demokrat
244.506
PT
6
PKS
317.185
PT
7
PAN
146.396
PT
8
PBB
50.835
PT
9
PBR
22.349
NON-PT
10
PDS
53.249
NON-PT
11
PKPB
19.245
NON-PT
12
PKPI
7.277
NON-PT
13
PDK
9.686
NON-PT
14
PNBK
14.506
NON-PT
15
Partai Patriot Pancasila
4.514
NON-PT
16
PNI Marhaenis
3.796
NON-PT
17
PPNUI
15.502
NON-PT
18
Partai Pelopor
4.783
NON-PT
19
Partai PDI
4.806
NON-PT
20
Partai Merdeka
4.750
NON-PT
21
PSI
4.534
NON-PT
22
Partai PIB
2.225
NON-PT
23
PPD
6.140
NON-PT
24
PBSD
5.141
NON-PT
Total
1.551.512

Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk daerah pemilihan jawa Barat I pada Pemilu 2004 hanya ada delapan parpol yang lolos PT.
1)      Penentuan Suara Sah
Suara sah adalah suara sah parpol yang lolos PT dikurangi parpol yang tidak lolos parpol.
Misalnya dari tabel di atas diperoleh jumlah suara sah parpol PT sebesar 1.369.009 dan jumlah suara Non-PT sebesar 182.503, maka untuk menghitung suara sah adalah :
X = PT – NPT
X = 1.369.009 - 182.503
X = 1.186.500[55]
2)      Penentuan Bilangan Pembagi Pemilih (Bpp)
Setelah jumlah suara sah di suatu daerah pemilihan diketahui kemudian ditentukan BPP DPR dengan cara membagi jumlah suara sah parpol peserta pemilu dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan.
Misalnya, untuk daerah pemilihan Jabar dengan kota Bandung dan Cimahi ada 7 kursi, maka :
BPP = 1.186.500 / 7
BPP = 169.500
Artinya dengan BPP sebesar 169.500, maka wilayah tersebut agar dapat satu kursi di parlemen diperlukan suara sah yang diperoleh suatu parpol sebesar 169.500 bagi parpol PT.[56]
3)      Peroleh Kursi di Parlemen
Penentuan perolehan kursi di parlemen bagi suatu parpol ditetapkan melalui dua tahap (Tahap I dan II) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 205 Ayat (3) dan (4) :
Ayat (3)        Setelah ditetapkan BPP DPR dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap pertama dengan membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu partai politik peserta pemilu di suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR.
Ayat (4)        Dalam hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada partai politik peserta pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dan BPP DPR.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kita dapat menentukan kursi yang diperoleh suatu parpol pada tahap I, dengan rumus :
N1 = A / BPP
Dengan N1 = jumlah kursi yang diperoleh suatu parpol pada tahap I; A = jumlah suara sah parpol; dan BPP = bilangan pembagi pemilih.
Misalnya berapa kursi yang diperoleh partai Golkar pada Tahap I?
N1 = A / BPP = 263.625 / 169.500
N1 = 1,5
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka kursi yang diperoleh Partai Golkar Tahap I adalah 1 kursi.
Sedangkan untuk kursi Tahap II ditentukan dengan formula membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi pada parpol peserta pemilu yang memperoleh 50% dari BPP.
N2 = BPP / 100 x 50
Berdasarkan rumusan tersebut, sisa suara minimal yang harus diperoleh parpol untuk mendapat kursi Tahap II adalah :
N2 = BPP / 100 x 50 = 169.500 / 100 x 50%
N2 = 84.750
Artinya, untuk mendapat satu kursi dalam parlemen, maka suara parpol minimal adalah > 84.750.[57]
Hasil Perolehan Kursi untuk Daerah Pemilihan Jawa Barat I
Pada Pemilu 2004
No
Nama Partai
Jumlah Suara Sah Parpol
Kursi Tahap I
Sisa Suara
Kursi Tahap II
Sisa Suara
1
Partai Golkar
263.625
1
94.125
1
9.375
2
PDIP
224.551
1
55.051
0
55.051
3
PKB
39.072
0
39.072
0
39.072
4
PPP
82.840
0
82.840
0
82.840
5
Partai Demokrat
244.506
1
75.006
0
75.006
6
PKS
317.185
1
147.685
1
92.935
7
PAN
146.395
0
146.395
1
61.645
8
PBB
50.835
0
50.835
0
50.835
Jumlah
1.369.009
4
691.009
3

Sisa suara dikumpulkan di provinsi untuk menentukan BPP baru Tahap III, jika jumlah kursi belum terpenuhi
Sisa suara

DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Desember 2006, “Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrument Demokrasi”, Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 4.

_______________, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006. 

_______________, Jimly, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006.

_______________, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2008.

Budiharjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992.

Karim, M. Rush, Pemilu Demokrasi Kompetitif, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.

Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.

Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Partai Politik oleh Mahkamah Agung.

Peraturan Pemerintah RI Nomor 83 tahun 2012 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2009 tentang Bantuan Dana kepada Partai Politik.

Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta : Kencana, 2010.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.

Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Pemilihan Umum.



[1] Jimly Asshiddiqie, Desember 2006, “Partai Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrument Demokrasi”, Jurnal Konstitusi, Volume 3 Nomor 4, hlm. 6.
[2] Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Pemilihan Umum.
[3] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1996, hlm. 177-178.
[4] Ibid., hlm. 178.
[5] Ibid., hlm. 179
[6] Ibid., hlm. 180.
[7] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 153.
[8] Ibid., hlm. 153-154.
[9] Ibid., hlm. 154.
[10] Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1992, hlm. 163-164.
[11] Jimly Asshiddiqie, op. cit., hlm. 160. 
[12] Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
[13] Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.
[14] Lihat Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
[15] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 113. 
[16] Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.
[17] Lihat Peraturan Pemerintah RI Nomor 83 tahun 2012 tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2009 tentang Bantuan Dana kepada Partai Politik.
[18] Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
[19] Lihat Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Partai Politik oleh Mahkamah Agung.
[20] M. Rush Karim, Pemilu Demokrasi Kompetitif, Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991, hlm. 2.
[21] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2008, hlm. 710.
[22] Ibid., hlm. 735.
[23] Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta : Kencana, 2010, hlm. 329.
[24] Ibid., hlm. 330.
[25] Ibid., hlm. 331-332.
[26] Ibid., hlm. 333.
[27] Ibid., hlm. 334-335.
[28] Ibid., hlm. 335.
[29] Ibid., hlm. 337.
[30] Ibid., hlm. 338.
[31] Ibid., hlm. 339.
[32] Ibid.
[33] Ibid., hlm. 339-340.
[34] Ibid., hlm. 340-341.
[35] Ibid., hlm. 341-342.
[36] Ibid., hlm. 342-343.
[37] Ibid., hlm. 373.
[38] Ibid., hlm. 374-375.
[39] Ibid., hlm. 375.
[40] Ibid., hlm. 376.
[41] Ibid.
[42] Ibid., hlm. 376-377.
[43] Ibid., hlm. 377.
[44] Ibid., hlm. 378.
[45] Ibid.
[46] Ibid., hlm. 378-379.
[47] Ibid., hlm. 379.
[48] Ibid., hlm. 379-380.
[49] Ibid., hlm. 381-382.
[50] Ibid., hlm. 382.
[51] Ibid., hlm. 382-384.
[52] Ibid., hlm. 384-385.
[53] Ibid., hlm. 385.
[54] Ibid., hlm. 386-387.
[55] Ibid., hlm. 388.
[56] Ibid., hlm. 388-389
[57] Ibid., hlm. 389-390.