KEWARGANEGARAAN REPUBLIK INDONESIA
A. Pendahuluan
Menjadikan
Hukum Tata Negara sebagai sebuah obyek kajian, tidak hanya di dalamnya membahas
mengenai organisasi dan tata kerja organ-organ atau alat-alat perlengkapan
negara, hubungan antar alat perlengkapan negarabaik horizontal maupun vertikal,
juga mempelajari hubungan antara alat-alat perlengkapan negara dengan warga
negara. Obyek kajian Hukum Tata Negara yang demikian ini tentu dilandasi oleh
kenyataan bahwa proses terbentuknya negara, tidak mungkin meninggalkan salah
satu unsur utamanya, yakni Warga Negara (rakyat).
Di
dalam teori kedaulatan rakyat dinyatakan bahwa terbentuknya sebuah negara tidak
adalah disebabkan oleh adanya kontrak sosial atau perjanjian masyarakat. Hal
ini menunjukkan bahwa antara negara dan Warga Negara merupaka dua hal yang
saling berkaitan. Bahkan tidak mungkin dapat dipisahkan. Oleh sebab itu masalah
kewarganegaraan termasuk di dalamnya hak-hak asasi manusia menjadi pokok bahasan
yang tidak akan ditinggalkan dalam mempelajari Hukum Tata Negara.
B. Pengertian Warga Negara
Warga
negara adalah sekelompok orang yang berdasarkan ketentuan hukum berstatus
sebagai pendukung tertib hukum negara. Mereka mempunyai hak-hak dari negara dan
kewajiban-kewajiban tertentu terhadap negara.[1]
Di
lain buku disebutkan bahwa rakyat sebuah negara meliputi semua orang yang
bertempat tinggal di dalam wilayah kekuasaan negara dan tunduk pada kekuasaan
negara itu. Pada permulaan rakyat di suatu negara hanya terdiri dari
orang-orang dari satu keturunan yang berasal dari satu nenek moyang, dalam hal
ini faktor yang terpenting adalah pertalian darah. Akan tetapi wilayah negara
itu didatangi oleh orang-orang dari negara lain yang mempunyai nenek moyang
pula.
Sekarang
faktor bertempat tinggal bersama juga turut menentukan apakah seseorang
termasuk dalam pengertian rakyat dalam negara itu. Adapun orang-orang yang
berada di wilayah suatu negara dapat dibagi atas penduduk dan bukan penduduk.
Penduduk
adalah mereka yang telah memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan oleh
peraturan negara yang bersangkutan diperkenankan mempunyai tempat tinggal pokok
(domisili) dalam wilayah negara itu. Bkan penduduk adalah mereka yang berada di
wilayah suatu negara untuk sementara waktu dan tidak bermaksud bertempat
tinggal di wilayah negara itu. Penduduk dapat dibagi atas:
1. Penduduk warga negara, dengan singkat
disebut warga negara, dan
2. Penduduk bukan warga negara yang disebut
orang asing.
Tiap
negara biasanya menentukan dalam UU kewarganegaraan siapa yang menjadi warga
negara dan siapa yang dianggap orang asing. Di indonesia kewarganegaraan itu
diatur dalam UU No. 12 Tahun 2006. Dalam UUD 1945 Pasal 26 dinyatakan :
1. Yang menjadi warga negara ialah
orang-orang Bangsa Indonesia asli dan orang bangsa lain yang disahkan dengan UU
sebagai warga negara.
2. Syarat-syarat yang mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dengan UU.[2]
C. Asas-asas Kewarganegaraan
Layaknya
sebuah organisasi dapat berdiri dengan syarat utamanya adalah anggota. Demikian
halnya dengan negara yang diketahui hakikatnya sama dengan organisasi,
anggotanya dinamakan warga negara dan penduduk negara.
Untuk
menentukan siapa yang menjadi warga negara, masing-masing negara yang merdeka
dan berdaulat berhak untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk menjadi warga negara, sepanjang tidak bertentangan
dengan pasal 15 Declaration of human
right, pasal tersebut menentukan sebagai berikut :
1.
Setiap
orang berhak atas sesuatu kewarganegaraan.
2. Tidak seorang pun dengan semena-mena
dapat dicabut kewarganegaraannya atau ditolak haknya untuk mengganti
kewarganegaraan.[3]
Terkait
dengan syarat-syarat untuk menjadi warga negara dalam ilmu tata negara dikenal
adanya dua asas kewarganegaraan, yaitu :
a) Asas ius sanguinis adalah asas
keturunan atau hubungan darah, artinya bahwa kawarganegaraan seseorang
ditentukan oleh orang tuanya. Semisal seseorang adalah warga negara A karena
orang tuanya adalah warga negara A.
b) Asas ius soli adalah asas daerah
kelahiran, artinya bahwa status kewarganegaraan seseorang ditentukan oleh
tempat kelahirannya di negara tersebut. Semisal seseorang adalah warga negara B
karena dia lahirnya di negara B.[4]
Disamping asas yang tersebut di atas, dalam
menentukan kewarganegaraan dipergunakan juga dua stelsel kewarganegaraan.
Stelsel itu adalah :
a) Stelsel aktif, dan
b) Stelsel pasif.
Menurut
stelsel aktif orang harus melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu secara
aktif untuk menjadi warga negara. Menurut stelsel pasif orang dengan sendirinya
dianggap menjadi warga negara tanpa melakukan suatu tindakan hukum tertentu.
Berhubungan
dengan kedua stelsel itu harus kita bedakan :
a) Hak opsi,
yaitu hak untuk memilih suatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif)
Akibat
adanya kebebasan bagi negara yang merdeka dan berdaulat dalam menetukan asas
kewarganegaraan yang digunakan untuk menentukan warga negaranya ada beberapa
kemungkinan yang akan terjadi, yaitu :
a) Apatride, yaitu
adanya seorang penduduk yang sama sekali tidak mempunyai kewarganegaraan (tanpa
kewarganegaraan), terjadi apabila menurut peraturan kewarganegaraan, seseorang
tidak diakui sebagai warga negara dari negara manapun atau tidak mempunyai
kewarganegaraan. Misalnya, Agus dan Ira adalah suami istri yang berstatus warga
negara B yang berasas ius soli. Mereka berdomisili di negara A yang
berasas ius sanguini. Kemudian lahirlah anak mereka, Budi, menurut
negara A, Budi tidak diakui sebagai warga negaranya. Begitu pula menurut warga
negara B juga tidak diakui sebagai warga negaranya, karena lahir di wilayah
negara lain. Dengan demikian Budi tidak mempunyai kewarganegaraan atau apatride.
b) Bipatride, yaitu
adanya seorang penduduk yang mempunyai dua macam kewarganegaraan sekaligus
(kewarganegaraan rangkap atau dwi-kewarganegaraan), terjadi apabila menurut
peraturan dari dua negara terkait seseorang dianggap sebagai warga negara kedua
negara tersebut. Misalnya, adi dan ani adalah suami istri yang berstatus warga
Negara A namun mereka berdomisili di negara B. Negara A menganut asas ius-sanguinis
dan negara B menganut asas ius-soli. Kemudian lahirlah anak mereka,
Dani. Menurut negara A yang menganut asas ius-sanguinis, Dani adalah
warga negaranya yang mengikuti kewarganegaraan orang tuanya. Menurut negara B
yang menganut asas ius-soli, Dani juga warga negaranya, karena tempat
kelahirannya adalah di negara B. Dengan demikian Dani mempunyai status dua
kewarganegaraan atau bipatride.[6]
Ketentuan-ketentuan
yang mengatur persoalan kewarganegaraan di indonesia tercantum dalam UU
kewarganegaraan Indonesia (UU No. 62 tahun 1958 yang kemudian diubah dengan UU
No. 12 tahun 2006), yang pada pokoknya memakai asas ius sanguinis.
Sebelum
adanya UU kewarganegaraan itu di Indonesia berlaku Peraturan
Kewarganegaraan yang lama, yang pada
pokoknya mengatur asas ius soli. Sebagaimana akibat dari peraturan yang
lama itu timbulah masalah dwi-kewarganegaraan di kalangan orang-orang Cina di
indonesia. Untuk menyelesaikan masalah ini, pemerintah Indonesia di RRC
mengadakan persetujuan. Atas persetujuan itu diadakan kerja sama yang baik dan
pengertian yang memuaskan, sehingga kedua pihak berhasil menyelesaikan soal
dwi-kewarganegaraan.[7]
D. Peraturan Perundang-undangan Kewarganegaraan
1. Undang-Undang Dasar 1945
Menurut
pasal 26 ayat (1) UUD 1945, ditegaskan bahwa yang warga negara ialah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan
dengan undang-undang sebagai warga negara. Ketentuan seperti ini memberikan penegasan
bahwa untuk orang-orang bangsa Indonesia asli secara otomatis merupakan warga
negara, sedangkan bagi orang-orang bangsa lain untuk menjadi warga negara
Indonesia harus disahkan terlebih dahulu dengan undang-undang.[8]
Sebelum
disetujui rumusan pasal 26 UUD 1945 yang merupakan aturan dasar tentang
kewarganegaraan, ada dua keturunan Cina yang berbeda pendapat. Apakah keturunan
Cina yang di Indonesia menjadi warga negara Indonesia atau tidak. Sehubungan
dengan adanya perbedaan pendapat ini, PF. Dahler seorang anggota panitia
peranakan Belanda mengusulkan agar pengaturan kewarganegaraan diatur lebih
lanjut dengan undang-undang, sebagaimana terlihat dalam ketentuan pasal 26 UUD
1945 sebagai berikut ;
1) Yang menjadi warga negara adalah
orang-orang bangsa Indonesia asli dan
orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan undang-undang.
2) Syarat-syarat mengenai kewarganegaraan
ditetapkan dengan undang-undang.[9]
Setelah
Proklamasi Kemerdekaan, Pemerintah RI mengeluarkan suatu peraturan tentang
kewarganegaraan yaitu UU No. 3 tahun 1945.
Menurut
UU itu penduduk negara ialah mereka yang bertempat tinggal di Indonesia selama
satu tahun berturut-turut. Selanjutnya disebutkan, bahwa yang menjadi warga
negara Indonesia pada pokoknya adalah :
1) Penduduk asli dalam daerah RI, termasuk
anak-anak dari penduduk asli itu;
2) Istri seorang warga negara Indonesia;
3) Keturunan dari seorang warga negara yang
kawin dengan wanita negara asing;
4) Anak-anak yang lahir dalam daerah
Indonesia yang oleh orang tuanya tidak diakui dengan cara yang sah;
5) Anak-anak yang lahir dalam daerah
Indonesia dan tidak diketahui siapa orang tuanya;
6) Anak-anak yang lahir dalam waktu 300
hari setelah ayahnya, yang mempunyai kewarganegaraan Indonesia, meninggal;
7) Orang bukan penduduk asli yang paling
akhir telah bertempat tinggal di Indonesia selama 5 tahun berturut-turut, dan telah berumur 21
tahun atau telah kawin. Dalam hal ini bila berkeberatan untuk menjadi warga
negara indonesia, ia boleh menolak dengan keterangan, bahwa ia adalah warga
negara lain;
8) Masuk menjadi waraga negara Indonesia
dengan jalan pewarganegaraan (naturalisasi).[10]
2. Konstitusi Republik Indonesia Serikat
Pada
tahun 1949 Indonesia dan Belanda
melakukan kesepakatan yang berkenaan tentang pembagian warga negara
sebagaimana yang terkenal dengan Persetujuan Perihal Pembagian warga negara
(P3WN). Persetujuan ini kemudian diundangkan dalam Lembaran Negara tahun 1950
No. 2.[11]
Menurut
persetujuan tersebut, penghuni tanah air Indonesia yang bukan orang asing
disebut kaulanegara Belanda. Kaulanegara Belanda itu dibedakan sebagai berikut
:
a. Kaulanegara Belanda orang Belanda;
b. Kaulanegara Belanda bukan orang Belanda,
tetapi yang termasuk Bumi Putra;
c. Kaulanegara Belanda bukan orang Belanda,
tetapi juga bukan Bumi Putra, misalnya
orang-orang Timur Asing (Cina, India, Pakistan, dan lain-lain).[12]
Untuk
melaksanakan lembaran Negara No. 2 Tahun 1950 maka dibentuklah PP No. 1 Tahun
1950 tentang Pelaksanaan pembagian Warga Negara. Menurut Pasal 1 PP no. 1 Tahun
1950 ditentukan keterangan tentang memilih atau menolak kebangsaan Indonesia
dapat dinyatakan oleh :
1. Hakim perdata, jika ia bertempat tinggal
di pulau Jawa dan Madura.
2. Hakim perdata, bupati, atau pejabat
pamong praja, jika ia bertempat tinggal di pulau Jawa dan Madura.
3. Komisaris agung RIS, jika ia bertempat tinggal
di Kerajaan Belanda.
4. Wakil diplomatik atau konsul RIS atau
pejabat lain yang diserahi tugas kepentingan Indonesia di luar daerah peserta
UNI.
5. Pengadilan Jakarta, jika yang
bersangkutan bertempat tinggal di luar peserta UNI apabila tidak ada wakil diplomatik,
konsuler, atau pejabat yang ditunjuk unt uk tugas itu di negara asing tersebut.[13]
3. Undang-Undang Dasar Sementara 1950
Pasal
5 UUDS 1950 menetukan tentang kewarganegaraan Republik Indonesia sebagai
berikut :
1)
Kewarganegaraan
Republik Indonesia diatur oleh undang-undang.
2)
Pewarganegaraan
(naturalisasi) dilakukan oleh atau dengan kuasa undang-undang.
Untuk kepastian hukum tentang
kedudukan warga negara yang telah menjadi warga negara sebelumnya baik karena
peraturan perundang-undangan sebelumnya maupun berdasarkan persetujuan perihal
pembagian warga negara antara RIS dengan Kerajaan Belanda, maka dibuatlah
ketentuan peralihan sebagaimana ditentukan dalam pasal 144 UUD 1950.
Dengan adanya ketentuan itu jelaslah
adanya kepastian hukum siapa saja yang menjadi WNRI menurut UUDS 1950, yakni:
1)
Mereka
yang telah menjadi WNI menurut UU No. 3 Tahun 1946.
2)
Mereka
yang telah memilih berkebangsaan Indonesia, sebagaimana yang ditentukan LN No.
2 Tahun 1950 dan PP No. 1 Tahun 1950.
Meskipun telah ditentukan dalam
Pasal 144 UUDS 1950 tentang siapa saja yang termasuk WNI, tidaklah berarti
masalah kewarganegaraan selesai. Masalah baru muncul akibat perbedaan asas
kewarganegaraan yang digunakan antara Ri dan RRC, sehingga keturunan Cina di
Indonesia masih memiliki dua kewarganegaraan (bipatride).
Untuk mengakhiri masalah tersebut
diadakanlah perjanjian antara pemerintah Indonesia yang diwakili oleh Soenario
dan pemerintah Cina diwakili oleh Chou En Lai. Perjanjian diratifikasi dengan
UU No. 2 Tahun 1958 tentang Persetuan perjanjian antara RI dan RRT Mengenai
Dwikewarganegaraan dan dilaksanakan dengan PP. No. 20 Tahun 1959. Kemudian UU
no. 2 tahun 1958 dicabut dan dinyatakan tidak berlaku lagi oleh UU No. 4 tahun
1969.
Setelah lebih kurang delapan tahun
berlaku pasal 5 UUDS 1950, barulah dapat direalisasikan dengan dibentuknya UU
No. 62 Tahun 1958 tentang kewarganegaraan republik indonesia. dari Pasal 1 UU
No. 62 tahun 1958, ada sepuluh jenis orang-orang yang termasuk warga Negara
indonesia. Kemudian apabila dibandingkan antara UU no. 62 tahun 1958 dengan UU
No. 3 Tahun 1946 terdapat perbedaan yang prinsipil dalam pemakaian asas
kewarganegaraan. UU no. 62 tahun 1958 menganut asas ius sanguinis
(keturunan), sedangkan UU No. 3 Tahun 1946 menganut asas ius soli
(kelahiran). Hal ini disebabkan suasana pembuatan UU No. 62 tahun 1958 baik
perancangnya maupun ketika melakukan pembahasan undang-undang tersebut diliputi
rasa kebangsaan nasional yang sedang bergelora.[14]
4.
Peretujuan
Kewarganegaraan dalam KMB ( Konferensi Meja Bundar)
Dalam
KMB 1949 dicapai suatu persetujuan penentuan warga negara antara RI dan
Kerajaan Belanda pada tanggal 27 desember 1949 mengenai siapa saja yang menjadi
warga negara RI.[15]
E.
Undang-undang
No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia.
Undang-undang yang mengatur ihwal
kewarganegaraan dalam konstitusi negara Republik Indonesia, dalam historisnya
telah mengalami perbaikan-perbaikan dan perubahan yang diindikatori oleh adanya
tuntutan demokratisasi dan kebutuhan reformasi lainnya, dengan tujuan agar
masalah hak-hak dan perlindungan warga negara dapat diposisikan secara tepat di
dalam kerangka perlindungan HAM tanpa mengganggu kedaulatan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.
Lahirnya UU No. 12 tahun 2006 sebagai
pengganti atas UU No. 62 tahun 1958 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 3
tahun 1976 tentang perubahan pasal 18 UU No. 62 tahun 1958 tentang
Kewarganegaraan Republik Indonesia, dilatarbelakangi pertama-tama karena adanya
perubahan UUD 1945 yang memberi tempat yang luas bagi perlindungan HAM yang
juga berakibat terjadinya perubahan atas pasal-pasal mengenai hal-hal yang
terkait dengan kewarganegaraan dan hak-haknya.[16]
Undang-undang No. 62 Tahun 1958
secara filosofis, yuridis, dan sosiologis sudah tidak sesuai lagi dengan
perkembangan masyarakat dan ketatanegaraan Republik Indonesia.
Secara filosofis, Undang-undang
tersebut masih mengandung ketentuan-ketentuan yang belum sejalan dengan
falsafah Pancasila, antara lain, karena bersiat diskriminatif, kurang menjamin
pemenuhan hak asasi dan persamaan antarwarga negara, serta kurang memberikan
perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.
Secara yuridis, landasan
konstitusional pembentukan Undang-Undang tersebut adalah Undand-Undang Dasar
Sementara Tahun 1950 yang sudah tidak berlaku sejak Dekrit Presiden 5 juli 1959
yang menyatakan kembali pada Undang-Undang Dasar Negara Republik Indaonesia
Tahun 1945.
Secara sosiologis, Undang-undang
tersebut sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan tuntutan masyarakat
Indonesia sebagai bagian dari masyarakat internasional dalam pergaulan global.
Berdasarkan
pertimbangan di atas, perlu dibentuk undang-undang kewarganegaraan yang
baru sebagai pelaksanaan pasal 26 ayat (3) Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indaonesia Tahun 1945 yang mengamanatkan agar hal-hal mengenai warga
negara dan penduduk diatur dengan undang-undang.[17]
Menurut penjelasan umum
undang-undang No. 12 tahun 2006, terkandung asas kewarganegaraan umum dan asas
kewarganegaraan khusus. Asas kewarganegaraan umum meliputi :
1)
Asas
ius sanguinis (law of the blood).
2)
Asas
ius soli (law of the soil).
3)
Asas
kewarganegaraan tunggal.
4)
Asas
kewarganegaraan ganda terbatas.
Adapun asas kewarganegaraan khusus
yang terkandung di dalam undang-undang ini meliputi :
1)
Asas
kepentingan nasional.
2)
Asas
perlindungan maksimum.
3)
Asas
persamaan di muka hukum dan pemerintahan.
4)
Asas
kebenaran substantif.
5)
Asas
nondiskriminatif.
6)
Asas
pengakuan dan penghormatan terhadap hak asasi manusia.
7)
Asas
keterbukaan.
8)
Asas
publisitas.[18]
Pokok
materi muatan yang diatur dalam undang-Undang ini meliputi :
a)
Siapa
yang menjadi Warga Negara Indonesia.
b)
Syarat
dan tata cara memperoleh Kewarganegaraan Rebublik Indonesia, yang di jelaskan
menurut Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2006, permohonan pewarganegaraan dapat diajukan
oleh pemohon jika memenuhi persyaratan yang telah ditentukan. Adapun prosedur
permohonan pewarganegaraan diatur dalam Pasal 10 sampai dengan 18 dan Pasal 22.[19]
c)
Kehilangan
kewarganegaraan Republik Indonesia, yang dijelaskan dalam pasal 23 UU No. 12
Tahun 2006.
d)
Syarat
dan tata cara memperoleh kembali kewarganegaraan Republik Indonesia.
e)
Ketentuan
pidana.
Dalam undang-undang ini pengaturan mengenai
anak yang lahir di luar perkawinan yang sah hanya semata-mata untuk memberikan
perlindungan terhadap anak tentang status kewarganegaraannya saja.
Dengan berlakunya undang-undang ini,
Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik Indonesia
sebagaimana telah diubah oleh Undang-Undang No. 3 Tahun 1976 tentang perubahan,
pasal 18 Undang-Undang No. 62 tahun 1958 tentang kewarganegaraan Republik
Indonesia dicabut dan dinyatakan tidak berlaku.
Selain itu, semua peraturan perundang-undangan sebelumnya
yang mengatur mengenai kewarganegaraan, dengan sendirinya tidak berlaku karena
tidak sesuai dengan UUD RI 1945.[20]
F. Kesimpulan
Dengan lahirnya UU No. 12 tahun 2006,
nuansa diskriminatif yang sebelumnya sempat menjadi paradigma dalam
kewarganegaraan Republik Indonesia kini sudah mulai tereduksi. Sekalipun pada
taraf perkembangan selanjutnya masih perlu adanya tinjauan-tinjauan kritis yang
bersifat progresif guna mencapai tatanan konstitusi yang idealis.
Namun dari pada itu, UU No. 12 tahun
2006 telah mewujudkan kelonggaran dalam politik hukum kewarganegaraan kita saat
ini. Bahkan membuka pintu lebar-lebar bagi siapa pun yang berhak dan ingin
menjadi warga negara sesuai dengan tuntutan perlindungan HAM sebagai hati
nurani global. Dengan demikian, siapa pun boleh dan dipermudah untuk menjadi
warga negara Indonesia sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang juga
memudahkan dan memberi jaminan hukum agar pemerintah tidak mempersulit dalam
proses administrasinya.
DAFTAR PUSTAKA
Handoyo, B. Hestu Cipto,
2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta : Universitas Atma
Jaya.
Kansil,
C. S. T, 1989, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta :
Balai Pustaka.
Kansil,
C. S. T dan Christine S. T. Kansil, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta.
Mahfudh
MD, Moh, 2010, Konstitusi Dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta:
Rajawali Pers.
Radjab,
Dasril, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta.
Zubaidi,
Achmad dan Kaelan, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk perguruan
Tinggi, Yogyakarta : Paradigma.
[1] Dasril Radjab,
2005, Hukum Tata Negara Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, Jakarta, hal.
160.
[2] C. S. T.
Kansil dan Christine S. T. Kansil, 2008, Hukum Tata Negara Republik Indonesia, Jakarta : Rineka Cipta, hal. 200-201.
[3] Dasril Radjab,
Op. Cit, hal. 160-161.
[4] Achmad Zubaidi
dan Kaelan, 2007, Pendidikan Kewarganegaraan Untuk perguruan Tinggi,
Yogyakarta : Paradigma, hal. 118.
[5] C. S. T.
Kansil, Christine S. T, Op. Cit, hal. 201
[6] Achmad Zubaidi dan Kaelan, Op.cit, hal.
118-119
[7] C. S. T.
Kansil dan Christine S. T. Kansil, Op.cit, hal. 202-203.
[8] B. Hestu Cipto
Handoyo, 2009, Hukum Tata Negara Indonesia, Yogyakarta :
Universitas Atma Jaya, hal. 360.
[9] Dasril Radjab,
Op. Cit, hal. 163
[10] C. S. T.
Kansil, 1989, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : Balai
Pustaka, hal. 100.
[11] Dasril Radjab,
Op. Cit, hal. 165
[13] Dasril Radjab,
Op. Cit, hal. 166-167.
[14] Ibid, hal.
167-170.
[15] C . S. T.
Kansil dan Christine S. T. Kansil, Op.cit, hal. 204.
[16] Moh. Mahfudh
MD, 2010, Konstitusi Dan Hukum dalam Kontroversi Isu, Jakarta: Rajawali
Pers, hal. 233.
[17] C . S. T.
Kansil dan Christine S. T. Kansil, Op.cit, hal. 206-207.
[18] B. Hestu Cipto
Handoyo, Op. cit, hal. 366-368.
[19] Ibid, hal.
371.
[20] C . S. T.
Kansil dan Christine S. T. Kansil, Op.cit, hal. 208.