Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak
tahun 1998 telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat
perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang
lebih demokratis. Perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak
empat kali, yaitu :
Perubahan pertama UUD 1945
Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada
tanggal 19 Oktober 1999. Perubahan terhadap UUD 1945 terjadi setelah
berkumandangnya tuntutan reformasi, yang di antaranya berkenaan dengan
reformasi konstitusi. Sebagaimana diketahui sebelum terjadinya amandemen
terhadap UUD 1945, kedudukan dan kekuasaan Presiden RI sangatlah dominan,
terlebih lagi dalam praktik penyelenggaraan negara. Parameter yang terlihat
adalah dalam kurun waktu demokrasi terpimpin 1959 sampai 1967, MPR (S) yang
menurut UUD merupakan lembaga tertinggi dikendalikan oleh presiden. Sedangkan
dalam kurun waktu 1967 sampai 1998, DPR yang menurut UUD 1945 dapat mengajukan
usul inisiatif RUU, tidak dapat melakukan haknya. Semua RUU berasal dari
pemerintah. Sehingga dengan amandemen UUD 1945 dilakukan upaya : 1) mengurangi
atau mengendalikan kekuasaan presiden, 2) hak legislasi dikembalikan ke DPR,
sedangkan presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR.
Perubahan kedua UUD 1945
Perubahan kedua disahkan pada tanggal 18
Agustus 2000. Perubahan kedua terhadap UUD 1945 dilakukan terhadap substansi
yang meliputi : 1) pemerintahan daerah, 2) wilayah negara, 3) warga negara dan
penduduk, 4) hak asasi manusia, 5) pertahanan dan keamanan negara, 6) bendera,
bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan, dan 7) lembaga DPR, khususnya
tentang keanggotaan, fungsi, hak, maupun tentang cara pengisiannya.
Pada amandemen kedua ini, substansi mendasar
yang menjadi titik tumpu adalah dimuatnya tentang hak asasi manusia (HAM) yang
lebih luas dan dalam bab tersendiri, yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia
yang terdisi dari pasal 28A hingga pasal 28J.
Subtansi perubahan juga menyangkut pada
keberadaan lembaga DPR, terutama berkaitan dengan cara pengisian keanggotaan
DPR dilakukan, bahwa semua anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat.
Perubahan ketiga UUD 1945
Perubahan ketiga disahkan pada tanggal 10
November 2001. Perubahan substansi amandemen ketiga meliputi antara lain : 1)
kedudukan dan kekuasaan MPR, 2) eksistensi negara hukum Indonesia, 3) jabatan
presiden dan wakil presiden termasuk mekanisme pemilihan, 4) pembentukan
lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan RI, 5) pengaturan tambahan bagi
lembaga DPK, 6) pemilu.
Melihat materi perubahan ketiga terhadap UUD
1945, jelaslah bahwa perubahan ketiga ini menyangkut substansi yang lebih
mendasar. Dari perubahan ketiga ini secara nyata dapat kita lihat, bahwa sistem
pemerintahan yang dianut adalah benar-benar sistem presidensial. Ciri
pemerintahan presidensial terlihat antara lain : 1) prosedur dan mekanisme
pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih dalam satu pasangan secara
langsung oleh rakyat; dan 2) sistem pertanggung jawaban presiden dan wakil
presiden atas kinerjanya, sebagai lembaga eksekutif yang tidak lagi kepada MPR.
Karena MPR tidak lagi dimanifestasikan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Selain itu, pada amandemen ketiga ini juga
dilakukan perubahan yang cukup mendasar terhadap Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24
Ayat (2) UUD 1945 menetapkan, bahwa : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh
sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam
lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan
militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi.”
Berdasarkan kriterium pasal tersebut, maka
dapat ditarik kesimpulan : 1) kekuasaan kehakiman tidak lagi dilakukan oleh
sebuah MA dan badan peradilan di bawahnya dalam keempat lingkungan peradilan,
tetapi dilakukan pula oleh MK; 2) kedudukan MK setara dengan MA serta berdiri
sendiri, tidak merupakan bagian dari struktur MA dan badan peradilan di
bawahnya; 3) MA merupakan pengadilan tertinggi dari peradilan di bawahnya.
Perubahan keempat UUD 1945
Perubahan keempat disahkan pada tanggal 10
Agustus 2002. Perubahan keempat terhadap UUD 1945 ini merupakan perubahan
terakhir yang menggunakan pasal 37 UUD pra-amandemen yang dilakukan oleh MPR.
Ada sembilan item pasal substansial pada perubahan keempat UUD 1945, antara
lain : 1) keanggotaan MPR, 2) pemilihan presiden dan wakil presiden tahap
kedua, 3) kemungkinan presiden dan wakil presiden berhalangan tetap, 4) tentang
kewenangan presiden, 5) hal keuangan negara dan bank sentral, 6) pendidikan dan
kebudayaan, 7) perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, 8) aturan
tambahan dan aturan peralihan, 9) kedudukan penjelasan UUD 1945.
Berkaitan dengan keanggotaan MPR dinyatakan
bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum.
Hal ini berarti tidak ada satu pun anggota MPR yang keberadaannya diangkat
sebagaimana yang terjadi sebelum amandemen dimana anggota MPR yang berasal dari
unsur utusan daerah dan ABRI melalui proses pengangkatan bukan pemilihan.
Kewenangan presiden sebagai kepala
pemerintahan dan kepala negara terjadi perubahan mendasar, dimana setiap
kebijakan presiden harus mendapat persetujuan atau sepengetahuan DPR. Dengan
kata lain, perubahan keempat ini “membatasi” kewenangan presiden yang
sebenarnya mutlak menjadi kewenangan dalam pengawasan rakyat melalui wakilnya,
yakni DPR.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar