Senin, 19 November 2018

Reformasi Hukum dan Sistem Ketatanegaraan Indonesia



Reformasi di bidang hukum yang terjadi sejak tahun 1998 telah dilembagakan melalui pranata perubahan UUD 1945. Semangat perubahan UUD 1945 adalah mendorong terbangunnya struktur ketatanegaraan yang lebih demokratis. Perubahan UUD 1945 sejak reformasi telah dilakukan sebanyak empat kali, yaitu :
Perubahan pertama UUD 1945
Perubahan pertama UUD 1945 disahkan pada tanggal 19 Oktober 1999. Perubahan terhadap UUD 1945 terjadi setelah berkumandangnya tuntutan reformasi, yang di antaranya berkenaan dengan reformasi konstitusi. Sebagaimana diketahui sebelum terjadinya amandemen terhadap UUD 1945, kedudukan dan kekuasaan Presiden RI sangatlah dominan, terlebih lagi dalam praktik penyelenggaraan negara. Parameter yang terlihat adalah dalam kurun waktu demokrasi terpimpin 1959 sampai 1967, MPR (S) yang menurut UUD merupakan lembaga tertinggi dikendalikan oleh presiden. Sedangkan dalam kurun waktu 1967 sampai 1998, DPR yang menurut UUD 1945 dapat mengajukan usul inisiatif RUU, tidak dapat melakukan haknya. Semua RUU berasal dari pemerintah. Sehingga dengan amandemen UUD 1945 dilakukan upaya : 1) mengurangi atau mengendalikan kekuasaan presiden, 2) hak legislasi dikembalikan ke DPR, sedangkan presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR.
Perubahan kedua UUD 1945
Perubahan kedua disahkan pada tanggal 18 Agustus 2000. Perubahan kedua terhadap UUD 1945 dilakukan terhadap substansi yang meliputi : 1) pemerintahan daerah, 2) wilayah negara, 3) warga negara dan penduduk, 4) hak asasi manusia, 5) pertahanan dan keamanan negara, 6) bendera, bahasa, lambang negara, dan lagu kebangsaan, dan 7) lembaga DPR, khususnya tentang keanggotaan, fungsi, hak, maupun tentang cara pengisiannya.
Pada amandemen kedua ini, substansi mendasar yang menjadi titik tumpu adalah dimuatnya tentang hak asasi manusia (HAM) yang lebih luas dan dalam bab tersendiri, yaitu Bab XA tentang Hak Asasi Manusia yang terdisi dari pasal 28A hingga pasal 28J.
Subtansi perubahan juga menyangkut pada keberadaan lembaga DPR, terutama berkaitan dengan cara pengisian keanggotaan DPR dilakukan, bahwa semua anggota DPR dipilih secara langsung oleh rakyat.
Perubahan ketiga UUD 1945
Perubahan ketiga disahkan pada tanggal 10 November 2001. Perubahan substansi amandemen ketiga meliputi antara lain : 1) kedudukan dan kekuasaan MPR, 2) eksistensi negara hukum Indonesia, 3) jabatan presiden dan wakil presiden termasuk mekanisme pemilihan, 4) pembentukan lembaga baru dalam sistem ketatanegaraan RI, 5) pengaturan tambahan bagi lembaga DPK, 6) pemilu.
Melihat materi perubahan ketiga terhadap UUD 1945, jelaslah bahwa perubahan ketiga ini menyangkut substansi yang lebih mendasar. Dari perubahan ketiga ini secara nyata dapat kita lihat, bahwa sistem pemerintahan yang dianut adalah benar-benar sistem presidensial. Ciri pemerintahan presidensial terlihat antara lain : 1) prosedur dan mekanisme pemilihan presiden dan wakil presiden yang dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat; dan 2) sistem pertanggung jawaban presiden dan wakil presiden atas kinerjanya, sebagai lembaga eksekutif yang tidak lagi kepada MPR. Karena MPR tidak lagi dimanifestasikan sebagai pelaksana kedaulatan rakyat.
Selain itu, pada amandemen ketiga ini juga dilakukan perubahan yang cukup mendasar terhadap Kekuasaan Kehakiman. Pasal 24 Ayat (2) UUD 1945 menetapkan, bahwa : “Kekuasaan Kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan-badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan Mahkamah Konstitusi.”
Berdasarkan kriterium pasal tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan : 1) kekuasaan kehakiman tidak lagi dilakukan oleh sebuah MA dan badan peradilan di bawahnya dalam keempat lingkungan peradilan, tetapi dilakukan pula oleh MK; 2) kedudukan MK setara dengan MA serta berdiri sendiri, tidak merupakan bagian dari struktur MA dan badan peradilan di bawahnya; 3) MA merupakan pengadilan tertinggi dari peradilan di bawahnya.
Perubahan keempat UUD 1945
Perubahan keempat disahkan pada tanggal 10 Agustus 2002. Perubahan keempat terhadap UUD 1945 ini merupakan perubahan terakhir yang menggunakan pasal 37 UUD pra-amandemen yang dilakukan oleh MPR. Ada sembilan item pasal substansial pada perubahan keempat UUD 1945, antara lain : 1) keanggotaan MPR, 2) pemilihan presiden dan wakil presiden tahap kedua, 3) kemungkinan presiden dan wakil presiden berhalangan tetap, 4) tentang kewenangan presiden, 5) hal keuangan negara dan bank sentral, 6) pendidikan dan kebudayaan, 7) perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial, 8) aturan tambahan dan aturan peralihan, 9) kedudukan penjelasan UUD 1945.
Berkaitan dengan keanggotaan MPR dinyatakan bahwa MPR terdiri dari anggota DPR dan DPD yang dipilih melalui pemilihan umum. Hal ini berarti tidak ada satu pun anggota MPR yang keberadaannya diangkat sebagaimana yang terjadi sebelum amandemen dimana anggota MPR yang berasal dari unsur utusan daerah dan ABRI melalui proses pengangkatan bukan pemilihan.
Kewenangan presiden sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara terjadi perubahan mendasar, dimana setiap kebijakan presiden harus mendapat persetujuan atau sepengetahuan DPR. Dengan kata lain, perubahan keempat ini “membatasi” kewenangan presiden yang sebenarnya mutlak menjadi kewenangan dalam pengawasan rakyat melalui wakilnya, yakni DPR.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar