MATA KULIAH ETIKA POLITIK ISLAM
PROGRAM STUDI HUKUM TATA NEGARA
INSTITUT PESANTREN SUNAN DRAJAT (INSUD)
LAMONGAN
1. Pengertian Etika Politik Islam, Fungsi, dan Manfaatnya
a. Pengertian Etika Politik Islam
Istilah etika diambil dari bahasa Yunani, “ethos”.
Secara etimologi, ethos adalah tempat tinggal, kebiasaan, adat, akhlak,
watak, perasaan, sikap, cara berpikir. Sedangkan etika adalah ilmu tentang apa
yang biasa dilakukan atau ilmu tentang adat kebiasaan.
Kata yang memiliki makna yang hampir sama
dengan etika adalah moral (mos dari bahasa Latin, jamak : moses)
yang artinya adalah kebiasaan atau adat.
Etika dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dibedakan menjadi 3 arti ; 1) Ilmu tentang apa yang baik dan apa yang buruk dan
tentang han dan kewajiban moral (akhlak), 2) Kumpulan asas atau nilai yang
berkenaan dengan akhlak, 3) Nilai mengenai benar dan salah yang dianut oleh
suatu golongan atau masyarakat.
Etika dan moral memiliki perbedaan, yakni ; 1)
Moral dikaitkan dengan kewajiban khusus, dihubungkan dengan norma sebagai cara
bertindak yang berupa tuntunan, baik bersifat relatif maupun mutlak. Moral
adalah wacana normatif dan imperatif yang diungkapkan dalam kerangka yang baik
dan buruk yang dianggap sebagai nilai mutlak dan transenden yakni seluruh kewajiban-kewajiban
kita. Sehingga kata moral mengacu pada baik buruknya manusia berkaitan dengan
tindakan, sikap, dan cara mengungkapkannya. Moral ingin menjawab “apa yang
harus saya lakukan?”, 2) etika dipahami sebagai refleksi filosofis tentang
moral. Etika lebih merupakan wacana normatif tapi tidak terlalu imperatif,
karena bisa jadi hipotesis, yang membicarakan pertentangan antara yang baik dan
buruk, yang dianggap sebagai nilai relatif. Etika menjawab “Bagaimana hidup
yang baik?”. Etika dipandang sebagai seni hidup yang mengarah pada kebahagiaan
dan puncaknya adalah kebijakan.
Sebuah keputusan dianggap bersifat politis
apabila keputusan tersebut diambil dengan memperhatikan kepentingan masyarakat
keseluruhan. Tindakan politis menyangkut masyarakat secara keseluruhan. Dalam
KBBI, politik diartikan sebagai ; 1) Ilmu pengetahuan tentang ketatanegaraan
atau kenegaraan, seperti sistem pemerintah, dasar-dasar pemerintah. 2) segala
urusan dan tindakan (kebijakan, sifat, dan sebagainya) mengenai pemerintahan
negara atau terhadap negara lain, dalam dan luar negeri. Kedua negara tersebut
bekerja sama di bidang ekonomi dan kebudayaan, partai atau organisasi. 3)
kebijakan atau cara bertindak dalam menghadapi atau menangani masalah.
Kata politik dalam bahasa Arab disebut dengan as-siyasah
yang bermakna ; 1) Pemerintahan dan politik atau membuat keputusan atau
kebijakan. 2) Mengatur, memimpin sesuatu dengan cara yang membawa kemaslahatan.
Etika politik kemudian diartikan sebagai
kumpulan nilai yang berkenaan dengan akhlak, untuk mengatur atau memimpin
seuatu dengan cara yang membawa kemaslahatan. Etika politik merupakan filsafat
moral tentang dimensi politik kehidupan manusia.
b. Fungsi Etika Politik
Fungsi etika politik terbatas pada penyediaan
alat-alat teoritis untuk mempertanyakan dan menjelaskan legitimasi politik
secara bertanggung jawab, tidak berdasarkan emosi atau prasangka dan apriori
(bersangka sebelum mengetahui keadaan yang sebenarnya), tetapi secara rasional,
obyektif, dan argumentatif.
c. Manfaat Etika Politik
Manfaat etika politik tidak bersifat praktis.
Ia tidak bertugas menghutbahi para politisi atau untuk langsung mempertanyakan
legitimasi moral berbagai keputusan. Tetapi etika politik menuntut agar segala
klaim atas hak untuk menata masyarakat dipertanggungjawabkan pada
prinsip-prinsip moral dasar.
2. Etika Politik Dalam Islam
Etika politik sangatlah penting dalam Islam karena merupakan bagian dari
ibadah. Maka politik harus dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip ibadah. Etika
politik sudah ada sejak lama, bahkan sebelum adaya negara yang mengatur tata
kehidupan dalam bermasyarakat.
Etika politik memberi patokan dan norma penilaian mutu politik terhadap
pemerintahan negara dengan tolak ukur martabat manusia. Kajian etika politik
dalam Islam bukan semata-mata untuk kepentingan ilmu dan kritik ideologi,
ataupun merupakan bagian dari cabang filsafat, melainkan bagian integral dari
syari’at yang wajib diamalkan oleh setiap muslim dalam kehidupan. Politik harus
dijalankan dengan nilai-nilai etika sehingga mencapai tujuannya untuk
mewujudkan kesejahteraan rakyat atas dasar keadilan sosial. Adapun
prinsip-prinsip etika politik dalam al-Qur’an adalah sebagai berikut :
a. Hubungan antara Kepala Negara dengan rakyat meliputi:
Kewajiban kepala negara: (1) bermusyawarah dengan warga
(Q.S. 3: 159); (2) menandatangani keputusan terakhir (Q.S. 3: 159); (3)
menegakkan keadilan (Q.S. 4: 58, 38: 26); (4) menjaga ketentraman (Q.S. 3: 110,
5: 33); (5) menjaga harta benda orang banyak (Q.S. 3: 161); (6) mengambil zakat
(Q.S. 9: 103); (7) tidak membiarkan harta benda beredar pada orang-orang kaya
saja (Q.S. 59: 7); (8) melaksanakan hukum Allah (Q.S. 5: 44, 45, 47-50); (9)
golongan minoritas memiliki hak yang sama dari segi undang-undang (Q.S. 2: 256,
5: 42-48; 10: 99, 60: 7-9).
Kewajiban rakyat meliputi antara lain: (1) disiplin (Q.S.
59: 7); (2) taat yang bersyarat (Q.S. 4: 59); (3) bersatu di sekitar cita-cita
tertinggi (Q.S. 3; 103, 30: 31-32); (4) bermusyawarah dalam persoalan orang
banyak (Q.S. 42: 38); (5) menjauhi kerusakan (Q.S. 7: 56, 13: 25); (6)
menyiapkan diri untuk membela negara (Q.S. 8: 60, 9: 38-41, 61: 1); (7) menjaga
mutu moral atau semangat rakyat (Q.S. 4: 83); (8) menjauhi dari membantu musuh
(Q.S. 60: 1, 9).
b. Hubungan Luar Negeri
Hal-hal yang bersangkut paut dengan: (1)
hubungan antara Negara Islam dan Negara kafir yang tidak memusuhi Islam (Q.S.
60: 7, 8); (2) cinta damai (Q.S. 8: 61); (3) menyerukan risalah Islam dengan
hikmah (Q.S. 16: 125); (4) tanpa paksaan dalam memeluk agama (Q.S. 2: 256); (5)
tidak menimbulkan kebencian (Q.S. 6: 108); (6) meninggalkan sifat diktator dan
merusak (Q.S. 28: 23).
Dalam keadaan berselisih: (1) setia pada
perjanjian yang telah dibuat (Q.S. 5: 1, 9: 7); (2) patuh pada syarat-syarat
perjanjian yang telah disepakati walaupun membahayakan (Q.S. 16: 91, 92); (3)
menghadapi pengkhianatan dengan tegas (Q.S. 8: 58); (4) tidak memulai kejahatan
(Q.S. 5: 2); (5) jangan berperang pada bulan haram (Q.S. 9: 36, 2: 217, 5: 2);
(6) jangan berperang di tempat-tempat haram (Q.S. 2: 191); (7) memerangi bila
diperangi (Q.S. 2: 190, 194); (8) tidak boleh lari ketika bertemu musuh (Q.S.
8: 51); (9) kecuali untuk mengatur siasat perang atau menggabungkan diri dengan
pasukan lain (Q.S. 8: 16); (10) tidak boleh takut mati (Q.S. 3: 154, 156, 173);
(11) tidak boleh menyerah (Q.S. 47: 35, 2: 192-193); (12) hati-hati terhadap
tipu daya orang-orang kafir dan munafik (Q.S. 4: 77-78, 3: 165-168); (13) sabar
dan mengajak sabar (Q.S. 3: 200); (14) menghormati hak-hak untuk bersikap
netral dalam peperangan (Q.S. 4: 90); (15) persaudaraan manusia sejagat (Q.S.
4: 1, 49: 13).
3. Prinsip-prinsip Konstitusional Dalam Islam
Hukum-hukum konstitusional dan etika-etika politik yang ada dalam al-Qur’an
dan sunah wajib diikuti oleh pemerintahan Islam (negara Islam). Prinsip-prinsip
utama menurut sebagian ulama kontemporer ahli fikih syariah adalah :tidak
zalim, adil, musyawarah, dan persamaan. Sedangkan menurut sebagian ulama lain
adalah keadilan, musyawarah, dan taat pada ulil amri (terhadap
perintah-perintah yang baik). Menurut pendapat lain mengatakan prinsip
konstitusi Islam haruslah terdiri dari prinsip musyawarah, tidak zalim, dan
meminta bantuan kepada orang-orang kuat dan terpercaya dalam segala hal yang
mana penguasa memang membutuhkan bantuan dalam hal itu.
Dr.Abdul Hamid al-Mutawali dan Dr. Muhammad Salim al-Awa bersepakat bahwa
prinsip-prinsip konstitusi Islam meliputi prinsip musyawarah, keadilan,
persamaan, kebebasan, tanggung jawab ulil amri, dan wajib taat.
Dalil-dalil prinsip konstitusional Islam berasal dari al-Qur’an dan sunah
yang berkenaan dengan perundang-undangan. Salah satu contoh sunah tentang
pemerintahan adalah sebagai berikut : Nabi Saw bersabda “Tidak ada seorang
hamba pun yang dijadikan pemimpin rakyat oleh Allah lalu dia mati dan masih
menipu terhadap rakyatnya (artinya tidak bertaubat), kecuali Allah haramkan
surga untuknya.” Dalam redaksi lain disebutkan “Barangsiapa yang menipu maka
dia tidak termasuk golonganku.”
4. Prinsip-prinsip Konstitusional Pada Masa Pemerintahan Nabi
Dalam sejarah umat manusia, tindakan kekerasan selalu mewarnai kehidupan
politik maupun kehidupan sehari-hari. Kekerasan mencakup arti yang luas. Salah
satu contoh mengenai tindakan yang dilakukan oleh seseorang atau sekelompok
orang untuk mencapai tujuannya adalah dengan cara menyakiti, mematikan, dan
merugikan orang lain secara fisik, mental, moral maupun spiritual. Kekerasan
memang lebih sering dikaitkan dengan kekuasaan. Penguasa terkadang memakai
kekerasan dalam memimpin atas kedudukan atau posisi mereka yang sedang berkuasa
agar masyarakatnya menjadi tunduk dan patuh pada setiap peraturan yang
dibuatnya. Namun apapun alasannya, kekerasan tidak bisa dibenarkan sebagai cara
untuk mendapatkan tujuan dari segala yang diinginkan. Karena kekerasan itu pada
akhirnya hanya akan dipakai untuk membela keadilan bagi diri sendiri.
Sejarah politik dalam Islam adalah sejarah dakwah untuk menyebarkan amar
ma’ruf nahi munkar. Sejarah ini bermula sejak masa Nabi Muhammad SAW di
Madinah pada 622 M. hingga masa Khulafa ar-Rasyidin yang berakhir
sekitar 656 M. Pada saat itu, pemerintahan berada dalam upaya menegakkan
kepemimpinan yang bermoral dan sangat peduli pada perwujudan keadilan serta
kesejahteraan masyarakat. Gambaran ideal kehidupan politik Islam dapat dilihat
dari sistem politik yang diterapkan oleh Nabi di Madinah. Berkat usaha-usaha
Nabi tersebut, lahirlah suatu komunitas masyarakat Islam pertama yang bebas dan
merdeka. Selanjutnya untuk mengatur hubungan antar komunitas masyarakat yang
majemuk itu, maka diproklamirkanlah Piagam Madinah (Mitsaq al-Madinah)
sebagai undang-undang dasar pertama bagi Negara Madinah dan Nabi Muhammad SAW
dianggap sebagai kepala pemerintahannya.
Sebagai konstitusi negara, intisari dari Piagam Madinah yang sangat penting
untuk diterapkan dalam pembentukan negara Islam yang ideal, yaitu: semua
pemeluk Islam yang terdiri dari berbagai suku merupakan satu komunitas dan
hubungan antara sesama anggota komunitas Islam didasarkan pada prinsip
bertetangga yang baik, saling membantu, membela yang teraniaya, saling
menasehati dan menghormati kebebasan beragama.
Konstitusi ini juga merupakan rumusan tentang kesepakatan kaum Muslim
Madinah dengan berbagai kelompok bukan Muslim yang ada di Madinah tersebut
untuk membangun masyarakat politik secara bersama-sama. Karena masyarakat di
Madinah terkenal dengan masyarakatnya yang majemuk. Masa pemerintahan Nabi
Muhammad SAW di Madinah adalah pemerintahan yang toleran. Konsep toleransi
sangat penting dalam hubungan antara Islam dan negara, sehingga dapat
menyatukan golongan-golongan yang saling bermusuhan menjadi satu-kesatuan bangsa
yang utuh. Nabi Muhammad SAW bukan hanya menjadi seorang Nabi yang ditugaskan
oleh Allah SWT untuk menyebarkan risalah kenabian kepada masyarakatnya, tetapi
beliau juga dianggap sebagai seorang pemimpin negara yang adil dan mampu
menerapkan keagungan moral bagi rakyatnya. Dengan demikian, kepemimpinan Nabi
Muhammad SAW adalah cerminan moralitas yang dapat memunculkan kearifan-kearifan
politik umat.
Sistem politik yang dibangun oleh Rasulullah SAW dapat dikatakan sebagai
sistem politik par excellent atau sistem religius, yang seluruh politik
negara dan pekerjaan pemerintahannya diliputi oleh semangat akhlak dan jiwa
agama. Sehingga dalam kepemimpinannya, beliau dapat mempersatukan umat,
walaupun umat tersebut pada saat itu sangat terkenal dengan masyarakat yang
majemuk.
Naskah Piagam Madinah yang merupakan salah satu sumber etika politik Islam
itu sangat menarik untuk kembali dikaji dalam konteks pandangan etika politik
modern. Sebab dalam piagam ini dirumuskan gagasan-gagasan yang kini menjadi
pandangan hidup politik modern, seperti kebebasan beragama, hak setiap kelompok
untuk mengatur hidup sesuai dengan keyakinannya, kemerdekaan ekonomi antar
golongan, dan lain sebagainya.
Piagam Madinah terdiri dari 47 butir pasal yang mengandung asas-asas
sebagai berikut :
a.
Asas kebebasan beragama
Negara mengakui dan melindungi setiap kelompok untuk
beribadah menurut agamanya masing-masing.
b.
Asas persamaan
Semua orang memiliki kedudukan yang sama sebagai anggota
masyarakat, wajib saling membantu, dan tidak seorang pun bisa diperlakukan
secara buruk. Bahkan orang lemah harus dilindungi dan dibantu.
c.
Asas kebersamaan
Semua anggota masyarakat mempunyai hak dan kewajiban yang
sama terhadap negara.
d.
Asas keadilan
Setiap warga negara mempunyai kedudukan yang sama di
hadapan hukum. Hukum harus ditegakkan. Siapa pun yang melanggar harus dihukum.
Hak individu diakui.
e.
Asas perdamaian yang berkeadilan
f.
Asas musyawarah
5. Prinsip-prinsip Konstitusional Dalam Pemerintahan Khalifah
Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, pemerintahan Islam diteruskan oleh empat
khalifah yang utama, yaitu Khulafa Ar-Rasyidin. Cara keempat khalifah
tersebut dalam memimpin, mendekati cara pemerintahan Nabi Muhammad SAW.
Sehingga selama 30 tahun, keempat khalifah itu menampakkan sebuah pemerintahan
politik Islam yang demokratis pada saat itu. Namun setelah pemerintahan Khulafa
Ar-Rasyidin berakhir, pemerintahan dalam Islam mengalami pasang-surut
(kebangkitan dan keruntuhan).
Pada awal pemerintahan Khulafaur Rasyidin, kita bisa mengetahui
prinsip-prinsip konstitusi yang digunakan dari pidato Khalifah Abu Bakar.
Beberapa prinsip konstitusional yang terkandung dalam pidatonya adalah :
a.
Prinsip kekuasaan rakyat (hak rakyat memilih
penguasa dan menyerahkan kewenangan besar pada penguasa terpilih lewat jalan
musyawarah). Juga haknya dalam mengawasi dan memberhentikannya saat keadaan
memaksa.
b.
Prinsip persamaan hak antar individu rakyat
baik sebagai pejabat atau sebagai rakyat, dalam ketundukan terhadap syariat
Islam.
c.
Pengukuhan atas hak partisipasi rakyat dalam
urusan hukum pemerintahan (prinsip musyawarah dan pengawasan).
d.
Prinsip pengawasan atas para aparat khalifah.
e.
Penguasa atau pemerintah wajib jujur dan
bersikap amanah terhadap rakyatnya.
f.
Taat kepada hakim (pemerintah) dalam hal
kebaikan dan kewajiban menolak taat (ingkar) dalam hal kemaksiatan.
g.
Menyampaikan amanah kepada yang berhak dan
berlaku adil.
h.
Kewajiban jihad di jalan Allah. Asal jihad
adalah bersabar dalam segala kesusahan dan kesulitan.
i.
Mengisyaratkan sunah Allah. Melakukan
kerusakan di muka bumi mengakibatkan menyebarnya bala bencana dan mengakibatkan
hancurnya negara. Melakukan kebaikan di bumi adalah jalan menuju keselamatan
dan kebahagiaan seluruh manusia.
Singkatnya, dari sejarah itu terungkap bahwa pemerintahan yang
mengedepankan etika dan moralitas akan memperoleh kejayaan. Begitu pula
sebaliknya, jika suatu negara berada dibawah pemerintahan yang dijalankan
secara zalim, tidak adil, dan tidak bermoral, maka negara tersebut akan
mengalami kemunduran bahkan bisa mengalami kehancuran.
6. Etika Politik Islam Menurut Ibn Abi Rabi
Dunia ilmu pengetahuan, pada masa pemerintahan Abbasiyah, mengalami zaman
keemasannya, khususnya dalam dua ratus tahun pertama dari lima ratus tahun
kekuasaan dinasti ini. Khalifah ke tujuh, Makmun, sangat besar perhatiannya
kepada pengembangan ilmu pengetahuan, yang yang berkaitan dengan ilmu-ilmu
agama dan social maupun ilmu pasti dan ilmu alam. Dia juga dikenal pengagum
ilmu-ilmu Yunani, termasuk filsafat. Untuk melengkapi dan mendukung kebutuhan
keilmuan, ia mendirikan perpustakaan Bait al-Hikmah, dengan buku-buku asing
juga buku-buku Islam. Dari sinilah, perkenalan para ilmuwan Islam dengan alam
pikiran Yunani semakin meluas dan mendalam, yang pada saatnya nanti akan
menimbulkan hasrat sarjana-sarjana Islam untuk mempelajari msalah-msalah
kenegaraan secara rasional. Maka lahirlah pemikir-pemikir muslim yang
mengemukakan konsepsi politiknya melalui karya-karyanya, seperti Ibn Abi Rabi.
Nama lengkap Ibn Abi Rabi’ adalah Syihab al-Din Ahmad Ibn Muhammad Ibn Abi
Rabi’. Pemikirin politiknya terlihat dalam karyanya yang berjudul suluk
al-Malik fi Tadbir al-Mamalik (perilaku raja dalam pengelolaan
kerajaan-kerajaan), yang ditulis untuk memenuhi permintaan khalifah
al-Mu‘tashim, khalifah ke delapan dinasti Abbasiyyah, yang memerintah abad IX
Masehi.
Menurut Ibn Abi Rabi’, asal mula tumbuhnya kota atau terbentuknya negara,
berasal dari ketidak berdayaan manusia untuk hidup sendiri dalam mencukupi
segala kebutuhan hidupnya, tanpa bantuan orang lain. Ketergantungan kepada
orang lain inilah, mendorong manusia untuk saling membantu dan berkumpul, serta
menetap di satu tempat. Dari sinilah, tumbuh sebuah komunitas kota, yang
akhirnya berkembang menjadi sebuah negara. Kekuasaan kepala negara, bagi Ibn
Abi Rabi’, adalah bersumber dari Tuhan. Hal ini dapat dipahami dari statemennya,
bahwa Allah mengangkat penguasa-penguasa bagi masyarakat.
Penguasa-penguasa ini mendapat pancaran Ilahi dan dikukuhkan dengan
karamah-Nya. Hanya saja, dia tidak menjelaskan, dikukuhkan melalui pemilihan
atau penunjukan. Sehingga sumber kekuasaan kepala negara adalah bukan berasal
dari rakyat, tetapi dari Allah yang diberikan kepada orang pilihan-Nya. Dan
tugas pemimpin negara itu adalah mengelola urusan rakyatnya dan bertindak
sebagai hakim untuk menyelesaikan perselisihan di antara mereka.
Lebih lanjut Ibn Abi Rabi’ menjelakan, bahwa Allah telah memberi
keistimewaan kepada para penguasa, dengan memuliakannya, memberi kedudukan
penting di negaranya, dan disegani hamba-hamba Allah. Allah pun juga mewajibkan
kepada para ulama untuk mengagungkan, memuliakan dan menghormati raja,
sebagaimana Allah mewajibkan orang-orang yang beriman untuk mentaati para
penguasa.
Pemimpin masyarakat atau negara, demikian Ibn Abi Rabi’, haruslah seorang
manusia utama. Baginya, manusia utama adalah mereka yang memenuhi kriteria
sebagai berikut:
a. Mempunyai kemampuan untuk mewujudkan kebahagiaan.
b. Sehat tubuhnya.
c. Mempunyai pemahaman dan penelaahan yang baik terhadap pendapat ulama yang
mengetahui kandungan kitab suci.
d. Daya ingatnya baik (kuat) dan tidak melupakan ilmu pengetahuan yang telah
diperolehnya.
e. Memiliki tingkat kecerdasan dan ketajaman berfikir yang baik, saat
menghadapi suatu masalah.
f. Berkemampuan olah vokal dengan baik.
g. Mencintai ilmu dan suka belajar, serta mengambil pelajaran dari setiap
kejadian.
h. Tidak mempunyai karakteristik yang buruk dan membenci sesuatu, yang dapat
mengakibatkan buruk bagi dirinya.
i.
Berjiwa besar, mencintai kemuliaan dan menjaga
dirinya dari segala sesuatu yang membawa keburukan.
j.
Mencintai keadilan, kejujuran, dan orang-orang
yang adil dan jujur; serta benci kepalsuan dan kebohongan.
k. Percaya diri untuk merealisasikan cita-citanya, tidak takut mati, dan tidak
punya jiwa yang lemah.
l.
Memandang rendah dunia dan hal-hal yang
membawa kepada nilai-nilai keduniaan yang fana.
Bentuk pemerintahan yang terbaik, masih
menurut Ibn Abi Rabi’, adalah bentuk pemerintahan monarkhi, yakni pemerintahan
yang berpusat pada satu individu, yaitu seorang raja. Hal ini didasarkan dengan
pertimbangan, dengan banyaknya pemimpin, akan dapat melumpuhkan politik
pemerintahan dan menimbulkan kekacauan. Karenanya, sebuah kota/negara atau
masyarakat perlu dipimpin oleh seorang pemimpin yang kuat. Selain itu, sebuah negara
perlu dipimpin seorang pemimpin, juga didasarkan dengan beberapa pertimbangan lain,
seperti agar penguasa mempunyai kesempatan yang besar untuk menegakkan keadilan
di antara warga negara; dapat menolak kezhaliman terhadap orang-orang yang
mungkin dianiaya; mendorong warga negara untuk mewujudkan tujuannya yang luhur,
sehingga setiap orang dapat bekerja untuk kepentingan dirinya dan kepentingan
masyarakat. Bagi Ibn Abi Rabi’, sebuah negara cukup dipimpin seorang penguasa
yang mengelola dan merencanakan, agar tidak terjadi kesewenang-wenangan di
antara warga masyarakat. Hal ini dimaksudkan, agar tiap-tiap anggota masyarakat
dapat bekerja dan menghasilkan suatu produksi yang bermanfaat bagi kepentingan
dirinya dan kepentingan orang lain.
Sebuah negara dapat tegak, tegas Ibn Abi
Rabi’, jika komponen-komponen penting diperhatikan, yaitu : raja, rakyat,
keadilan dan pengelolaan pemerintahan (administrasi negara).
Seorang raja setidaknya harus memenuhi 6
kriteria sebagai berikut: 1) dari segi keturunan, ia harus berasal dari
keluarga raja dan dekat hubungan kekerabatannya dengan raja sebelumnya; 2)
mempunyai cita-cita yang tinggi, yang dapat dibina melalui pendidikan akhlaq;
3) berpendirian tegas, yang bisa dibina melalui penelaahan dan pembahasan
tentang pola-pola pengelolaan negara yang dilakukan oleh para raja sebelumnya;
4) tegar saat menghadapi kesulitan; 5) memiliki sumber finansial yang cukup; 6)
dan mempunyai pembantu-pembantu yang jujur.
Berkaitan dengan keadilan, secara garis besar
dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian, yaitu : keadilan yang berhubungan
dengan perbuatan seorang hamba yang berkenaan dengan hak Allah; keadilan yang
berhubungan dengan perbuatan seseorang yang berkenaan dengan hak-hak terhadap
sesamanya; dan keadilan yang berhubungan dengan perbuatan seseorang terhadapat
hak-hak para pendahulu mereka.
Adapun indikator seseorang dapat dikatakan
bersikap adil adalah 1) menepati janji dan amanah, serta dapat dipercaya; 2)
bersifat penyayang dan terbebas dari sikap penipu; 3) memelihara dan
memperhatika janji-janjinya kepada orang lain; 4) jujur dalam segala
tindakannya; 5) tidak melanggar ketentuan-ketentuan yang berlaku; 6)
menempatkan segala sesuatu pada tempatnya dan menyampaikan amanat pada yang
berhak menerimanya.
Selanjutnya, agar kekuasaan dan pengelolaan
pemerintah berjalan secara efektif dan efesien, penyelenggara negara – masih
menurut Ibn Abi Rabi’ – harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1) tidak
mengangkat pejabat negara yang tidak memiliki integritas kepribadian yang memadai
dan membahayakan kerajaan; 2) tidak meminta fatwa atau saran kepada orang yang tidak
dapat dipercaya, yang dapat membawa kehancuran negara; 3) tidak menyimpan atau menyampaikan
rahasia kepada orang yang tidak dapat dipercaya; 4) tidak minta bantuan kepada orang
yang tidak memiliki kemandirian, yan dapat merusak urusannya; 5) tidak
meremehkan pejabat-pejabat negara, yang menunjukkan kelemahan pemikirannya; 6)
tidak memberi tugas kepada orang-orang yang bodoh atau tidak mampu, yang dapat
berakibat buruk.
7. Etika Politik Islam Menurut Al-Farabi
Nama lengkapnya adalah Abu Nashr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Uzalagh Ibn
arkhan al-Farabi. Lahir di kota kecil bernama Wasij, wilayah Farab, termasuk
kawasan Turkisan, tahun 257 H/870 M, dari pasangan ayah yang berkebangsaan
Persia dan ibu berkebangsaan Turki. Wafat tahun 339 H/950 M.
Pemikiran-pemikiran politiknya dapat dilihat dalam karya-karyanya, antara lain
: Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fadlîlah (pandangan-pandangan para penghuni
negara yang utama), Tahshil al-Sa‘adah (jalan mencapai kebahagiaan), dan
al- Siyâsah al-Madaniyyah (politik kenegaraan).
Sebagaimana Ibn Abi Rabi’, berkaitan dengan asal usul kota atau sebuah
negara, al-Farabi juga berpendapat, bahwa manusia adalah makhluk sosial, yang
secara alami mempunyai kecenderungan untuk hidup bermasyarakat. Karena, untuk
memenuhi kebutuhannya, ia membutuhkan bantuan dan kerja sama dengan pihak lain.
Dan tujuan bermasyarakat ini, tidak semata-mata untuk memenuhi kebutuhan pokok
hidup ini saja, tetapi juga untuk menghasilkan kelengkapan hidup bagi
kebahagiaan manusia.
Dari kecenderungan alami manusia untuk bermasyarakat, lahirlah berbagai macam
masyarakat; ada yang sempurna (al-kâmilah) dan ada yang tidak sempurna (ghayr
al-kâmilah).
Masyarakat yang sempurna, menurut al-Farabi, terbagi menjadi tiga macam,
yaitu : masyarakat sempurna besar, masyarakat sempurna sedang, dan masyarakat
sempurna kecil. Adapun masyarakat sempurna besar adalah gabungan banyak bangsa
yang sepakat untuk bergabung dan saling membantu serta kerja sama; atau dapat
diistilahkan dengan perserikatan bangsa-bangsa. Masyarakat sempurna sedang
adalah masyarakat yang terdiri dari satu bangsa yang menghuni satu wilayah di
bumi ini; atau dapat disebut dengan negara nasional. Sedangkan masyarakat
sempurna kecil adalah masyarakat yang terdiri dari para penghuni satu kota;
atau diistilahkan dengan negara-kota.
Adapun masyarakat yang tidak sempurna adalah kehidupan social di tingkat
desa, kampung lorong dan keluarga, dan di antara tiga pergaulan yang tidak atau
belum sempurna itu. Karenanya, kehidupan social dalam rumah atau keluarga
adalah masyarakat yang paling tidak sempurna. Keluarga merupakan bagian dari
masyarakat lorong; masyarakat lorong merupakan bagian masyarakat kampung; dan
masyarakat kampung merupakan bagian dari masyarakat negara-kota. Hanya bedanya,
kampung merupakan bagian negara-kota, sedangkan desa hanya merupakan pelengkap
untu melayani kebutuhan negara-kota.
Dari sini nampak, al-Farabi tidak menganggap tiga unit pergaulan social
tersebut sebagai masyarakat yang sempurna, karena tidak cukup kuat untuk
berswasembada dan mandiri dalam rangka memenuhi kebutuhan para warganya, baik
berkaitan dengan masalah ekonomi, social, budaya maupun spiritual.
Selanjutnya, kepala negara, lanjut al-Farabi, haruslah seorang pemimpin
yang arif dan bijaksana, yang memiliki dua belas kualitas luhur, yang sebagian
telah ada sewaktu lahir sebagai watak yang alami atau tabiat yang fitri, namun
yang lain perlu dikembangkan melalui pengajaran yang terarah, pendidikan serta
latihan yang menyeluruh. Baginya, pemimpin Negara tidak harus seorang filsuf
yang mendapat kemakrifatan atau kearifan melalui pikiran dan rasio, tetapi juga
dapat seorang nabi yang mendapat kebenaran lewat wahyu. Adapun kedua belas
syarat pemimpin itu antara lain : 1) lengkap anggota tubuhnya; 2) mempunyai
kemampuan pemahaman yang baik; 3) kuat hafalannya dan tinggi intelegensianya;
4) pandai mengemukakan pendapatnya dan mudah dimengerti uraiannya; 5) mencinta
pendidikan dan gemar mengajar; 6) tidak rakus terhadap makanan dan makanan
serta wanita; 7) mencinta kejujuran dan membenci kebohongan; 8) berjiwa besar
dan berbudi luhur; 9) tidak memandang penting terhadap kekayaan dan
kesenangan-kesenangan dunia; 10) mencintai keadilan dan membenci kezhaliman;
11) tanggap dan tidak sukar, bila diajak menegakkan keadilan, dan sulit bila
diajak untuk melakukan atau menyetujui tindakan keji dan kotor; 12) kuat
pendiriannya terhadap hal-hal yang menurutnya harus dikerjakan, penuh
keberanian, tinggi antusiasme, tidak penakut atau berjiwa lemah.
Karena untuk mendapatkan orang yang memiliki semua kualitas luhur tersebut
adalah sangat sulit dan jarang, maka – masih menurut al-Farabi – jika terdapat
lebih dari satu, maka yang diangkat menjadi kepala negara adalah seorang saja.
Tetapi jika tidak terdapat sama sekali yang memenuhi criteria di atas, maka
pimpinan negara dapat dipikul secara
kolektif antara sejumlah warga negara yang termasuk kelas pemimpin
8. Etika Politik Islam Menurut Al-Mawardi
Nama lengakap al-Mawardi adalah Abu al-Hasan ‘Ali Ibn Muhammad Ibn Habib
al-Bashri al-Mawardi (364 H/975 M – 450 H/1059 M). Ia adalah seorang pemikir
Islam terkenal, tokoh terkemuka madzhab Syafi’i, dan pejabat tinggi yang besar
pengaruhnya pada masa pemerintahan Abbasiyyah. Setelah menjalani hidup dengan
cara berpindah-pindah, dari satu kota ke kota lainnya sebagai hakim, akhirnya
dia kembali dan menetap di Baghdad, dan mendapat kedudukan terhormat pada
pemerintahan khalifah Qadir.
Di antara pemikiran politik al-Mawardi yang terkenal adalah tentang
khilafah atau imâmah. Baginya, imâmah diartikan sebagai pengganti kedudukan
Nabi, yang melestarikan agama dan menyelenggarakan kepentingan duniawi.
Dan eksistensi imâmah, bagi al-Mawardi, adalah penting dan wajib. Hanya
saja, kewajiban itu, apakah berdasarkan akal atau syara’ masih dalam perdebatan
di kalangan para ulama’. Ada yang mengatakan, imâmah wajib berdasarkan
pertimbangan rasionalitas. Artinya, adanya imâmah adalah untuk menjaga
ketertiban dan stabilitas keamanan, serta menghindarkan dari tindakan-tindakan
anarkis dan pertentangan dan permusuhan. Namun ada juga yang berpendapat,
kewajiban itu adalah ditetapkan oleh syara’, berdasarkan QS. al-Nisa’ ayat 59.
Lembaga imâmah ini, menurut al-Mawardi, mempunyai tugas dan tujuan umum,
yaitu : 1) memelihara dan mempertahankan syari’at berdasarkan prinsip-prinsip
yang ditetapkan dan sesuatu yang menjadi ijma’ oleh generasi awal umat Islam;
2) melaksanakan ketentuan hukum di antara oknum-oknum yang sedang bersengketa
atau berselisih, dan mewujudkan keadilan antara yang teraniaya maupun yang
menganiaya; 3) melindungi wilayah Islam dan memelihara kehormatan rakyat, agar memiliki
kemerdekaanjiwa dan harta mereka; 4) memelihara hak-hak rakyat dan hukum Tuhan;
5) mengkonsolidasikan kekuatan untuk melawan musuh; 6) berjihad terhadap
orang-orang yang menentang Islam, setalah ada dakwah atau seruan, agar mereka
mengakui eksistensi Islam; 7) memungut pajak dan sedekah menurut ketentuan
syari’at, nash dan ijtihad; 8) mengatur pemanfaatan harta baitul mal secara
efektif; 9) minta nasehat dan pandangan dari tokoh-tokoh masyarakat yang
terpercaya; 10) dalam mengatur umat dan memelihara agama, pemerintah bersama
kepala negara harus langsung menangani dan meneliti keadaan yang sesungguhnya.
Selain itu, lembaga ini juga bertugas mewujudkan kemaslahatan-kemaslahan dan
sarana-sarana yang dapat mewujudkan kemaslahatan tersebut.
Seorang imam dapat dipilih melalui dua cara, yaitu : melalui pemilihan
sebuah badan yang disebut ahl al-‘aqd wa al-hal atau ahl al-ikhtiyâr dan
melalui pilihan imam sebelumnya.
Badan yang memilih imam di atas, setidaknya harus memenuhi tiga kriteria,
yaitu : 1) berlaku adil (al-‘adâlah) dengan segala persyaratannya dalam
segala sikap dan tingkah lakunya; 2) memiliki pengetahuan, yang dengannya dapat
mengetahui siapa yang berhak menjadi kepala negara, berdasarkan kualifikasi
yang ditentukan; 3) memiliki wawasan dan kearifan (al-ra’y wa al-hikmah),
yang dapat digunakan untuk memilih imam yang mampu dan layak mengelola urusan
negara dan rakyat. Dan anggota-anggotanya tidak harus terdiri dari mereka yang
hanya berada dalam negara imam atau ibukota.
Adapun calon imam yang layak dipilih, lanjut al-Mawardi, harus memenuhi
syarat-syarat berikut ini: 1) sikap adil (al-‘adâlah) dengan segala
persyaratannya; 2) memiliki pengetahuan yang dapat dipergunakan untuk mengambil
ijtihad atau keputusan dalam mengahadapi problematika negara; 3) sehat
pendengaran, penglihatan dan lisannya; 4) utuh anggota-anggota badannya; 5)
mempunyai kebijaksanaan (al-ra’y al-mufdli) dalam mengatur kehidupan
rakyat dan kepentingan umum; 6) mempunyai keberanian untuk memerangi musuh; 7)
berketurunan suku Quraisy.
9. Etika Politik Islam Menurut Ibn
Taimiyah
Nama lengkapnya adalah Taqî al-Dîn Abû al-‘Abâs Ahmad ibn ‘Abd al-Halîm Ibn
‘Abd al-Salâm Ibn ‘Abd Allah Ibn Taimiyyah al-Harânî al-Hanbalî. Lahir di kota
Harran Mesopotamia Utara, pada hari Senin, tanggal 10 Rabî‘ul Awal tahun 661
H., bertepatan dengan 22 Januari 1263 M., dan meninggal di Damaskus pada
tanggal 20 Dzulqa‘dah 728 H., bertepatan dengan 26 September 1328 M53. Ayahnya
adalah seorang ulama besar yang mempunyai kedudukan tinggi di masjid jami‘
Damascus. Ia bertindak sebagai khatib dan imam di masjid itu, sekaligus sebagai
muallim pelajaran tafsir dan hadis. Disamping itu dia juga sebagai
direktur Madrasah Dar al-Hadis al-Sukkariyyah, salah satu lembaga pendidikan
mazhab Hanbali yang tergolong sangat maju dan bermutu pada waktu itu. Di
sinilah Abdul Halim mendidik Ibn Taimiyyah. Dan pemikiran politiknya terlihat
dalam karyanya yang berjudul al-Siyâsah al-Syar‘iyyah fi Ishlâh al-Râ‘i wa
al-Ra‘iyyah (politik yang berdasarkan syari’ah bagi perbaikan penggembala
dan gembala).
Orientasi pemikiran politik Ibn Taymiyyah adalah bersendikan agama. Hal ini
terlihat dari judul buku di atas atau pun isi mukaddimahnya, yang mendasarkan
teori etik politiknya dengan ayat al-Qur’an, surat al-Nisa’ ayat 58-59. Dari
dua ayat tersebut, setidaknya ada empat pesan yang terkandung di dalamnya : 1)
perintah menunaikan amanat; 2) perintah berlaku adil dalam menetapkan hokum; 3)
perintah taat kepada Allah, Rasul dan Ulil Amri; dan 4) perintah menyelesaikan
perselisihan dengan mengembalikannya kepada Allah dan Rasul-Nya.
Namun di lain tempat, Ibn Taymiyyah menyatakan, bahwa perintah menunaikan
amanat dan perintah berlaku adil merupakan dua prinsip etik utama dan paling
dominan dalam alsiyâsah-nya.
Tentang istilah amanat, menurut Ibn Taymiyyah, mencakup dua konsep, yaitu
kekuasaan (politik) dan harta benda (ekonomi). Kekuasaan merupakan amanat yang
harus ditunaikan. Dan karenanya, seorang pemimpin juga harus mempunyai sifat
amanah. Dia dituntut untuk berlaku amanah dalam melaksanakan tugas dan
menyelesaikannya dengan sebaik-baiknya.
Berkaitan dengan kekuasaan politik, amanah menuntut keharusan menunaikan
amanat sebagai bentuk tanggung jawabnya, baik amanat itu berasal dari Tuhan
ataupun dari sesame manusia. Sedangkan amanah yang berhubungan dengan harta
benda ekonomi, amanah berarti keharusan mengelola kekayaan negara secara
proporsional dan bertanggung jawab untuk kemashlahatan rakyat.
Dalam beberapa bagian tulisannya dalam al-Siyâsah, Ibn Taymiyyah
mengungkapkan beberapa kezhaliman ekonomi yang secara substantif
mengindikasikan persoalan etis.
Pertama, pemerintah dilarang merampas atau mengambil harta benda rakyat, yang bukan
haknya. Namun bila ada harta benda rakyat yang diperoleh dengan cara yang tidak
halal, maka harus dikembaikan oleh pemerintah kepada pemiliknya.
Kedua, para pejabat hendaknya tidak menerima hadiah dari siapapun, saat
melaksanakan tugas. Karena hadiah itu dapat menimbulkan dampak-dampak negatif
yang tidak diinginkan.
Ketiga, harta benda yang sudah terlanjur disita oleh negara secara illegal, dan
sudah diketahui, bahwa harta itu tidak ada pemiliknya, maka harta dimaksud
harus digunakan untuk kepentingan umum, seperti untuk sektor pertahanan
keamanan dan pembayaran gaji tentara.
Keempat, dalam pembangunan, yang harus diperhatikan adalah asas kemaslahatan secara
sempurna dan menekan seminimal mungkin timbulnya kerusakan.
Tentang prinsip keadilan, bagi Ibn Taymiyyah, merupakan prinsip fundamental
sebuah pemerintahan. Karena pentingnya keadilan ini, Ibn Taymiyyah hingga
berpendapat, bahwa pemerintah yang adil, walaupun dipimpin oleh seorang kafir
adalah lebih baik daripada pemerintahan muslim tetapi berlaku zhalim. Karena,
keadilan walaupun disertai dengan kekafiran, masih memungkin adanya
kesinambungan kehidupan dunia, tetapi sebaliknya, kezhaliman meskipun dengan keislamannya,
akan sulit mempertahankan kehidupan dunia.
10. Etika Politik Islam Menurut Ibnu Khaldun
Mendirikan suatu negara atau pemerintahan untuk mengelola urusan rakyat
merupakan kewajiban agama yang paling agung. Tegaknya nilai-nilai agama seperti
keadilan, keamanan, keteraturan, dan keadaban hanya mungkin dilakukan melalui
negara atau pemerintahan. Menurut Ibnu Khaldun, bentuk pemerintahan itu ada
tiga macam, yaitu sebagai berikut :
a.
Kerajaan (al-mulk), yaitu pemerintahan
yang membawa umatnya kepada tujuan dan keinginan yang tersusun dalam satu
individu. Pemerintahan ini menyerupai apa yang dikenal dengan pemerintahan
otoriter, individualis, otokrasi atau inkonstitusional.
b.
Republik (mulk-politik), yaitu
pemerintahan yang membawa berbagai manfaat bagi masyarakatnya dalam mencapai
kemaslahatan duniawi karena menjalankan kebijaksanaannya berdasarkan rasio oleh
para pemikir dan intelektual.
c.
Khilafah, yaitu pemerintahan yang membawa
rakyatnya untuk berpikir sesuai dengan jalan agama dalam memenuhi semua
kepentingan mereka. nilah yang dipahami sebagai pemerintahan yang Islami oleh
Ibnu Khaldun. Jika aturan undang-undangnya diputuskan oleh para intelektual,
maka kebijaksanaan politiknya disebut rasional. Dan jika aturan-aturan itu
berasal dari syari’at agama, maka orientasi politiknya adalah religius,
bermanfaat dalam kehidupan keduniaan dan keakhiratan.
Hal terpenting dalam pemikiran Ibnu Khaldun tentang politik bukanlah terletak
pada bentuk negara, namun bagaimana negara dapat berjalan secara adil dan jujur
dalam moral-etik agama yang menjamin pembangunan di berbagai sektor kehidupan
masyarakat dengan baik dan bermoral. Terlepas dari apapun bentuknya, dalam hal
ini dapat disimpulkan bahwa konsep negara yang dipahami oleh Ibnu Khaldun ialah
konsep negara yang Islami dan berjalan sesuai dengan ajaran semangat Islam
dalam setiap hukum yang diterapkan.
Konsepsi negara yang Islami tersebut menurut Ibnu Khaldun adalah negara
yang tidak hanya terpaku untuk melaksanakan syari’at agama ataupun hal-hal
yang berkaitan dengan akhirat semata, tetapi negara yang memperhatikan masalah
dunia dan akhirat secara seimbang. Sehingga pemerintahannya pun benar-benar
mencerminkan tujuan Islam untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Negara
yang Islami semestinya dipahami dalam beberapa karakter sebagai berikut:
a.
Negara yang berakidah, terbentuk, berdiri, dan
tegar dengan kokoh di atas landasan falsafah yang lengkap (dunia dan akhirat).
Yaitu berlandaskan uatu akidah dan konsepsi wujud, falsafah etika, sistem
akhlak, dan juga sistem hukum kemasyarakatan yang meliputi aspek sosial,
politik, ekonomi, dan budaya. Negara yang Islami bukan seperti gambaran sebagian
orang yang mengacu pada pikiran Barat bahwa negara yang Islami adalah negara
agama yang membatasi diri pada suatu kepercayaan keagamaan yang bersifat gaib,
tata cara ibadah, serta ritual semata.
b.
Persoalan hukum di dalam negara yang Islami
tidak dibentuk secara kaku, namun dibentuk melalui mufakat di antara para ahli
hukum Islam yang menangani masalah hukum agama maupun duniawi.
c.
Negara yang Islami adalah negara yang
berakhlak dan berperikemanusiaan untuk mewujudkan kehidupan manusia yang tunduk
kepada Allah dan dapat menegakkan keadilan di antara manusia. Sehingga tujuan akhlak
atau etika senantiasa seiring dengan tujuan di berbagai bidang kehidupan lain,
seperti sosial, ekonomi, politik, dan militer.
d.
Negara yang Islami adalah negara berperadaban,
meliputi masalah peningkatan ekonomi, pengetahuan, dan teknologi yang
bermanfaat bagi kebaikan manusia dalam koridor akhlak Islami.
e.
Negara yang Islami memiliki kekokohan dasar
dan kedinamisan bentuk. Semestinya Islam menjadi landasan negara dalam bentuk
negara yang senantiasa berkembang menurut ijtihad dan perkembangan zaman.
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan
bahwa negara yang Islami mementingkan akhlak atau etika dalam semua bidang
kehidupan. Sehingga pada negara yang Islami, tujuan dalam keduniaan bisa
terwujud dengan memakmurkan ekonomi rakyat, meningkatkan ilmu pengetahuan dan teknologi,
serta dapat mengembangkan peradaban dan kebudayaan pada umumnya.
Mengenai sistem dan bentuk negara, agama Islam
juga tidak memberikan perincian yang jelas. Islam hanya memberikan penegasan mengenai
proses pelaksanaan pemerintahan yaitu keadilan, kejujuran, keikhlasan, dan
segala sesuatu yang menyangkut hukum (syari’at) dikembalikan kepada
al-Qur’an dan Sunnah Nabi – tidak boleh penguasa menyimpang dari syari’at.25
Islam tidak mengharuskan suatu bentuk pemerintahan apapun, selama pemerintahan
itu dapat berjalan sesuai dengan nilai-nilai ajaran Islam yang benar. Segala
aspek-aspek yang buruk dalam suatu negara merupakan keburukan yang muncul dalam
pemerintahan tanpa etika.
Politik tidak hanya mencakup persoalan negara,
tetapi juga membahas tentang hubungan antar manusia dalam bentuk-bentuk pengawasan,
pengaruh, kekuasaan atau otoritas secara luas. Dengan demikian, politik dapat
mengarah pada objek pembahasan dalam lingkup pemikiran dan tindakan atau
perilaku politik dalam perspektif filsafat etika. Dengan etika, manusia akan
dibimbing menjadi politikus yang memiliki keprihatinan terhadap masyarakat dan bertindak
atas dasar pertimbangan-pertimbangan akal yang sehat agar masyarakatnya bisa
hidup aman dan sejahtera.
Konsep tentang politik menurut Ibnu Khaldun
terletak pada konsepsi ‘ashabiyyah. Terlebih lagi karena konsep ini
telah menjadi landasan utama dalam pembentukan negara, serta menjadi dasar
kekuatan sentral politik menurut Ibnu Khaldun. Jadi, pembicaraan konsep politik
Ibnu Khaldun tidak bisa lepas dari pembicaraan tentang konsep ‘ashabiyyah.
Pengertian ‘Ashabiyyah
Kata ‘ashabiyyah telah digunakan bangsa
Arab jauh sebelum kedatangan Islam. Namun pengertian ‘ashabiyyah
tersebut berkonotasi negatif, yakni fanatisme kekabilahan atau kesukuan
yang sempit, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya. Sehingga ‘ashabiyyah
pada waktu itu dianggap sebagai penghancur superioritas umat Islam periode awal,
karena telah memunculkan berbagai dinasti dalam Islam.
Namun dalam kata pengantar buku Muqaddimah terjemahan
Franz Rosenthal, dijelaskan bahwa istilah ‘ashabiyyah berasal dari kata
‘ashaba (keluarga). Istilah tersebut pada mulanya mengandung makna
membantu dan memperkuat keluarga. Kemudian istilah tersebut berkaitan erat pula
dengan istilah ‘ishabah dan ‘ushbah, yang keduanya sama-sama
berarti kelompok. Istilah ‘ashabiyyah oleh Franz Rosenthal jika
diterjemahkan kedalam bahasa Inggris yaitu group feeling. Jadi, ‘ashabiyyah
adalah rasa kelompok atau solidaritas sosial dalam kelompok.
‘Ashabiyyah yang dimaksud oleh Ibnu Khaldun ini tidak
terbatas pada hubungan keluarga semata, namun bisa bermakna luas dalam bentuk hubungan-hubungan
yang dibangun oleh seorang pemimpin secara efisien dengan para pendukung dan
masyarakatnya. Hubungan antara pemimpin dengan masyarakatnya akan memunculkan
proses saling membutuhkan. Jika terjadi perpaduan secara besar-besaran, maka
akan menghasilkan kelompok superioritas yang besar pula dalam suatu negara.
‘Ashabiyyah merupakan sebuah konsep besar yang mewarnai
segenap pemikiran politik Ibnu Khaldun. Dalam pembukaan keterangannya tentang dinasti,
kerajaan, khilafah, pangkat pemerintahan dan segala yang berhubungan dengan
kekuasaan, ia menyatakan bahwa kemenangan selalu berada di pihak yang memiliki ‘ashabiyyah
(solidaritas) lebih kuat. Oleh sebab itu, seorang penguasa memerlukan
solidaritas kelompok yang besar dan kuat berupa loyalitas dari kelompoknya
dalam menghadapi tantangan, baik dari dalam maupun dari luar negeri terhadap
otoritas dan kekuasaannya. Dari berbagai ‘ashabiyyah atau solidaritas
kelompok yang terdapat di negara itu, seorang kepala negara harus berasal dari
solidaritas kelompok yang paling dominan.
Ibnu Khaldun memahami ‘ashabiyyah sebagai
ikatan yang memiliki kekuatan mengikat dalam komunitas masyarakat. Ikatan
tersebut membuat satu kelompok ‘ashabiyyah memiliki rasa senasib
sepenanggungan. Bila salah satu anggota merasa tersakiti, maka seluruh
masyarakat yang ada dalam satu ashabiyyah tersebut juga akan ikut
merasakan tersakiti. Sehingga pada umumnya, ‘ashabiyyah merupakan ikatan
emosional yang mengikat dan menyatukan hubungan antar manusia, sehingga
memiliki solidaritas sosial yang tinggi terhadap sesamanya.
Dalam proses pemenuhan kebutuhan misalnya, ‘ashabiyyah
dapat memperkuat kerjasama antara satu dengan yang lainnya. Dengan
demikian, kebutuhan apapun yang diinginkan akan segera terpenuhi akibat dari kerjasama
dan rasa solidaritas tersebut. Karena di dalam ‘ashabiyyah, tiap individu
diarahkan untuk memiliki visi yang sama untuk mencapai tujuannya dan merasakan
kesatuan dari rasa solider yang amat erat.
Macam-macam ‘Ashabiyyah
Solidaritas kelompok itu terdapat dalam watak
manusia. Ia didasarkan pada bermacam-macam bentuk, seperti: ikatan darah atau
berdasarkan pada keturunan, bertetangga, persekutuan, maupun hubungan antara
pelindung dan yang dilindungi. Untuk lebih jelasnya, ‘ashabiyyah memiliki
lima bentuk, yaitu sebagai berikut:
a.
‘Ashabiyyah kekeluargaan atau keturunan, yaitu ‘ashabiyyah
yang paling kuat karena berdasarkan pada hubungan darah.
b.
‘Ashabiyyah kekerabatan, yaitu ‘ashabiyyah yang
terjadi karena hubungan kekerabatan lintas keluarga, dimana seorang individu
dapat memperluas ‘ashabiyyahnya melalui garis keturunan yang dianggap memiliki
ikatan darah walaupun jauh. Misalnya, kekhawatiran seseorang anggota keluarga
jauh terhadap kehinaan yang mungkin diterima oleh orang-orang yang memiliki
hubungan kekeluargaan dengannya meskipun cukup jauh.
c.
‘Ashabiyyah kesetiaan, yaitu ‘ashabiyyah yang
terjadi karena peralihan seseorang dari satu garis keturunan dan kekerabatan
kepada keturunan yang lebih kuat atau akibat kondisi-kondisi sosial tertentu. ‘Ashabiyyah
ini timbul dalam bentuk persahabatan dan pergaulan yang tumbuh melalui
proses tergabungnya seseorang pada suatu garis keturunan yang baru. Adapun
faktor pendorong dari ‘ashabiyyah ini ialah ambisi dari seseorang untuk
mencapai kekuasaan dalam strateginya yang menggunakan popularitas dari suatu
garis keturunan tertentu.
d.
‘Ashabiyyah penggabungan atau persekutuan, yaitu ‘ashabiyyah
yang terjadi karena penggabungan dua suku atau organisasi kedalam satu naungan.
Misalnya, jika antar dua bangsa memiliki satu hubungan emosional yang kuat,
maka kedua bangsa dapat dikatakan sebagai satu ‘ashabiyyah persekutuan.
e.
‘Ashabiyyah perbudakan, yaitu ‘ashabiyyah yang timbul
dari hubungan antara para budak atau kaum mawali dengan tuan-tuan mereka.
‘Ashabiyyah dalam pertalian darah (keturunan) mempunyai
kekuatan mengikat pada kebanyakan umat manusia karena terdapat dorongan yang tertanam
dalam dirinya untuk menolak setiap kesakitan ataupun penindasan yang terjadi pada keluarganya. Apabila
tingkat kekeluargaan itu jauh, maka timbullah perasaan kekeluargaan yang
didasarkan kepada pengetahuan lebih luas tentang persaudaraan. Hal inilah yang
dinamakan dengan ‘ashabiyyah dalam kekerabatan. Selanjutnya mengenai
sahabat-sahabat yang dilindungi oleh orang-orang yang bersekutu, sehingga
muncul rasa saling membantu apabila hak-hak tetangga atau sahabatnya tersebut
telah dilanggar. Maka ini dinamakan ‘ashabiyyah dalam persekutuan.
Ibnu Khaldun juga membedakan ‘ashabiyyah dalam
dua bentuk, yaitu ‘ashabiyyah yang baik (kekuasaan pemimpin yang adil)
dan ‘ashabiyyah yang buruk (kekuasaan pemimpin yang zalim). ‘Ashabiyyah
yang baik adalah ‘ashabiyyah yang bertujuan dan berperan untuk mencapai
kebenaran dan kebaikan dalam politik demi memenuhi perintah Allah, serta
mengikis berbagai bentuk kemungkaran. Sebaliknya, ‘ashabiyyah yang buruk
merupakan ‘ashabiyyah yang diarahkan semata-mata untuk mencapai kekuasaan
tanpa moral, sehingga akan menimbulkan pemerintahan yang anarkis dan membebani
masyarakatnya.
Konsepsi ‘ashabiyyah yang dikemukakan
oleh Ibnu Khaldun dalam pengertian ikatan emosional pada kesatuan teritorial
tersebut adalah mutlak positif. Karena ‘ashabiyyah yang demikian tidak
menuntut fanatisme buta dari pengikutnya, tanpa melihat roda pemerintahan yang
dijalankan oleh pemimpinnya. Bahkan ‘ashabiyyah menurut Ibnu Khaldun
akan semakin baik dan kuat dengan agama, karena akan memberikan ajaran dan
petunjuk untuk mengarahkan ‘ashabiyyah secara benar dan mampu memperkuat
ikatan emosional didalamnya. Penyebabnya ialah:
“…‘Ashabiyyah menggerakkan manusia untuk
mempertahankan dan melindungi tempat tinggalnya; ‘ashabiyyah juga
merupakan latar belakang setiap akitivitas manusia, seperti pembangunan
otoritas kerajaan atau propaganda untuk satu tujuan tertentu. Tak satu pun dari
semua itu dapat dicapai tanpa perjuangan, sebab manusia mempunyai dorongan
alamiah untuk mempertahankan diri, dan untuk bertarung, orang tak dapat
meninggalkan ‘ashabiyyah”.
‘Ashabiyyah mengarah pada satu tujuan besar yaitu
pembentukan kedaulatan atau kekuasaan, karena masyarakat membutuhkan
kepemimpinan yang dapat melindungi dan mencegah mereka dari berbagai bahaya. Pemimpin
yang mutlak harus memiliki kekuatan dan dukungan dari ‘ashabiyyah yang
kuat hingga mampu menjalankan tugas dalam kepemimpinannya.
Namun terkadang dalam meraih kedudukan itu,
seseorang bahkan melakukan segala cara untuk mendapatkannya. Tidak peduli
apakah caranya tersebut adalah salah atau merugikan bagi orang lain. Dengan
demikian, ‘ashabiyyah juga memerlukan peran etika untuk memalingkan hati
manusia dari kecenderungan melakukan kebatilan agar menuju kepada kebajikan. Sehingga
cara-cara dan usaha yang dilakukan itu tidak menyimpang dari ajaran agama.
Pemimpin dan Kedudukannya
Proses interaksi sosial antar manusia
mengakibatkan kehidupan sosial yang lebih besar, sehingga memerlukan seseorang
yang mampu untuk menyelesaikan setiap permasalahan yang muncul dalam kehidupan
sosial kemasyarakatan tersebut. Masyarakat membutuhkan seseorang yang dengan pengaruhnya
dapat bertindak sebagai penengah dan pemisah antara para anggota masyarakatnya
yang memiliki konflik atau permasalahan.
“‘Ashabiyyah merupakan modal utama untuk
melindungi dan mempertahankan diri, mengajukan tuntutan terhadap lawan, dan segala
sesuatu yang diperlukan. Setiap komunitas sosial kemasyarakatan, manusia secara
natural membutuhkan pengontrol dan penengah yang mampu menyelesaikan konflik
antara golongan lain dalam setiap komunitas masyarakatnya. Karena itu,
pengontrol atau penengah ini harus mampu menguasai mereka dengan ‘ashabiyyah
yang mereka miliki. Jika tidak demikian, maka ia tidak akan mampu menjalankan
tugas dan fungsinya dengan baik.”
Seseorang yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat
tersebut, harusberpengaruh kuat atas anggota-anggota masyarakat lainnya, harus mempunyai
wewenang, kekuasaan atau otoritas yang lebih tinggi di atas masyarakat pada
umumnya. Dengan demikian, konflik dan segala permasalahan di antara masyarakat
bisa teratasi dengan baik dan benar.
Adapun yang dimaksud dengan seseorang yang
mampu untuk bertindak sebagai penengah, pemisah dan sekaligus hakim itu adalah
seorang kepala negara atau pemimpin. Pemimpin adalah seseorang yang menggunakan
kemampuannya, sikapnya, dan pemikirannya untuk mampu menciptakan suatu keadaan
yang nyaman dan sejahtera bagi yang dipimpinnya, serta mampu mengkoordinasi setiap
anggotanya untuk mencapai tujuan bersama. Dengan demikian, pemimpin sangat
berpotensi dalam menjaga keharmonisan dan mampu menertibkan masyarakatnya.
Dewasa ini, seorang pemimpin atau kepala
negara disebut juga dengan Presiden. Presiden adalah sebutan bagi seseorang
yang menjabat sebagai ketua atau pemimpin. Kata Presiden berasal dari bahasa
Latin, yaitu preases yang berarti pelindung atau pembela. Kata itu
mula-mula digunakan untuk menyapa para dewa pelindung (preaeses dii)
dalam masyarakat Romawi Kuno. Dikemudian hari, pada masa pemerintahan
Kaisar-kaisar Romawi, kata praeses dan praesidens digunakan untuk
menyebut para pemimpin daerah taklukkan yang kemudian dimasukkan dalam
kekaisaran Romawi. Secara sederhana, praeses dan praesidens berarti
pemimpin, kepala pemerintahan dalam suatu wilayah, atau kepala negara.
Seorang pemimpin harus memiliki superioritas
atau keunggulan dan kekuasaan untuk berkehendak, serta kebijaksanaan untuk
memutuskan suatu perkara sehingga keputusannya merupakan kata akhir yang harus dilaksanakan.
Namun, terkadang seorang pemimpin itu memerintah secara tidak adil, lebih
mementingkan keinginannya sendiri, dan tidak mementingkan rakyatnya. Oleh sebab
itu, setiap kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh seorang pemimpin harus
didasarkan kepada peraturanperaturan dan kebijaksanaan-kebijaksanaan dalam
politik yang harus dipatuhi oleh semua pihak.
Para pemimpin harus menguasai dan menetapkan
sebuah keputusan dalam setiap persoalan dan urusan kemasyarakatan seluruh
rakyatnya. Misalnya, mengenai hukum atau memutuskan suatu kebijakan. Para pemimpin
itu harus bersikap adil agar masyarakatnya tidak merasa tertekan oleh hukum
tersebut dan tidak akan merasa dibatasi oleh kekuatan apapun. Namun jika para
pemimpin menegakkan hukum-hukum lewat jalan intimidasi atau ancaman, maka
pemerintahan itu akan kehilangan kepercayaan dan masyarakatnya akan merasa tertekan
dan tertindas.
“Seseorang yang memiliki ‘ashabiyyah yang
kuat dan dihiasi dengan karakter yang terpuji, serta sesuai untuk melaksanakan
hukum-hukum agama, maka ia telah siap untuk memegang tanggung jawab sebagai pemimpin
dan memiliki kompetensi untuk menjalankan tugas mulia tersebut.”
Menurut ajaran agama, seorang pemimpin itu
harus pula mengemban tugas sebagaimana yang diperintahkan oleh agama untuk
menegakkan amar ma’ruf nahi munkar melalui dukungan kekuatan dan
kekuasaan dari negara atau pemerintah. Tujuan dari berdirinya suatu negara
adalah melaksanakan sistem sosial yang baik, menegakkan keadilan, mencegah
segala macam bentuk kemunkaran atau penyimpangan terhadap norma agama dan umum,
serta senantiasa menganjurkan kepada umat manusia untuk melaksanakan kebajikan
sebagai realisasi dari perintah agama.
“Kekuasaan dari suatu kekhalifahan cenderung
memerintah masyarakat berdasarkan ajaran agama, baik dalam
kepentingankepentingan akhirat maupun kepentingan-kepentingan dunia. Kekhalifahan
ini pada hakikatnya merupakan pengganti atau wakil Allah dalam menjaga agaman
dan kehidupan dunia.”
Agar dapat efektif dalam menjamin ketertiban
negara dan keserasian hubungan antara warga negara, seorang pemimpin atau
kepala negara tidak harus mendasarkan kelembagaan dan kebijakan pemerintahannya
atas ajaran dan hukum agama yang ditaati oleh rakyat karena keyakinan agama
semata. Ketertiban negara dapat pula tercipta dari kewibawaan, kekuatan fisik,
serta ketegasan dari pemimpin. Sehingga pemimpin yang ideal harus memiliki pengetahuan
yang luas, baik berupa tulisan tangan ataupun ketajaman intelektual.
“Adapun kriteria orang-orang yang dapat
menduduki jabatan terhormat harus memiliki empat syarat, yaitu: berilmu
pengetahuan, berkeadilan, berkompetensi41, dan sehat jasmani maupun rohani,
yang dapat berpengaruh pada pengambilan keputusan dan pelaksanaan tugas serta
tanggung jawabnya.”
Permasalahan antar sesama masyarakat juga
dapat dihindarkan jika masyarakat memiliki kesadaran rasional yang kuat, bahwa
perbuatan yang sewenang-wenang itu akan berakibat permusuhan dan kehancuran.
Oleh sebab itu, memilih pemimpin yang terbaik merupakan keharusan agar keadilan
dapat ditegakkan di antara manusia. Memilih pemimpin memang perlu memperhatikan
figur atau tokoh. Menurut setiap orang, ketokohan seseorang itu berbeda-beda.
Ada yang menilai berdasarkan prestasinya, keunikannya, kegagahannya, jasanya, maupun
moralitasnya dan lain-lain. Selain dari figur, kriteria etis juga diperlukan
dalam memilih seorang pemimpin, seperti: reputasi (nama baik), prestasi
(hasil baik), akuntabilitas (pertanggungjawaban), mengutamakan kepentingan
bersama, menegakkan hukum, memiliki visi dan misi yang jelas, dan memiliki
program kerja yang sesuai kebutuhan bangsa. Ketika seorang pemimpin telah resmi
menduduki jabatannya, ia kembali memerlukan bantuan dari ‘ashabiyyahnya.
Pada dasarnya seorang pemimpin termasuk orang yang lemah karena harus memikul
semua beban dan tanggungjawab yang sangat berat. Oleh karena itu, pemimpin
boleh melimpahkan tugas-tugas kepengurusan kepada orang lain berdasarkan kompetensi
yang dimilikinya. Sehingga terjadilah proses pembagian kekuasaan, berupa
lembaga-lembaga dan institusi-institusi kemasyarakatan yang menandai berdirinya
suatu negara secara nyata.
Pembagian kekuasaan disini bukan berarti
pemisahan kekuasaan secara mutlak, dan bukan juga berarti bahwa dalam satu
negara itu memiliki beberapa orang kepala negara. Akan tetapi, seorang kepala
negara yang telah resmi itu akan membagi kekuasaan di bawah kepemimpinannya
agar bisa mengatur negara secara lebih efektif. Sebab masih adanya saling
pengaruh antara struktur politik tersebut. Secara umum, Ibnu Khaldun membagi
kekuasaan dalam 3 bagian, yaitu:
a.
As-Sulthan
(kepala negara), yang bertugas untuk menetapkan setiap jabatan dari lembaga-lembaga
yang ada dibawah naungannya.
b.
Al-Wizarah (dalam hal pena), yang bertugas untuk menulis
naskah atau surat berharga (sekretaris), dokumentasi, retribusi dan sirkulasi keuangan,
dan mendata seluruh personel militer.
c.
Al-Hijabah (dalam hal pedang), yang bertugas memberikan
pelayanan dan menangani pintu gerbang pemimpin, menjatuhkan hukuman-hukuman, serta
menjaga terpidana agar tetap dalam penjara. Seperti: kepolisian, menjaga
benteng pertahanan, dan armada laut.
Kekuasaan memiliki tingkatan ke bawah dan
lembaga-lembaga yang berada di bawah kekuasaan seorang pemimpin yang
mengharuskan adanya perencanaan dan pelaksanaan oleh masing-masing lembaga.
Oleh sebab itu, lembaga-lembaga tersebut dipercayakan kepada para pegawai
pemerintahan yang dipilih oleh pemimpin atau kepala negara. Dengan begitu,
masing-masing pegawai dapat melaksanakan tugas dan kewajibannya berdasarkan pengangkatan
oleh penguasa yang membawahi lembaga-lembaga yang dipimpin.
11. Etika Politik Islam Menurut Arkoun
Mohammed Arkoun lahir pada bulan Februari tahun 1928 di aourirt-Mimoun Kabilia Aljazair, sebuah
daerah pegunungan berpenduduk bersebelah timur Aljir. Daerah ini terletak
strategis tempat bertemu beberapa kultur seperti tercermin pada bahasa yang
mereka pergunakan yaitu bahasa Kabilia, bahasa Arab dan bahasa Perancis. Bahasa
Kabilia dipergunakan dalam percakapan keseharian dan merupakan wadah
penyampaian tradisi termasuk dalam kehidupan sosial ekonomi. Bahasa Arab
dipergunakan sebagai alat pengungkapan dan pelestarian tradisi keagamaan,
sedangkan bahasa Perancis dipergunakan sebagai alat pemerintahan dan
administrasi. Bahasa Perancis juga sebagai alat penyampaian tradisi ilmiah
Barat melalui sekolah-sekolah yang dibangun para penjajah Perancis.
Arkoun semenjak kecil hidup dalam situasi, kultur dan keragaman bahasa
seperti itu, sehingga tidak heran jika masalah kebahasaan sangat menarik
perhatiannya. Arkoun belajar di sekolah menengah di Oran, di luar daerah
asalnya. Tahun 1950-1954 ia belajar bahasa dan sastra Arab di Universitas Aljir
sambil mengajar bahasa Arab pada salah satu sekolah menengah. Tahun 1954-1962,
ketika berkecamuk perang kemerdekaan Al-Jazair, Arkoun mendaftarkan diri
sebagai mahasiswa di Paris dan semenjak itu ia menetap di Perancis. Meskipun
demikian, perhatiannya terhadap studi dan penelitian bahasa dan sastra Arab
tidak pernah surut.
Tahun 1961 Arkoun diangkat menjadi dosen pada Universitas Sorbonne di
Paris, tempat ia memperoleh gelar doktor sastra pada tahun 1969 dengan
disertasi tentang humanisme dalam pemikiran etis Miskawaih. Pada tahun
1970-1972 ia mengajar di Universitas Lyon, kemudian kembali ke Paris sebagai
guru besar sejarah pemikiran Islam. Selain sebagai dosen ia juga aktif
menyampaikan ceramah di luar negeri termasuk Aljazair. Ia dipercaya untuk menduduki
beberapa jabatan seperti Direktur Ilmiah majalah studi Islam terkemuka, Arabika,
anggota panitia nasional (Perancis) untuk Etika dalam Ilmu Pengetahuan dan
Kedokteran serta anggota majelis nasional untuk AIDS. Tahun 1993 ia diangkat
sebagai guru besar Universitas (Kotapraja) Amsterdam.
Perlu juga dicatat, bahwa kebanyakan karya Arkoun ditulis dalam bahasa
Perancis meskipun sebenarnya ia sangat menguasai bahasa Arab. Dari beberapa
tuturannya dapat diketahui bahwa kecenderungannya menulis dalam bahasa Perancis
bukan tanpa alasan. Menurut Arkoun, ia mengalami banyak kesulitan untuk
mengungkapkan pikirannya dalam bahasa Arab. Dalam sebuah artikelnya yang
diterbitkan tahun 1983 Arkoun mengatakan bahwa kemajuan paling menentukan yang
terjadi pemikiran ilmiah sejak tahun 1950-an belum tersedia dalam bahasa Arab
atau bahasa yang dipergunakan di dunia Islam manapun.
Pengamatan Arkoun bahwa masyarakat Islam telah terbiasa mengatakan politik
Islam tidak terpisahkan dengan agama, karena keduanya secara struktur saling
berkaitan sejak Nabi sebagai orang yang mendirikan prangkat negara dan
sistemnya yang terpusat di Madinah. Menurutnya Nabi secara pasti telah
mendirikan "Negara Islam" di Madinah antara tahun 622 M sampai dengan
632 M, kemudian pada saat yang sama dia meneruskan untuk menyampaikan wahyu
Al-Qur'an yang telah dimulai dari Mekkah tahun 610 M sampai 612 M, dan setelah
wafat lembaga kekhalifahan terbentuk secara bertahap di Madinah yang pertama
pada tahun 632 M sampai 661 M, kemudian berpindah di Damaskus pada tahun 661 M
sampai 750 M dan yang ketiga dibentuk di Bagdad pada tahun 750 M hingga tahun
1258 M.
Dalam kajian politik Islam ada beberapa masalah yang mendasar dan menjadi
sorotan Arkoun dari rentang waktu kurang lebih empat belas abad, secara
kontinuitas permasalahan-permasalahan pada masa klasik muncul pada abad
pertengahan dan berkelanjutan (1950) sebagai tahun kemerdekaan umat Islam dari
kolonial, dimulai dari Mesir, Al-Jazair, Maroko, Sudan dan Indonesia, bangkit
dari cengkraman para penjajah untuk merdeka dan mencari format yang sesuai
untuk membentuk negara yang baru merdeka.
Model Negara
Madinah
Menurut Arkoun model negara Madinah yang agung tidak lain merupakan ciptaan
fantasi kolektif bagi generasi-generasi berikutnya bagi orang-orang muslim apa
yang telah dicontohkan oleh Nabi, yang menetapkan masa dan tempat pembentukan
awal bagi "negara Islam" hal tersebut merupakan model ideal bagi
kekuasaan yang adil, sakral dan legal.
Arkoun tidak sependapat dengan golongan ekstrim atau golongan
fundamentalisme yang pada garis perjuangannya ingin mengembalikan secara total
model ideal Madinah dengan memandang sebagai otoritas ekstensial yang tidak
boleh dilampauinya dan dengan dalil ingin mendirikan negara Islam Madinah, maka
kelompok ini menyerang pemerintah dengan mengurangi legitimasi sistem
pemerintah yang berkuasa karena mereka menganggap terlalu mengikuti barat atau
asing.
Senada dengan pandangan Arkoun cendekiawan liberal menuntut pemisahan
antara agama dan negara dan menyarankan kepada ulama agar menangani
masalah-masalah keulamaan dan menyerahkan pengelolaan urusan kenegaraan kepada
politisi, negara syari'at tidak boleh karena menarik umat Islam di seluruh
dunia akan menjadi negara totaliter, apa yang sesuai bagi Nabi Muhammad dan
sahabatnya tidak mesti benar di zaman kita. Al-Qur'an dan Sunnah sudah
melahirkan tingkatan pemerintahan dan budaya yang tinggi dan di atas
segala-galanya gemilang bagi umat Islam yang berpusat di Arab, mereka bahkan
menciptakan imperium yang mengalahkan imperium lainnya, Bizatium, Persia dan
lain-lain sebelum Islam lahir, namun seluruh imperium termasuk imperium Turki
Usmani telah hancur selama beberapa generasi.
Persoalannya sebahagian negara yang berpenduduk mayoritas muslim ingin
merubah sistem pemerintahan yang diadopsi dari Barat dengan system pemerintahan
model negara Madinah, karena mereka yakin bahwa model negara Madinah dan
al-Qur'an sebagai konstitusi dapat memberikan kemajuan dan kesejahteraan bagi
masyarakat dan bangsanya.
Menurut Arkoun, persoalannya tidak sesederhana itu, karena menurutnya
kepemimpinan Nabi yang mendirikan negara Madinah adalah kepemimpinan transenden
yang berada dalam wewenang Tuhan yang Esa, Hidup bersabda kepada manusia dan
hakim yang kemudian melegitimasi kekuasaan politik Nabi serta para pengikutnya.
Di sini kita kurang mencermati kaitan "halus" yang terjalin antara
suatu wewenang yang realitasnya tergantung kepada konsistensi pemaksaan yang
diusulkan oleh wacana dan kekuasaan politik di Madinah.
Arkoun ingin menjelaskan kepada kita bahwa kepemimpinan Nabi di Madinah
tidak terlepas dari kekuasaan politik dan wewenang Ilahi, maka bila kita menilai
pemerintahan Nabi adalah pemerintahan yang bersifat hubungan timbal balik,
bahkan dalam berbagai persoalan Tuhan sendiri melibatkan diri secara langsung
melawan para musuh.
Lebih jauh Arkoun sebagai seorang sejarawan yang sarat dengan latar belakang
ilmu-ilmu sosial, mengatakan bahwa kepemimpinan Nabi dan sahabat adalah
episteme pada zaman Islam klasik, karena bagaimanapun pemikiran itu dibangun
atas zamannya. Islam awal merupakan masa peresapan spirit Al-Qur'an dalam diri
kaum muslim yang dipimpin oleh Nabi.
Agama ini memainkan peranan penting dalam pembentukan kultur yang sesuai
dengan Al-Qur'an, yakni kultur universal, untuk mengembalikan apa yang disebut
Arkoun "Agama Kekuatan, tekad beragama, ufuk metafisik", dan lain-lain.
Inilah barangkali yang disebut oleh Fazlur Rahman sebagai "fase Sunnah
nonformal".
Selain alasan yang dikemukakan di atas, Arkoun juga mengamati secara saksama
sejarah pasca wafatnya Nabi yang kemudian diganti oleh Khalifah Abu Bakar dan
dilanjutkan oleh Umar, Usman dan Ali. Ketiga khalifah itu meninggal dalam
keadaan tragis, ini disebabkan sistem khilafah dibangun atas dasar kesukuan
atau dapat dikatakan dibangun atas dasar fanatisme kesukuan dan kekerabatan
yang mengakibatkan terjadinya pembunuhan dan kemenangan politik dipihak Umawi
atas Bani Hasyimi kemudian keturunan Hasyimi kembali berjaya pada dinasti
Abbasiyah. Hal demikian terjadi karena budaya atau kultur bangsa Arab pada
waktu itu sangat fanatik terhadap kesukuan, warisan leluhur mereka (Turast)
belum dapat disingkirkan oleh ajaran-ajaran Islam, sehingga fanatisme tetap
berlanjut dan mewarnai percaturan politik pasca wafatnya Nabi.
Dengan alasan di atas maka Arkoun menolak pembentukan Negara Islam. la
lebih menyetujui dibentuknya negara demokratis yang tidak mengenal pertentangan
antara nalar agama dengan nalar filsafat. la ingin menghapuskan wewenang yang
didasarkan atas penafsiran skriptual terhadap teks.
Bukan berarti Arkoun sebagai ilmuwan jebolan Perancis (Barat) lalu serta
merta membongkar higomoni Islam (Timur) yang menurutnya kurang rasional dan
tidak demokrasi sehingga Arkoun mengadopsi semua pemikiran barat, tapi karena
Arkoun juga cukup selektif dan hati-hati terhadap apa yang terjadi di Barat.
Bahkan, Arkoun kembali mengkritik Barat, bahwa Barat sendiri yang merupakan
tempat buaian modernitas, kini bukannya telah mempertanyakan kepada dirinya
sendiri dampak positif dan negative pengalaman yang telah dilaluinya.
Arkoun tidak sependapat dengan cara yang dilakukan oleh Mustafa Kemal
Attaturk di Turki yang membantai sistem pemerintahan Khilafah dan secara
revolusioner menggantikan dengan sistem negara sekularisme radikal menyerupai
tindakan kalangan revolusioner pada saat revolusi Perancis dan tindakan ini
telah membangkitkan reaksi yang sengit dari kalangan agamawan tradisional.
Tetapi tidak menghasilkan gerakan-gerakan kemasyarakatan yang besar yang mampu
mempengaruhi kesadaran kolektif. Di sinilah perbedaan tindakan Attaturk dengan
apa yang terjadi di Prancis.
Jelaslah bahwa sekularisme yang dijalankan oleh Mustafa Kemal Atraturk di
Turki di bawah pengawasan militer kurang mendapat tanggapan yang positif dan
masyarakat Turki karena kondisi sosial masyarakat belum siap untuk menerima apa
yang dijalankan oleh Mustafa Kemal, kemungkinan sekularisasi dapat berhasil
kalau masyarakat telah berubah dari berfikir tradisional religion kepada
masyarakat yang rasional.
Analisa
Kekuasaan dan Wewenang
Menurut Arkoun masalah wewenang dan kekuasaan adalah masalah yang sangat
penting dalam pemerintahan, sebab terkadang dalam system pemerintahan Islam
sulit dibedakan antara wewenang dengan kekuasaan sehingga sering
disalahgunakan. Menurutnya wewenang adalah instansi pengabsahan yang timbul
dalam hubungan pribadi tanpa kendala-kendala yang bersifat fisik maupun hukum.
la lahir dari keterikatan seseorang kepada kata-kata atau tingkah laku individu
lain yang mengatasinya. Sedangkan kekuasaan berada di luar yang dikuasai dan
bergantung kepada penopangnya (wewenang dan kendala tadi).
Jelasnya pada zaman Nabi wewenang didasarkan atas ketegasan makna yang
diambil dari wacana Al-Qur'an, sedangkan kekuasaan politik tergambar dalam
dunia nyata di Madinah atau dalam politik modern, wewenang adalah yang
ditetapkan dalam konstitusi sedangkan kekuasaan adalah aplikasi dari amanat
konstitusi, wewenang Nabi secara jelas tampak dari tindak historis yang penuh
kharisma serta struktur sematis, retoris dan sintaksi wacana Al-Qur'an. Setelah
wafat gambaran wewenang yang hidup dan utuh itu mengalami dua proses
perkembangan Al-Qur'an dan Hadits dihimpun, ditafsir dan diterjemahkan dengan
bermuara kepada tradisi skriptural.
Arkoun mengatakan bahwa fantasi politis Islam yang selalu mengacu kepada
pandangan Arab tradisional yang berkaitan dengan penguasa atau kekuasaan dan
berpihak kepada keturunan (Sayyid - penguasa) ini bias dijumpai dalam literatur
Iran yang berbicara tentang raja-raja sasanid, kemudian malalui
literatur-literatur Yunani yang berbicara tentang raja filosof dan yang
terakhir melalui literatur Kristiani Byzantium (Romawi Timur) yang memandang
kaisar sebagai kehadiran yang suci.
Gambaran simbolik di atas telah membentuk suatu kondisi psikologi sosiologis
budaya dan telah menguasai kesadaran kolektif para pemikir Islam dan telah
mendapat tanggapan dari Mawardi dan Al-Ghazali yang berasal dari abad pertengahan
dan membentuk pandangan-pandangan mereka tentang faktor politis dalam tradisi
Islam secara menyeluruh terbatas pada atmosfir pemikiran terkungkung.
Dari teori yang dibangun oleh kedua tokoh masih mencerminkan unsur budaya
Arab (Turast) sehingga keduanya menyetujui kekuasaan khalifah untuk menunjuk
penggantinya ini masih merupakan bagian dari tradisi Arab sebelum Islam. Dalam
hal ini Al-Ghazali mengatakan bahwa khalifah masih berhubungan darah dengan
suku Quraisy, ini berarti alih kekuasaan masih terkungkung dengan budaya yang
mereka miliki, walaupun Mawardi juga menawarkan khalifah harus dipilih tetapi
hanya terbatas pada kalangan dewan pemilih yang berkedudukan di kota dengan
syarat jujur, pengetahuan luas dan adil tanpa ada persyaratan mewakili unsur
daerah sebagai cerminan dalam demokrasi.
Pemikiran kedua tokoh ini tetap seperti apa yang dikemukakan bagaimana
sebuah kekuasaan politik yang ketat yang temporer (kekuasaan yang ditegakkan
tak lama setelah Nabi wafat secara harfiyah telah menganeksasi agama dan terus
memasukkan kembali) sistem politik yang melampaui agama, perpisahan kekuasaan
dari satu tatanan dari Nabi kepada khalifah dimana khalifah dipilih dari
sahabat Nabi, kemudian kekuasaan yang berpindah kepada sesudah Khalifah
Rosyidin itu diperoleh secara warisan, dipandang oleh Fahmi Jadane, bahwa
kesadaran ini menimbulkan perasaan yang sama dengan dosa asal.
Untuk itulah Arkoun menempatkan pemikiran teologi dan semua bentuk
pemikiran ilmiah untuk diuji kebenarannya secara terus-menerus. Suasana
intektual manusia pada zaman pertengahan yang tunduk terhadap pandangan
tertentu, tentang wujud, manusia, masyarakat dan negara tersebut berbeda dari
pandangan modern yang dibentuk oleh revolusi demokrasi. Pandangan tentang
legitimasi dan kekuasaan yang bersifat vertikal sakral tersebut berubah
(pribadi khalifah adalah suci/disucikan seperti pribadi raja Perancis) dan
diganti oleh pandangan horizontal bagi seluruh manusia dan pemilihan umum.
Demikian legitimasi tersebut berubah dari atas ke bawah, dari langit ke bumi.
Dengan demikian Eropa telah sampai kepada tahapan kemerdekaan diri dan terbebas
dan belenggu zaman pertengahan dan bertanggung jawab atas tindakan-tindakan
sendiri. Dalam masalah kekuasaan Arkoun mengutip apa yang dikemukakan Habermas
bahwa mungkin bagi kita untuk menemukan dalam pemikiran perjanjian yang
mengikat antara Yehovah dengan Bani Israel suatu genesis dialektika khianat dan
kekuatan pemaksa dan penghukum. Pemikiran ini menyatakan sesungguhnya Allah itu
adalah simbol keikhlasan sedangkan keterputusan dengan perjanjian adalah simbol
khianat.
Pandangan ini dapat dilihat bagaimana Khumaini mempergunakan kekuatan untuk
melawan Syeh Iran yang disimboliskan sebagai suatu kekuatan yang telah
melanggar perjanjian Tuhan (khianat) atau dalam Al-Qur'an disimbolkan dengan
Fir'aun maka Khumaini berhasil menggulingkan Syeh Iran pada tahun 1979 dan
mendirikan pemerintahan Republik Islam Iran. Harapan Arkoun revolusi Iran itu
seharusnya menjadi momen sejarah pencerahan umat Islam pada abad 20 dan
melahirkan arus pemikiran yang besar seperti apa yang terjadi ketika revolusi
Perancis pada abad ke 18 yang berhasil memenggalkepala Louis XVI dan mencabut
dasar-dasar legitimasi keagamaan Katholik menandakan gugurnya simbolisme
Kristiani yang mendominasi selama beradab-abad, namun revolusi Iran kembali
membangun sistem pemerintahan Islam dengan konsep Wilayatul Faqih,
dimana menurut Khumaini kedaulatan adalah milik Tuhan dan semua hukum yang
diperlakukan dalam bentuk Syari'ah. Karena itu kewajiban rakyat adalah
menerapkan hukum Tuhan dan hidup sesuai dengan-Nya.
Sistem pemerintahan Republik Islam Iran mendapat tantangan baik dari dalam
negara seperti kelompok nasionalisme dan ulama Syi'ah di Irak, mereka menantang
keterlibatan ulama dalam politik baik karena alasan doktrinial maupun praktis.
Arkoun tidak menyetujui dan memiliki konsep yang berbeda memisahkan politik dan
agama atau sekularisme yang harus didahului oleh kebangkitan pencerahan modern
sebagaimana yang terjadi di Barat, sehingga kalau bukan karena peradaban zaman
pencerahan pemikiran dan filsafat maka pastilah sekularisme tidak akan terwujud
di Perancis sebagai satu realitas hidup.
Arkoun menegaskan bagaimana mungkin sekularisme bisa bangkit pada masyarakat
Arab atau Islam sementara kebanyakan tradisional tetap menguasai bagian besar
dari bangsa itu, sekularisme harus tumbuh dari dalam bangsa itu dan berbenturan
interal dengan budaya setempat, bukan melalui cara impor yang mudah dan siap
pakai sebagaimana yang dilakukan Attaturk seperti resep obat yang bukan bangsa
Turki yang membayarnya tetapi bangsa Perancis, sehingga sekularisme Attaturk
tidak mendapatkan dukungan sosiologis yang cukup bagi keberhasilannya.
12. Etika Politik Islam : Antara Normatifitas dan Realita
Politik riil yang terjadi adalah pertarungan antar kekuatan masing-masing
partai. Seringkali filsafat politik ataupun etika politik dianggap dunia ideal
yang tidak mencerminkan realitas politik yang ada, atau pun sebaliknya.
Berbagai peristiwa kekerasan, politik uang dan korupsi, sangat mendominasi
kehidupan politik di Indonesia. Peristiwa tragis juga pernah terjadi, kerusuhan
disertai penjarahan, penganiayaan dan pemerkosaan (Mei 1998). Kekerasan yang
lebih kejam berlangsung dalam konflik antar etnis dan antar agama (pontianak,
Sampit, Ambon, Poso). Semua itu meninggalkan korban, trauma psikologis,
pengungsian, dan penderitaan berkepanjangan. Serentetan kejadian itu, tidaklah
terjadi secara spontan atau peristiwa insidental belaka. Namun di balik
peristiwa itu, tidak lepas dari praktek politik kekuasaan kelompok tertentu.
Adalah sangat sulit, jika tragedi-tragedi itu tidak dikaitkan dengan
pertarungan elit politik untuk memperebutkan kekuasaan. Meskipun demikian,
rekayasa politik tidak akan memancing kekerasan dengan mudah, jika tidak ada masalah-masalah
yang melilit mereka sebelumnya.
Seperti masalah ketidak adilan dan kebencian korban ketidakadilan adalah
konkrit adanya, yang membuat mereka semakin termarjinalkan. Kesenjangan ekonomi
antara si kaya dan si miskin terlalu jauh; persoalan-persoalan sosial yang
semakin komplek dan berimbas pada kebijakan yang tidak populis, seperti
banyaknya anak putus sekolah, pengangguran, kemiskinan, dan penggusuran. Bentuk
marginalisai ini, pada saatnya akan memancing radikalisme dalam menuntut
keadilan. Dan radikalisasi menjadi kuat, karena kesadaran yang semakin kuat
pada diri mereka sebagai korban. Identitas korban akan semakin mengkristal,
ketika agama menawarkan pendasaran ideologis. Situasi frustasi semacam ini
diperparah oleh kebencian antara pemeluk agama, yang sungguh ada dan dapat
dirasakan. Prasangka buruk terhadap pemeluk agama lain sering kali muncul dan
sengaja dihembuskan oleh pihak-pihak tertentu yang akan memanfaatkan setiap ada
chaos (kekacauan), walaupun tidak sedikit yang menjalin hubungan secara
harmonis dan membangun dialog.
Ketika berbagai bentuk peristiwa kekerasan itu mulai mereda, yang mencuat
ke permukaan sekarang adalah politik uang dan korupsi. Adanya praktek politik
uang, biasa digunakan untuk meraih kekuasaan, atau untuk melanggengkan
kekuasaan. Hal ini bisa dilihat dalam proses pilkada di daerah-daerah, yang
sarat dengan politik uang, walaupun sulit dibuktikan secara empiris. Meskipun
akhir-akhir ini, KPK sering menangani kasus tangkap tangan saat terjadi
penyuapan kepala daerah dan anggota dewan. Untuk melanggengkan kekuasaan itu,
dibutuhkan berbagai fasilitas penopangnya, terutama ekonomi. Korupsi itu
sendiri merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan oleh oknumnya.
Demikian halnya, saat para caleg atau calon kepala daerah berkampanye,
tindak money politic pun terlihat di sana dengan berbagai bentuk yang
beragam. Hal itu bisa dilihat, misalnya dari cara kampanye para caleg yang
membagi-bagikan tas atau kaos bergambar caleg yang bersangkutan sebagai bentuk
‘hadiah’ atau ‘kenang-kenang’; atau membagi-bagi uang kepada para calon pemilih
di daerah pemilihannya.
Demikian halnya dengan para calon kepala daerah. Saat berkampanye, banyak
di antara mereka yang mengunjungi lembaga-lembaga pendidikan, baik pendidikan
formal atau tradisional, yang nota bene banyak masanya. Saat berkunjung pun,
tak segan-segan, mereka mengeluarkan banyak duit, untuk ‘menyumbang’ atau
sekedar memberi ‘hadiah’ kepada sang kiai atau pimpinan lembaga tersebut.
Lebih-lebih, jika kiai tersebut adalah pimpinan tarekat, yang mempunyai banyak
masa, maka antusiasme para calon kepala daerah untuk mendekatinya sangat
terlihat. Namun di balik pendekatan dan pemberian ‘bantuan’ tersebut, terselip
pesan sponsor politis, “pilihlah saya…”. Begitulah kira-kira kondisi
perpolitikan Indonesia dewasa ini.
Jika melihat realitas politik yang demikian memilukan ini, seolah-olah
berbicara politik dalam tataran normatif, sebagaimana etika politik, memberi
kesan naïf dan absurd. Karena kehidupan politik, pada dasarnya merupakan
pertarungan kekuatan antar kelompok politik tertentu dan mempunyai
kecenderungan untuk menghalalkan segala cara, asal tujuan tercapai.
Dan sebagaimana kita ketahui, dalam kehidupan politik,
kepentingan-kepentingan politik sesaat, yang menguntungkan kelompok tertentu
(penguasa) – walaupun merugikan kepentingan rakyat – kerap kali terjadi, tanpa
menghiraukan kritik dan koreksi orang lain.
Manuver-manuver politik yang dilakukan oleh para elit politik, sering tidak
sejalan dengan etika politik yang telah dibangun oleh para pakarnya. Karena,
politik sangat fleksibel sifatnya, sehingga seolah tidak ada tatanan normatif
politik yang baku, kecuali hukum undang-undang yang kerapkali mengundang banyak
kontroversi interpretasi.
Namun tidak harus menyerah begitu saja. Adanya tindak kekerasan, politik
uang dan korupsi, serta penyalahgunaan kekuasaan, yang sangat melekat dengan
praktek kekuasaan, hendaknya justru semakin menyadarkan kita, betapa pentingnya
penerapan etika politik secara teoritik ke dalam kehidupan politik secara riil,
walaupun aplikasinya masih dalam proses, untuk tidak mengatakan tidak mungkin.
Sebagaimana telah disinggung di atas, bahwa etika politik bukanlah akan
mengkhutbahi para politikus secara langsung, namun setidaknya, adanya etika
politik yang ada, sebagaimana pemikiran politik yang telah dibangun oleh para
pemikir muslim klasik dan pertengahan di atas, dapat dijadikan sebagai bahan
renungan untuk membangun iklim politik yang lebih etis dan mengevaluasi kinerja
pemerintahan yang sedang berlangsung, yang akan dapat dijadikan sebagai tolok
ukur untuk memilih pemimpin masa yang akan datang. Dengan pemahaman etika
politik yang ada, diharapkan masyarakat akan menjadi lebih dewasa dalam hal
politik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar