PARTAI POLITIK DAN
PEMILIHAN UMUM
A. Latar Belakang Masalah
Indonesia merupakan negara yang berkedaulatan
rakyat sesuai Pasal 1 ayat (2) amandemen ketiga Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945) yang berbunyi “Bahwa kedaulatan berada
di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar”. Kedaulatan
sendiri berarti kekuasaan tertinggi dalam suatu negara dan itu berarti
rakyatlah yang memegang kekuasaan tertinggi di Indonesia. Dengan menyandang
prinsip kedaulatan rakyat inilah mengantarkan Indonesia untuk menganut sistem
demokrasi sebagai metode awal penyelenggaraan negara. Dalam sistem demokrasi
haruslah dijamin bahwa rakyat terlibat penuh dalam merencanakan, mengatur,
melaksanakan, dan melakukan pengawasan serta menilai pelaksanaan fungsi-fungsi
kekuasaan.[1]
Konstitusi menempatkan rakyat di satu pihak sebagai pemilik kedaulatan
tertinggi, dan lembaga negara sesuai dengan fungsinya masing-masing di pihak
yang lain sebagai pelaksana kedaulatan tersebut.
Demokrasi erat kaitannya dengan pemilihan umum
(pemilu). Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang
Penyelenggaraan Pemilu: “Pemilu adalah sarana pelaksanaan kedaulatan rakyat
yang diselenggarakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Repubik Indonesia Tahun 1945”.[2]
Lazimnya pemilu diselenggarakan untuk memilih
wakil-wakil rakyat yang tergabung dalam partai politik (parpol), karena itu
peserta pemilu biasanya dari partai politik. Namun demikian ada peserta perseorangan
khususnya dalam pemilu untuk memilih wakil-wakil wilayah perwakilan
territorial. Partai politik merupakan peserta pemilu. Dalam Pasal 22 E ayat (3)
UUD 1945 dinyatakan : “Bahwa peserta pemilu untuk memilih anggota Dewan
Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Partai
Politik”.
Penempatan anggota dewan merupakan pemberian
mandat oleh suatu partai politik. Partai politik memiliki arti penting dalam
kehidupan demokrasi, juga sebagai roda penggerak demokrasi. Berdasarkan latar
belakang tersebut, maka makalah ini akan menjelaskan secara rinci mengenai
partai politik dan pemilihan umum di Indonesia.
PEMBAHASAN
A. Partai Politik
1. Sejarah Partai Politik di Indonesia
a. Partai Politik di Masa Penjajahan
Kehadiran partai politik dalam sejarah politik
Indonesia modern dimulai pada permulaan abad ke-20. Sejalan dengan berbagai
kebijakan baru pemerintah Hindia belanda yang banyak dipengaruhi oleh politik
etis, berbagai asosiasi yang bersifat etnis, kebudayaan, dan keagamaan
bermunculan sejak tahun 1905. Partai-partai politik bermunculan setelah
Gubernur Jenderal Idenburg memberikan kekuasaan kepada Sarekat Islam bergerak
secara lokal, karena ia mengira organisasi ini tidak akan terlibat ke dalam
aktivitas politik. Partai-partai lain pun bermunculan dalam kurun 1910-1930,
seperti Indische partij, ISDV (yang kemudian berubah menjadi Partij Komunis
Hindia), dan Partai Nasional Indonesia (PNI) yang didirikan oleh Soekarno pada
tahun 1927.[3]
Sepanjang empat dasawarsa abad ke-20,
partai-partai politik memberikan konstribusi yang besar dalam menumbuhkan
semangat nasionalisme Indonesia, kendatipun partai-partai itu tumbuh dan
berkembang berdasarkan ideologi politik yang berbeda-beda. Sarekat Islam (yang
kemudian menjadi Partai Syarikat Islam Indonesia), Pergerakan penyadar, dan
Partai Islam Indonesia adalah partai-partai dengan ideologi politik islam; PNI
dan Partai Indonesia Raya (Parindra) berideologi nasionalisme; sedangkan Partij
Kominis Hindia (kemudian menjadi Parta Komunis Indonesia) berideologi
komunisme. Perbedaan ideologi antar partai tersebut kerap kali menjadi pangkal
pertikaian di antara pemimpin pergerakan politik pada masa penjajahan Belanda.
Perbedaan strategi dalam berjuang mencapai kemerdekaan, seperti antara kelompok
“kooperasi” dan “non-kooperasi”, juga menjadi sumber pertikaian. Meskipun
memiliki visi politik yang berbeda-beda, partai-partai tersebut sama-sama
berjuang untuk kemerdekaan Indonesia. Mereka berusaha sekuat tenaga agar
masyarakat awam mengerti politik dan memiliki kesadaran bahwa mereka bangsa
yang terjajah dan harus berjuang mencapai kemerdekaan.[4]
b. Partai Politik di Indonesia 1945-1965
Sehari setelah proklamasi kemerdekaan tanggal
17 Agustus 1945, disahkanlah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia yang
kemudian terkenal dengan sebutan UUD 1945. Tidak ada aturan rinci dalam UUD ini
yang berhubungan dengan kehidupan kepartaian. Hal-hal yang bersifat tersirat,
yang berhubungan dengan kehidupan kepartaian, terkandung dalam kalimat-kalimat
pembukaan, batang tubuh, maupun penjelasan.[5]
Meskipun UUD 1945 bersifat demokratis dan
menganut asas kedaulatan rakyat, sehari
setelah UUD itu disahkan, anggota-anggota Panitia Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (PPKI) mengambil keputusan untuk hanya mendirikan satu partai, yang
dinamai Partai Nasional Indonesia (kemudian populer dengan PNI Staatspartij).
Partai ini direncanakan dipimpin oleh Soekarno-Hatta, dengan melibatkan
tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan dari partai-partai pada zaman penjajahan.
Namun keputusan ini banyak ditentang dengan alasan : Pertama, kelompok
penentang menganggap bahwa pembentukan partai tunggal negara adalah ide yang
hanya dikenal di negara yang menganut fasisme atau komunisme. Padahal, negara
Republik Indonesia menurut UUD 1945 adalah negara demokrasi yang menjamin
kebebasan rakyatnya untuk berkumpul dan berserikat. Jadi, rakyat harus
diberikan kebebasan mendirikan partai-partai politik karena kekuasaan harus
dibangun dari bawah, bukan direkayasa dari atas. Kedua, kelompok
penentang merasa curiga bahwa penggunaan istilah PNI hanyalah taktik pendukung
nasionalisme untuk mendominasi gelanggang politik Indonesia pasca kemerdekaan.
Sebab, istilah PNI dengan mudah mengingatkan orang pada PNI yang didirikan oleh
Soekarno pada tahun 1927.
Setelah pengumuman penundaan pembentukan PNI
Staaspartij, partai-partai politik lain bermunculan. Pada tanggal 15 September
1945 berdiri Partai buruh Indonesia (PBI) untuk menghimpun kekuatan kaum buruh
Indonesia di masa awal kemerdekaan. Golongan komunis segera mendirikan kembali
Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tanggal 21 Oktober 1945. Golongan sosialis
mendirikan PARSI (Partai Rakyat Sosialis) pada tanggal 1 November 1945.
Golongan islam mendirikan Masyumi sebagai partai politik Islam satu-satunya
pada tanggal 7 November 1945. Aktivitas ini diikuti oleh tokoh-tokoh Katolik
dan Kristen dengan mendirikan partai berasaskan ajaran agamanya masing-masing.
Smentara itu cabang-cabang PNI Staatspartij yang terlanjur terbentuk, pada
tahun 1946 melebur menjadi PNI Baru. Lama-kelamaan kata “Baru” tersebut hilang
dan menjadi PNI.[6]
2. Partai Politik dan Pelembagaan Demokrasi
Partai politik mempunyai posisi (status)
dan peranan (role) yang sangat penting dalam setiap sistem demokrasi.
Partai memainkan peran penghubung yang sangat strategis antara proses-proses
pemerintahan dengan warga negara. Bahkan, banyak yang berpendapat bahwa partai
politik lah yang sebetulnya menentukan demokrasi, seperti dikatakan oleh
Schattscheider “Political parties created democracy”. Oleh karena itu,
partai politik merupakan pilar yang sangat penting untuk diperkuat
pelembagaannya (the degree of institutionalization) dalam setiap sistem
politik yang demokratis.[7]
Namun demikian, banyak juga pandangan kritis
bahkan skeptis terhadap partai politik. Pandangan yang paling serius di
antaranya menyatakan bahwa partai politik itu sebenarnya tidak lebih daripada
kendaraan politik bagi sekelompok elite politik yang berkuasa atau berniat
memuaskan nafsu birahi kekuasaannya sendiri. Partai politik hanyalah berfungsi
sebagai alat bagi segelintir orang yang yang kebetulan beruntung memenangkan
suara rakyat yang mudah dikelabui, untuk memaksakan berlakunya
kebijakan-kebijakan publik tertentu at the expense of the general will atau
kepentingan umum.[8]
Dalam suatu negara demokrasi, kedudukan dan
peranan setiap lembaga negara haruslah sama-sama kuat dan bersifat saling
mengendalikan dalam hubungan check and balances. Akan tetapi,
jika lembaga-lembaga tersebut tidak berfungsi dengan baik, kinerjanya tidak efektif,
atau lemah wibawanya dalam menjalankan fungsinya masing-masing, maka yang
sering terjadi adalah partai-partai politik yang rakus atau ekstrimlah yang
merajalela menguasai dan mengendalikan segala proses-proses penyelenggaraan
fungsi-fungsi pemerintahan.
Oleh karena itu, sistem kepartaian yang baik
sangat menentukan bekerjanya sistem ketatanegaraan berdasarkan sistem check
and balances dalam arti yang luas. Sebaliknya, efektif bekerjanya
fungsi-fungsi kelembagaan negara itu sesuai prinsip check and balances berdasarkan
konstitusi juga sangat menentukan kualitas sistem kepartaian dan demokrasi yang
dikembangkan dalam suatu negara. Semua ini tentu berkaitan dengan dinamika
pertumbuhan tradisi dan kultur berpikir bebas dalam masyarakat. Kebebasan
berpikir itu pada gilirannya mempengaruhi tumbuh-berkembangnya prinsip-prinsip
kemerdekaan berserikat dan berkumpul dalam dinamika kehidupan masyarakat
demokratis yang bersangkutan.[9]
Pemerintah telah membuat aturan mengenai partai politik yang tertuang dalam Undang-Undang nomor 31
tahun 2002, kemudian menjadi Undang-Undang nomor 2 tahun 2008, dan akhirnya
diperbarui lagi menjadi Undang-Undang nomor 2 tahun 2011.
3. Fungsi Partai Politik
Pada umumnya, para ilmuan politik
menggambarkan adanya beberapa fungsi dari partai politik. Fungsi partai politik
Miriam Budiharjo meliputi beberapa sarana antara lain : (i) komunikasi politik,
(ii) sosialisasi politik (political socialization), (iii) rekruitmen
politik (political recruitment), dan (iv) pengatur konflik (conflict
management).[10]
Dalam istilah Yves Meny dan Andrew Knap, fungsi partai politik itu mencakup
fungsi : (i) mobilisasi dan integrasi, (ii) sarana pembentukan pengaruh
terhadap perilaku memilih (voting patterns), (iii) sarana rekruitmen
politik, dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.[11]
Dalam Pasal 11 Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 Tentang Partai Politik mengatur pula tentang fungsi partai politik, yaitu
sebagai sarana :
a)
Pendidikan politik bagi anggotanya dan masyarakat luas agar menjadi warga
Negara Republik Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
b)
Penciptaan iklim yang kondusif serta sebagai perekat persatuan dan kesatuan
bangsa untuk menyejahterakan masyarakat.
c)
Penyerap, penghimpun, dann penyalur aspirasi politik masyarakat secara
konstitusional dalam merumuskan dan menetapkan kebijakan negara.
d)
Partisipasi politik warga negara Indonesia.[12]
4. Pembentukan Partai Politik
Pembentukan partai politik diatur dalam UU
Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008 tentang partai
politik. Beberapa peraturan yang menyinggung tentang pembentukan partai
politik, terdapat pada :
a. Pasal 2 yang berbunyi :
1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 30 (tiga puluh)
orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun atau
sudah menikah dari setiap provinsi.
a) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didaftarkan oleh paling
sedikit 50 (lima puluh) orang pendiri yang mewakili seluruh pendiri Partai
Politik dengan akta notaris.
b) Pendiri dan pengurus Partai Politik dilarang merangkap sebagai anggota
Partai Politik lain.
2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) harus memuat AD dan ART
serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit :
a) Asas dan ciri Partai Politik;
b) Visi dan misi Partai Politik;
c) Nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik;
d) Tujuan dan fungsi Partai Politik;
e) Organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f) Kepengurusan Partai Politik;
g) Mekanisme rekrutmen keanggotaan Partai Politik dan jabatan politik;
h) Sistem kaderisasi;
i)
Mekanisme pemberhentian anggota Partai
Politik;
j)
Peraturan dan keputusan Partai Politik;
k) Pendidikan politik;
l)
Keuangan Partai Politik; dan
m) Mekanisme penyelesaian perselisihan internal Partai Politik.
5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) disusun dengan menyertakan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus)
keterwakilan perempuan.
b. Pasal 3 yang berbunyi :
1) Partai Politik harus didaftarkan ke Kementerian untuk menjadi badan hukum.
2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai
Politik harus mempunyai:
a) Akta notaris pendirian Partai Politik;
b) Nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda gambar yang telah
dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai dengan peraturan
perundangundangan;
c) Kepengurusan pada setiap provinsi dan paling sedikit 75% (tujuh puluh lima
perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada provinsi yang bersangkutan dan
paling sedikit 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kecamatan pada
kabupaten/kota yang bersangkutan;
d) Kantor tetap pada tingkatan pusat, provinsi, dan kabupaten/kota sampai
tahapan terakhir pemilihan umum; dan
e) Rekening atas nama Partai Politik.
c. Pasal 4 yang berbunyi :
1) Kementerian menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau
verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan
Pasal 3 ayat (2).
2) Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan
paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen persyaratan
secara lengkap.
3) Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan Keputusan
Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya proses penelitian
dan/atau verifikasi.
4) Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.[13]
5. Pembubaran Partai Politik
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang
dijamin oleh UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mendorong berbagai pihak
untuk mendirikan partai politik. Persyaratan mengenai pendirian partai politik
telah dibahas dalam sub bab terdahulu. Di samping harus memenuhi prsyaratan,
partai politik mempunyai hak dan kewajiban. Selain itu ada larangan-larangan
tertentu yang tidak boleh dilanggar oleh partai politik. Pelanggaran terhadap
larangan dapat mengakibatkan sebuah partai politik dibubarkan.
Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang
Partai Politik memuat larangan yang tidak boleh dilanggar yaitu dalam Pasal 40
:
1) Partai politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar yang
sama dengan :
a. Bendera atau lambang negara Republik Indonesia
b. Lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah
c. Nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional
d. Nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi
terlarang;
e. Nama atau gambar seseorang, atau
f. Yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama,
lambang, atau gambar Partai Politik lain.
2) Partai politik dilarang :
a. Melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-undangan, atau
b. Melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
3) Partai Politik dilarang :
a. Menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam bentuk
apapun yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan
b. Menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak manapun
tanpa mencatumkan identitas yang jelas
c. Menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan usaha
melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan;
d. Meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan usaha milik
daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan lainnya, atau
e. Menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakila Rakyat Daerah Provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah Kabuaten/Kota sebagai sumber pendanaan partai politik.
4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham
suatu badan usaha.
5) Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan ajaran
atau paham komunisme/marxisme-leninisme.[14]
Pelanggaran terhadap larangan tersebut, tidak
serta merta meyebabkan partai politik yang bersangkutan diancam dengan tindakan
pembubaran. Sanksi bagi partai politik yang terbukti melanggar
larangan-larangan tersebut ada yang bersifat administratif, ada yang bersifat
perdata, dan ada pula sanksi yang bersifat pidana. Bentuk-bentuk sanksi
tersebut dapat ditafsirkan dari ketentuan Pasal 47 ayat (5) Undang Undang Nomor
2 Tahun 2008 yaitu bahwa pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang diterapkan
oleh badan/lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai
Politik beserta anggotaya. Disamping ketentuan tersebut, bentuk-bentuk sanksi
juga terdapat dalam Pasal 48 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yaitu :
1)
Partai Politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal 40
ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan oleh
pegadilan negeri.
2)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2)
dikenai saksi administratif berupa pembekuan sementara Partai Politik yang
bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri paling lama 1
(satu) tahun.
3)
Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketetuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi.
4)
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan dipidana
dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat
dari jumlah dana yang diterimanya.
5)
Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai Politik yang
bersagkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda
2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya.
6)
Pelaggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (4)
dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara kepengurusan Partai
Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan negeri
serta asset dan sahamnya disita untuk negara.
7)
Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5)
dikenai sanksi pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah Konstitusi.
Prosedur pengajuan pembubaran partai politik
ke Mahkamah Kostitusi diatur dalam ketentuan Pasal 68 ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 Tentang Mahkamah Kostitusi yang menyatakan:
1)
Pemohon adalah Pemerintah.
2)
Pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang
ideologi, asas, tujuan, program, dan kegiatan partai politik yang bersangkutan,
yang diaggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945.
Putusan Mahkamah Konstitusi mengenai permohonan
atas pembubaran partai politik wajib diputus dalam jangka waktu paling lambat
60 (enam puluh) hari kerja sejak permohonan dicatat dalam Registrasi Perkara
Konstitusi.
Dalam ketentuan Pasal 68 belum jelas mengenai
jenis pelanggaran yang seperti apa yang dapat dijadikan dasar bagi Pemerintah
untuk menuntut pembubaran sebuah partai politik. Namun dapat ditafsirkan bahwa
alat bukti surat yang dipakai untuk menilai permohonan yang diajukan oleh
Pemerintah dalam hal ini adalah :
a)
Anggaran dasar
b)
Anggaran rumah tangga
c)
Laporan kegiatan partai politik yang bersangkutan.
Jika salah satu dari ketiganya ditemukan bukti
adanya hal-hal yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar, maka Mahkamah
Konstitusi dapat membubarkan Partai Politik yang bersangkutan dengan putusan
yang bersifat final dan mengikat.[15]
Sampai dengan saat sekarang ini, Mahkamah
Konstitusi belum pernah memutus perkara pembubaran partai politik, karena
permohonan untuk pembubaran partai politik belum pernah diajukan ke Mahkamah
Konstitusi oleh Pemerintah. Hal ini dapat dimengerti, karena pembubaran partai
politik tidak hanya dapat dilakukan dengan permohonan kepada Mahkamah
Konstitusi tetapi pembubaran partai politik dapat terjadi karena alasan-alasan
lain sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008.
Pasal 41 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
hanya menentukan bahwa sebuah partai politik bubar apabila:
a)
Membubarkan diri atas keputusan sediri
b)
Menggabungkan diri dengan partai politik lain, atau
c)
Dibubarkan oleh Mahkamah Kostitusi.
Selama ini partai politik bubar dengan alasan
membubarkan diri atas keputusan sendiri atau mengggabungkan diri dengan partai
politik lain.
6.
Kepengurusan Partai Politik
Keanggotaan atau kepengurusan partai politik
diatur oleh UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008
tentang partai politik, yang terdapat pada :
a. Pasal 16 yang berbunyi :
1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotaannya dari Partai Politik
apabila :
-
Meninggal dunia;
-
Mengundurkan diri
secara tertulis;
-
Menjadi anggota
Partai Politik lain; atau
-
Melanggar AD dan
ART.
2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur di dalam AD dan ART.
3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga
perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti dengan
pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat sesuai dengan
peraturan perundang-undangan.
b. Pasal 19 yang berbunyi :
1)
Kepengurusan Partai
Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara.
2)
Kepengurusan Partai
Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi.
3)
Kepengurusan Partai
Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota kabupaten/kota.
-
Kepengurusan Partai
Politik tingkat kecamatan berkedudukan di ibu kota kecamatan.
4)
Dalam hal
kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan
lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan wilayah yang bersangkutan.
c. Pasal 23 yang berbunyi :
1) Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai
dengan AD dan ART.
2) Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat
pusat didaftarkan ke Kementerian paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak terbentuknya kepengurusan yang baru.
3) Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak
diterimanya persyaratan.
d. Pasal 29 yang berbunyi :
1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk
menjadi :
-
Anggota Partai
Politik;
-
Bakal calon anggota
Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
-
Bakal calon kepala
daerah dan wakil kepala daerah; dan
-
Bakal calon Presiden
dan Wakil Presiden.
(1a) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b dilaksanakan melalui seleksi kaderisasi secara demokratis sesuai dengan AD dan ART dengan mempertimbangkan paling sedikit 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c dan huruf d dilakukan
secara demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan
perundang-undangan.
3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (1a), dan
ayat (2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD
dan ART.[16]
7.
Keuangan Partai Politik
Perihal keuangan atau dana partai politik
dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 83 tahun 2012 tentang perubahan
atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2009 tentang bantuan dana kepada partai
politik, yang berbunyi di antaranya :
a) Pasal 1 Ayat (2) : Bantuan keuangan adalah bantuan keuangan yang bersumber
dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah yang diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang
mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang
penghitungannya didasarkan atas jumlah perolehan suara, dengan prioritas
penggunaan untuk pendidikan politik.
b) Pasal 9 yang berbunyi :
1) Bantuan keuangan kepada Partai Politik digunakan sebagai dana penunjang
kegiatan pendidikan politik dan operasional sekretariat Partai Politik.
2) Bantuan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari APBN atau
APBD.
3) Bantuan Keuangan kepada Partai Politik digunakan untuk melaksanakan
pendidikan politik bagi anggota Partai Politik dan masyarakat paling sedikit 60
% (enam puluh persen).
c) Pasal 10 yang berbunyi :
Kegiatan pendidikan politik sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 9 ayat (1) bertujuan untuk:
a.
meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b.
meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif
masyarakat dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c.
meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan
membangun karakter bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan
bangsa.
d) Pasal 12A yang berbunyi :
1. Partai Politik wajib menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan
pengeluaran bantuan keuangan yang bersumber dari dana APBN dan APBD kepada BPK
secara berkala 1 (satu) tahun sekali untuk diperiksa paling lambat 1 (satu)
bulan setelah tahun anggaran berakhir.
2. Pemeriksaan atas laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah selesai dilakukan oleh BPK paling lama
3 (tiga) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
3. BPK menyampaikan hasil pemeriksaan atas laporan pertanggungjawaban
penerimaan dan pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (2) kepada Partai
Politik paling lama 1 (satu) bulan setelah pemeriksaan selesai dilakukan.[17]
Selain itu, masalah keuangan partai politik
juga diatur dalam UU Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik, sebagai berikut
:
a. Pasal 34 yang berbunyi :
1)
Keuangan Partai Politik bersumber dari:
a)
Iuran anggota;
b)
Sumbangan yang sah menurut hukum; dan
c)
Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
2)
Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b, dapat berupa uang, barang, dan/atau jasa.
3)
Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang
mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota yang
penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.
a.
Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diprioritaskan untuk melaksanakan pendidikan politik bagi anggota
Partai Politik dan masyarakat. (3b) Pendidikan Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (3a) berkaitan dengan kegiatan:
-
Pendalaman mengenai empat pilar berbangsa dan
bernegara yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika dan Negara Kesatuan
Republik Indonesia;
-
Pemahaman mengenai hak dan kewajiban warga
negara Indonesia dalam membangun etika dan budaya politik; dan pengkaderan
anggota Partai Politik secara berjenjang dan berkelanjutan.
4)
Bantuan keuangan dan laporan penggunaan
bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan
(3a) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
b. Pasal 35 yang berbunyi :
1)
Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34
ayat (1) huruf b yang diterima Partai Politik berasal dari :
a)
Perseorangan anggota Partai Politik yang
pelaksanaannya diatur dalam AD dan ART;
b)
Perseorangan bukan anggota Partai Politik,
paling banyak senilai Rp 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam
waktu 1 (satu) tahun anggaran; dan
c)
Perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak
senilai Rp 7.500.000.000,00 (tujuh miliar lima ratus juta rupiah) per
perusahaan dan/atau badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.
2)
Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didasarkan pada prinsip kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab,
serta kedaulatan dan kemandirian Partai Politik.[18]
8.
Pengawasan Partai Politik
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Partai Politik oleh Mahkamah
Agung, ditetapkan bebrapa aturan pengawasan partai politik di antaranya :
a. Di dalam Pasal 2 yang berbunyi “Mahkamah Agung melaksanakan tugas
pengawasan terhadap partai politik agar mentaati atau tidak melakukan
pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan yang berlaku serta
menjalankan hak dan kewajiban sebaik-baiknya.”
b. Pasal 3 yang berbunyi :
1) Mahkamah Agung mempunyai wewenang yang diberikan oleh Undang-Undang dalam
rangka penjatuhan sanksi terhadap partai politik yang melanggar ketentuan
perundang-undangan dan pelaksanaannya dilakukan oleh Mahkamah Agung setelah melalui proses peradilan.
2) Kewenangan Mahkamah Agung dalam rangka pengawasan merupakan kegiatan yang
bersifat preventif dan represif, dengan tetap memperhatikan sikap kemandirian
partai politik dalam rangka mengatur rumah tangga organisasinya.
3) Dalam hal pelaksanaan pengawasan atas laporan keuangan partai politik,
Mahkamah Agung dapat menunjuk Akuntan Publik apabila dianggap perlu untuk
melakukan audit terhadap laporan keuangan tersebut.[19]
9.
Peradilan Partai Politik
Partai politik dan pemilu dalam suatu negara
adalah 2 (dua) unsur yang sangat penting, untuk melihat apakah negara itu
diselenggarakan dengan system pemerintahan yang demokratis atau tidak. Bagi
negara-negara yang mengklaim dirinya sebagai negara demokrasi, pemilu merupakan
atribut sekaligus tolok ukur dari nilai-nilai dasar demokrasi yang dianutnya.
M. Rusli Karim mengemukakan, pemilu merupakan salah satu sarana utama untuk
menegakkan tatanan demokrasi (kedaulatan rakyat), yang berfungsi sebagai alat
menyehatkan dan menyempurnakan demokrasi, bukan sebagai tujuan demokrasi.[20]
Sedangkan, partai politik seperti dikemukakan Schattscheider ‘political
parties created democracy’. Jadi partai politiklah yang membentuk
demokrasi, bukan sebaliknya.[21]
Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, partai
politik merupakan salah satu peserta pemilu, disamping perorangan. Partai
politik melalui pemilu dapat mencalonkan kader atau anggotanya, serta
simpatisan atau pihak lain untuk dapat dipilih dan duduk dalam jabatan-jabatan
kenegaraan atau pemerintahan. Dengan memenangkan pemilu, partai politik dapat
menguasai dan mempengaruhi jalannya pemerintahan. Parai politik dalam
menjalankan garis politik atau keputusan-keputusan politiknya dapat berurusan
dengan pengadilan. Beberapa jenis perkara yang dapat melibatkan partai politik
di pengadilan diantaranya adalah :
a. Sengketa internal partai politik;
b. Sengketa antar partai politik atau antara partai politik dengan subjek hukum
lainnya;
c. Pertentangan antara partai politik dengan pemerintah;
d. Perselisihan mengenai hasil pemilihan umum (pemilu) antara partai politik
sebagai peserta pemilu dengan Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara
pemilu.[22]
Beberapa peraturan yang menyangkut fungsi
peradilan yang menangani perkara pemilu, adalah :
a. Untuk perkara pidana pemilu, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menyerahkan
wewenang peradilannya secara atributif kepada Peradilan Umum (Pengadilan
Negeri). Pasal 254 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menentukan 'Pengadilan
negeri dalam memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana Pemilu menggunakan
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, kecuali ditentukan lain dalam
Undang-undang ini'.
b. Untuk perkara pelanggaran administrasi, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008
menyerahkan wewenang peradilannya secara atributif kepada Komisi Pemilihan Umum
(KPU). Pasal 249 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menentukan 'Pelanggaran
administrasi pemilu diselesaikan oleh KPU, KPU Provinsi dan KPU Kabupaten/Kota
berdasarkan laporan dari Bawaslu, Panwaslu Provinsi dan Panwaslu Kabupaten/Kota
sesuai dengan tingkatannya'.
c. Untuk perkara penetapan hasil Pemilihan umum, Undang-Undang Nomor 10 Tahun
2008 menyerahkan wewenang peradilannya secara atributif kepada Mahkamah
Konstitusi. Pasal 259 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 menentukan : 'Dalam hal
terjadi perselisihan penetapan perolehan suara hasil pemilu secara nasional,
peserta pemilu dapat mengajukan permohonan pembatalan penetapan hasil
penghitungan perolehan suara oleh KPU kepada Mahkamah Konstitusi'.
B. Pemilihan Umum (Pemilu)
1. Konsep Dasar Pemilu
Hampir tidak ada sistem pemerintahan yang
bersedia menerima cap tidak demokratis, maka hampir tidak ada sistem
pemerintahan yang tidak menjalankan pemilu. Pemilu hakikatnya merupakan sistem
penjaringan pejabat publik yang banyak digunakan oleh negara-negara di dunia
dengan sistem pemerintahan demokrasi.[23]
Bagi sejumlah negara yang menerapkan atau
mengklaim diri sebagai negara demokrasi (berkedaulatan rakyat), pemilu memang
dianggap sebagai lambang sekaligus tolak ukur utama dari demokrasi. Artinya,
pelaksanaan dan hasil pemilu merupakan refleksi dari suasana keterbukaan dan
aplikasi dari nilai dasar demokrasi, di samping perlu adanya kebebasan
berpendapat dan berserikat yang dianggap cerminan pendapat warga negara.
Alasannya, pemilu memang akan melahirkan suatu representatif aspirasi rakyat
yang tentu saja berhubungan erat dengan legitimasi bagi pemerintah. Melalui
pemilu, demokrasi sebagai sistem yang menjamin kebebasan warga negara terwujud
melalui penyerapan suara sebagai bentuk
partisipasi publik secara luas. Dengan kata lain pemilu merupakan simbol
kedaulatan rakyat.
Kedaulatan rakyat berarti rakyatlah yang
mempunyai kekuasaan yang tertinggi, rakyatlah yang menentukan corak dan cara
pemerintahan, dan rakyatlah yang menentukan tujuan apa yang hendak dicapai.[24]
Dilihat dari segi hukum, kedaulatan hakikatnya
merupakan kekuasaan tertinggi yang harus dimiliki oleh negara. Kekuasaan
tersebut meliputi : Pertama, kekuasaan tertinggi untuk menentukan serta
melaksanakan hukum terhadap semua orang dan golongan yang terdapat dalam
lingkungan kekuasaannya atau kedaulatan ke dalam (internal sovereignty);
Kedua, kekuasaan tertinggi yang tidak diturunkan dari kekuasaan lain
yang tidak dimiliki oleh pihak lain (intervensi negara lain) atau kedaulatan
keluar (external sovereignty).
Salah satu ciri negara demokrasi adalah
melaksanakan pemilu dalam waktu-waktu tertentu. Pemilu pada hakikatnya
merupakan pengakuan dan perwujudan daripada hak-hak politik rakyat dan
sekaligus merupakan pendelegasian hak-hak tersebut oleh rakyat kepada wakil-wakilnya
untuk menjalankan pemerintahan. Kenyataannya, hanya pemerintahan yang
representatiflah yang dianggap meiliki legitimasi dari rakyat untuk memimpin
dan mengatur pemerintahan. Sehingga dengan melalui pemilu, klaim jajaran elite
pemerintahan bekerja untuk dan atas nama kepentingan rakyat menjadi dapat
diakui.[25]
2. Tujuan Pemilu
Sebagai sarana pelaksanaan atas kedaulatan
rakyat berdasarkan Pancasila dalam Negara Republik Indonesia, maka tujuan
pemilu adalah :
a. Memungkinkan terjadinya peralihan pemerintahan secara aman dan tertib
b. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat
c. Dalam rangka melakukan hak-hak asasi warga negara[26]
Sesuai dengan apa yang dicantumkan dalam pembukaan dan
pasal 1 UUD 1945, Indonesia menganut asas kedaulatan rakyat. Yang dimaksudkan
disini adalah kedaulatan yang dipunyai oleh rakyat itu antara lain tercermin
dilaksanakan pemilu dalam waktu tertentu. Pemilu dalam rangka memberi
kesempatan kepada warga negara untuk melaksanakan haknya, memiliki tujuan :
a. Untuk memilih wakil-wakilnya yang akan menjalankan kedaulatan yang dipunyai
b. Terbuka kemungkinan baginya untuk duduk dalam badan perwakilan rakyat
sebagai wakil yang dipercayakan oleh para pemilihnya
Pemilu sangat besar artinya bagi partai politik karena
memiliki manfaat, diantaranya :
a. Untuk mengetahui seberapa besar sesungguhnya para pendukungnya
b. Jika menang, sebagai media untuk menjalankan programnya
Dengan demikian, maka pada dasarnya pemilu sangat penting
artinya bagi warga negara, paratai politik, dan pemerintah. Bagi pemerintah yang
dihasilkan dari pemilu yang jujur, berarti pemerintah tersebut mendapatkan
dukungan yang sebenarnya dari rakyat. Tetapi sebaliknya, jika pemilu
dilaksanakan dengan tidak jujur, maka dukungan rakyat tersebut bersifat semu.
Dari sudut pemilu sendiri, ketiga tujuan pemilu baru bisa tercapai jika pemilu
dilaksanakan dengan jujur, sehingga setiap warga negara memberikan pilihan
berdasarkan hati nuraninya.[27]
3. Ciri dan Sistem Pemilu
Secara konseptual, terdapat dua mekanisme yang
dapat dilakukan untuk menciptakan pemilu yang bebas dan adil, yaitu :
a. Menciptakan seperangkat metode untuk mentransfer suara pemilih ke dalam
suatu lembaga perwakilan rakyat secara adil (electoral system)
b. Menjalankan pemilu sesuai dengan aturan main dan prinsip-prinsip demokrasi
Sementara itu, Ranney menyebutkan bahwa
ciri-ciri suatu pemilu yang benar-benar bebas meliputi : (1) diselenggarakan
secara reguler; (2) pilihan yang benar-benar berarti; (3) kebebasan menempatkan
calon; (4) kebebasan mengetahui dan mendiskusikan pilihan-pilihan; (5) hak
pilih orang dewasa yang universal; (6) perlakuan yang sama dalam pemberian
suara; (7) pendaftaran pemilih yang bebas; dan (8) penghitungan dan pelaporan
hasil yang tepat.[28]
Sistem pemilihan sendiri memiliki arti penting
terutama berkaitan dengan sistem pemerintahan berdasar demokrasi perwakilan.
Berbagai sistem pemilihan dengan variasi masing-masing menunjukkan indikasi
keunggulan dan kelemahan.
a. Sistem pemilihan mekanis
Sistem ini menempatkan rakyat sebagai suatu
masa individu-individu yang sama. Jadi sistem ini mengutamakan individu sebagai
pengenal hak pihak aktif dan memandang rakyat (korps pemilih) sebagai suatu
masa individu-individu yang masing-masing mengeluarkan satu suara (suara
sendiri) dalam setiap pemilihan.
Secara substansial sistem pemilihan mekanis
memiliki ciri-ciri antara lain :
a) Partai-partai yang mengorganisasi pemilihan-pemilihan dan memimpin pemilih
berdasarkan sistem Bi Party dan Multy Party (liberalisme,
sosialisme) atau Uni Party (komunisme)
b) Badan Perwakilan Rakyat bersifat badan perwakilan kepentingan umum rakyat
seluruhnya
c) Badan Perwakilan yang dihasilkan disebut parlemen
d) Wakil-wakil yang duduk di badan perwakilan rakyat langsung dipilih[29]
1) Sistem pemilihan mekanis distrik
Sistem pemilihan distrik disebut juga dengan
istilah sistem perwakilan distrik atau mayoritas (single member
constituencies). Dinamakan sistem distrik karena wilayah negara dibagi
dalam distrik-distrik pemilihan (daerah-daerah pemilihan) yang jumlahnya sama
dengan jumlah anggota Dewan perwakilan Rakyat yang dikehendaki. Misalnya,
jumlah anggota DPR ditentukan 300 orang, maka wilayah negara dibagi dalam 300
distrik pemilihan (daerah pemilihan, atau constituence). Jadi setiap
distrik pemilihan diwakili oleh satu orang wakil di DPR.
Disebut sistem mayoritas karena untuk
menentukan siapa-siapa yang dipilih sebagai wakil rakyat dari suatu distrik
ditentukan oleh siapa yang memperoleh suara terbanyak. Dengan kata lain, bahwa
seorang kandidat harus memenangkan
jumlah terbanyak dari suara sah agar dapat terpilih dalam suatu daerah
pemilihan distrik.
Ditinjau dari segi calon dan keberadaan
partai-partai kecil, maka sistem distrik ini memiliki kelebihan diantaranya :
a. Setiap calon dari suatu distrik pemilihan biasanya dari distrik tersebut
atau bisa dari distrik lain, tetapi orang tersebut dikenal secara baik oleh
distrik yang bersangkutan.
b. Suara yang diberikan kepada calon yang tidak terpilih tidak dapat
digabungkan, maka sistem ini mempunyai kecenderungan untuk terjadinya
penyederhanaan partai.
Sistem distrik pada dasarnya terdiri dari dua
bentuk. Pertama, formula pluralitas (pluralitas sederhana). Formula ini
dipakai dalam pemilihan wakil tunggal (presiden, gubernur, dan lainnya). Pada
formula ini, seorang kandidat atau parpol dinyatakan menang apabila meraih
suara terbanyak dari konstituen. Kedua, formula mayoritas. Dalam pola
ini kandidat atau parpol dinyatakan menang apabila berhasil mengumpulkan suara
pemilih mayoritas (50% + 1) dan mereka berhak mewakili distriknya.[30]
Lijpart mengemukakan dua formula antisipasi
suara 50% + 1 dalam formula mayoritas tidak terpenuhi.
a. Formula campuran pluralitas-mayoritas. Di mana jika mayoritas (50% + 1)
tidak terpenuhi karena banyaknya kandidat, maka diadakan pemberian suara ke dua
(formula pluralitas). Caranya penentuan pemenang berdasarkan suara terbanyak
yang berhasil dikumpulkan.
b. Formula mayoritas pada pemilihan kedua (majority run off), yaitu
pemilihan yang hanya diikuti oleh dua kandidat yang memperoleh suara terbesar
pada pemilihan putaran pertama, sehingga dihasilkan pemenang dengan suara
mayoritas.[31]
2) Sistem proposional
Sistem proporsional adalah sistem dimana
presentasi kursi di badan perwakilan rakyat yang dibagi pada tiap-tiap partai
politik, disesuaikan dengan presentasi jumlah suara yang diperoleh tiap-tiap
partai politik itu. Dengan lain kata sistem ini merupakan metode transfer suara
pemilih di kursi parlemen sesuai dengan proporsi perolehan suara pemilih.
Umpamanya jumlah pemilih yang sah pada suatu pemilu adalah 1.000 orang dan
jumlah kursi di badan perwakilan rakyat ditentukan 10 kursi, berarti untuk satu
orang wakil rakyat dibutuhkan 100 suara. Pembagian kursi di badan perwakilan
tersebut tergantung kepada berapa jumlah suara yang didapat setiap partai
politik yang ikut pemilu itu.[32]
Secara umum mekanisme sistem pemilihan
proporsional diterapkan dengan cara kerja sebagai berikut :
a) Menentukan alokasi jumlah kursi pada satu daerah pemilihan (provinsi)
b) Menentukan besarnya kuota untuk menentukan berapa suara yang dibutuhkan
parpol agar mendapatkan satu kursi di parlemen. Besarnya kuota ini tergantung
pada jumlah penduduk dan jumlah kursi yang diperebutkan
Secara umum penentuan quto dalam pengisian
kursi lembaga perwakilan rakyat dapat diformulasikan sebagai :
Q =
Dengan Q =
Quota
X
= Jumlah penduduk di suatu wilayah
V
= Jumlah kursi yang tersedia
Misalnya jumlah penduduk di daerah pemilihan
Jawa Timur berjumlah 36.206.060 dan jumlah kursi yang disediakan sejumlah 86
kursi, maka quota yang harus dihasilkan suatu parpol untuk memiliki satu kursi
adalah :
Q =
=
Q = 421.000,70
Artinya bahwa untuk mendapat satu kursi
sebagai wakil dari Jawa Timur, maka suatu parpol minimal harus mendapat suara
sekitar 421.000 suara.[33]
Sistem proporsional dapat digunakan dalam 300
variasi, tetapi ada dua metode yang utama yaitu : (a) Hare System (Single
Tranferable Vote); dan (b) List System.
a) Hare System (Single Tranferable Vote)
Dalam sistem hare system pemilih diberi
kesempatan untuk memilih pilihan pertama, kedua, dan seterusnya dari distrik
yang bersangkutan. Jumlah imbangan suara yang diperlukan untuk pemilih
ditentukan dan jika jumlah keutaman pertama dipenuhi dan apabila ada sisa
suara, maka kelebihan ini dapat dipindahkan kepada calon berikutnya. Contoh
jumlah suara yang dibutuhkan untuk dapat terpilih sebagai wakil rakyat adalah
1000 suara. Calon-calon dari parpol X mendapat suara sebagai berikut, A untuk
daerah 1 mendapat 1900, B untuk daerah 2 mendapat 900 suara, C untuk daerah 3
mendapat 700 suara dan D untuk daerah 4 mendapat 500 suara, apabila diimbangkan
suara 1000, maka dari parpol X hanyalah calon A dari daerah 1, sedangkan
calon-calon lain tidak mendapat imbangan suara. Tetapi dipraktekkan hare
system, maka kelebihan suara A sebanyak 100 dipindahkan ke calon B,
sehingga calon B juga terpilih karena mendapat suara 1000. Kelebihan 800 dari A
dapat dipindahkan ke C dan seterusnya. Sehingga akhirnya C dan D juga terpilih
sebab jumlah suara menjadi 1000 sesuai dengan jumlah imbangan suara yang
diperlukan. Dari sini dengan hare system yang semula calon A saja yang terpilih
akhirnya semua calon dapat terpilih. Konsekuensi sistem ini adalah bahwa
perhitungan suara agak berbelit-belit dan membutuhkan kecermatan.[34]
b) List System (List Proporsional Representative)
Menurut model list system (sistem
daftar) pemilih diminta memilih di antara daftar-daftar calon yang berisi
sebanyak mungkin nama-nama wakil rakyat yang akan dipilih dalam pemilu.
Ditinjau dari segi keberadaan suara dan
partai-partai kecil sistem proporsional memiliki kelebihan, antara lain :
1. Disenangi oleh partai kecil karena penggabung suara memungkinkan parpol
kecil mendapatkan kursi di lembaga perwakilan rakyat yang semula tidak mencapai
jumlah imbangan suara yang ditentukan
2. Tidak ada suara yang hilang, karena sering dikatakan bahwa sistem tersebut
sangat demokratis, yaitu ada jaminan bahwa setiap suara yang diberikan akan ada
wakilnya di lembaga perwakilan rakyat
3. Karena semua parpol mendapat kursi di lembaga perwakilan rakyat yang tidak
ditentukan secara daerah, maka sistem tersebut menakibatkan lembaga perwakilan
rakyat bersifat nasional.
Selain kelebihan yang dimiliki sistem
proporsional juga memiliki kekurangan-kekurangan, antara lain :
1. Penghitungan suara yang berbelit-belit sudah dipastikan perlu biaya banyak
2. Kurang disenangi oleh parpol yang besar
3. Para pemilih akan memilih parpol bukan calon perorangan seperti sistem
distrik. Akibatnya para pemilih tidak mengetahui siapakah sebenarnya wakilnya
di lembaga perwakilan rakyat, kekuasaan parpol sangat besar (karena parpol lah
yang memilih siapa-siapa calon parpol untuk pemilu)
4. Ada kecenderungan bertambahnya parpol dan perpecahan sebagai akibat ambisi
perorangan yang ingin duduk sebagai pemimpin parpol.
Dalam penerapannya, sistem daftar ini terdiri
dari dua bentuk. Pertama, sistem daftar tertutup. Pada sistem ini para
pemilih harus memilih partai politik peserta pemilu dan tidak bisa memilih
calon legislatif. Karena dalam sistem ini calon legislatif ditentukan dan
diurutkan sepihak oleh parpol yang mencalonkannya. Kedua, sistem
terbuka. Dalam sistem ini pemilih tidak hanya memilih partai, tetapi juga
memilih calon legislatif, karena parpol tidak menentukan dan mengurutkan calon
secara sepihak.[35]
b. Sistem organis
Pandangan organis menempatkan rakyat sebagai
sejumlah individu-individu yang hidup bersama dalam berbagai macam persekutuan
hidup berdasarkan : geneologis (rumah tangga, keluarga), fungsi tertentu
(ekonomi, industri), lapisan-lapisan sosial (buruh, tani, cendekiawan), dan
lembaga-lembaga sosial (universitas). Masyarakat dipandang sebagai satu
organisme yang terdiri atas organ-organ yang mempunyai kedudukan dan fungsi
tertentu dalam totalite organisme itu, seperti persekutuan-persekutuan
hidup tersebut di atas. Berdasarkan pandangan ini, persekutuan-persekutuan
hidup itulah yang diutamakannya sebagai pengendali hak pilih, atau dengan kata
lain pengendali hak untuk mengurus wakil-wakil kepada perwakilan masyarakat.
Pemilihan organis secara substansial memiliki
ciri-ciri :
1) Organis, partai-partai politik itu tidak perlu dikembangkan, karena
pemilihan diselenggarakan dan dipimpin oleh tiap-tiap persekutuan hidup dalam
lingkungan sendiri
2) Badan perwakilan bersifat badan perwakilan kepentingan-kepentingan khusus
persekutuan hidup itu
3) Pemilihan organis menghasilkan dewan korporatif
4) Wakil-wakil dalam badan perwakilan berdasarkan pengangkatan.[36]
4. Pemilu 2004 dalam Kerangka Budaya Politik Bangsa
a. Sistem, Tujuan, dan Asas Pemilu 2004
Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945 alinea keempat, antara lain menyatakan bahwa : “Kemerdekaan
kebangsaan Indonesia disusun dalam Undang-Undang Dasar yang terbentuk dalam
suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat.”
Perubahan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 (selanjutnya disebut UUD 1945) Pasal 1 Ayat (2), menyatakan
bahwa “Kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
Undang-Undang Dasar.” Perubahan tersebut bermakna bahwa kedaulatan rakyat
tidak lagi dilaksanakan sepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat, tetapi
dilaksanakan menurut ketentuan Undang-Undang Dasar.[37]
Ketentuan mengenai pemilihan umum diatur dalam
Bab VIIB dengan judul pemilihan umum UUD 1945, hasil amandemen. Bab ini memuat
hanya satu pasal saja, yaitu pasal 22E yang merupakan hasil perubahan ketiga
UUD 1945. Pasal 22E Ayat (1) menyatakan : “Pemilihan umum dilaksanakan
secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap lima tahun
sekali.” Hal ini merupakan asas pemilu yang dijelaskan lebih lanjut di
dalam Pasal 22E Ayat (2) untuk apa pemilu dilaksanakan, yaitu untuk memilih
anggota DPR, DPD, Presiden dan Wakil Presiden, dan DPRD. Kemudian pasal 22E
ayat (4) menjelaskan bahwa pemilu diselenggarakan oleh lembaga independen yang
bernama Komisi Pemilihan Umum (KPU). Jadi ini merupakan acuan utama di dalam
pelaksanaan pemilu.[38]
Selain pasal 22E masih terdapat pasal lainnya
yang menyebutkan kata-kata pemilihan umum, yaitu Pasal 6A Ayat (1) yang
menyatakan bahwa Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan
langsung oleh rakyat. Bagaimana maksud Pasal 6A Ayat (1) dipilih langsung oleh
rakyat itu diatur lebih lanjut di dalam Pasal 6A Ayat (2), (3), (4), dan (5)
yang berbicara tentang masalah Pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Pasal 18
Ayat (3) UUD 1945 menjelaskan pemilihan umum untuk anggota DPRD. Pasal 19 Ayat
(1) UUD 1945 mengatur tentang masalah pemilu untuk memilih anggota DPR.
Selanjutnya Pasal 22C Ayat (1) menjelaskan masalah pemilihan umum untuk memilih
anggota DPD. Khusus Pasal 24C mengatur tentang lembaga yang berwenang dalam
menyelesaikan sengketa hasil pemilu.
Operasionalisasi dari Pasal 22E UUD 1945
tersebut dituangkan dalam UU No. 12 Tahun 2004 tentang Pemilu Legislatif yang
mengakomodasi pelaksanaan pemilu untuk memilih anggota DPR, DPD, dan DPRD; UU
23 Tahun 2004 tentang Pemilu Presiden dan Wakil Presiden yang mengakomodasi
pelaksanaan pemilu untuk memilih presiden dan wakil presiden.[39]
Pemilu 2004 merupakan pemilu yang amat berbeda
dengan pemilu-pemilu sebelumnya, baik pada Orde Lama, Orde Baru maupun awal
orde reformasi tahun 1999 lalu. Perbedaan-perbedaan tersebut antara lain : Pertama,
pemilu diselenggarakan oleh KPU yang mandiri, non-partisan, tidak memihak,
transparan dan profersional karena rekrutmen keanggotaannya melibatkan seluruh
masyarakat melalui mekanisme fit and propertest. Kedua, pemilu diselenggarakan
untuk memilih wakil rakyat (DPR, DPRD Prov., DPRD Kota/Kab.) dan wakil daerah
(DPD), serta untuk membentuk pemerintahan yang demokratis, kuat dan memperoleh
dukungan rakyat sehingga memiliki derajat legitimasi yang tinggi. Ketiga, pemilu
untuk memilih presiden dan wakil presiden secara langsung.[40]
Selain itu, secara substansial dalam pemilihan
wakil rakyat yang duduk dalam lembaga perwakilan rakyat sistem Pemilu 2004
dilaksanakan dalam dua sistem yaitu :
1) Sistem Proporsional dengan Daftar Caleg terbuka
Sistem proporsional merupakan sistem pemilu,
dimana jumlah kursi yang diperoleh suatu perpol peserta pemilu berbanding lurus
dengan perolehan suara parpol tersebut. Adapun daftar Caleg Terbuka artinya
melalui pemilu, pemilih dapat menentukan secara langsung calon yang diinginkan.
Sistem ini digunakan untuk memilih anggota DPR/DPRD. Adapun caranya, yaitu
dengan memilih tanda gambar partai politik dan nama calon anggota DPR/DPRD;
kertas suara yang akan dicoblos meliputi tanda gambar parpol dan nama caleg;
serta tiap daerah berbeda karena calegnya berbeda.[41]
2) Sistem Distrik Berwakil Banyak
Sistem Distrik Berwakil Banyak menunjukkan
bahwa suatu wilayah distrik (provinsi) memiliki lebih dari satu wakil, yakni
jumlah anggota DPD untuk setiap provinsi ditetapkan 4 orang. Sistem ini
digunakan untuk memilih DPD, caranya yaitu memilih calon anggota Dewan
Perwakilan Daerah (DPD); kertas suara berupa foto gambar calon. Dengan
ketentuan, bahwa calon yang memiliki suara terbanyak (berdasarkan peringkat)
yang bakal jadi. Adapun kelebihan suara tidak diperhitungkan lagi.[42]
b. Mekanisme Pemilu
Berdasarkan UU No. 12 tahun 2003 Pemilu 2004
dilaksanakan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). Sebagai lembaga penyelenggara
pemilu KPU terdiri atas KPU Pusat dengan anggota 11 orang, KPU Provinsi dan KPU
Kota/kabupaten masing-masing beranggotakan 5 orang, yang bersifat nasional,
tetap dan mandiri. Sedangkan di tingkat kecamatan Panitia Pemilihan Kecamatan
(PPK) beranggotakan 5 orang, dan pada tingkat Desa/Kelurahan Panitia Pemungutan
Suara (KPPS) beranggotakan 3 orang, yang melibatkan pihak birokrat (bisa
dipastikan tetap bersikap independen dengan tetap menjaga jarak yang sama
dengan seluruh partai politik manapun).[43]
Masyarakat dalam Pemilu 2004 akan menerima 4
form kertas suara yang harus dicoblos. Tiga form untuk memilih parpol dan
legislatif karena terdiri dari caleg DPRD dan satu form lagi untuk memilih DPR;
Tabel Komparasi Pemilu 2004 dan sebelumnya
Pemilu 2004
|
Pemilu Sebelum 2004
|
1. Untuk memilih presiden/wapres, anggota DPD dan DPR/DPRD
|
Untuk memilih
anggota DPRD I, DPRD II, dan DPR
|
2. Quota wanita dalam badan legislatif 30%
|
Quota wanita tidak ditentukan
|
3. Hak pilih dilakukan secara individu (untuk memilih anggota DPD) dan
partai (untuk memilih anggota DPR/DPRD)
|
Hak pilih dilakukan secara partai (untuk memilih
anggota DPR/DPRD)
|
4. Gambar meliputi, gambar partai (untuk memilih anggota DPR/DPRD) dan orang
(untuk presiden/wapres dan anggota DPD)
|
Gambar meliputi gambar partai saja (untuk memilih
anggota DPR/DPRD saja)
|
5. Semua anggota MPR (DPR dan DPD) dipilih melalui pemilihan
|
Anggota MPR ada yang dipilih (anggota DPR) dan ada yang
diangkat (FABRI, F. Utusan daerah/Golongan)
|
Adapun tahap-tahap penyelenggaraan pemilu 2004
adalah sebagai berikut :
1) Tahap Sosialisasi
Sosialisasi ini dilakukan mengingat Pemilu
2004 secara substansi berbeda dengan pemilu sebelumnya terutama masalah
mekanismenya yang hanya terdeteksi secara sepotong-potong dan tidak utuh.
Sosialisasi dilakukan selama tiga tahap, yaitu
:
a. Tahap pertama, September-Desember 2003 difokuskan untuk membangun pemahaman
calon pemilih terhadap terjadinya berbagai perubahan fundamental.
b. Tahap kedua, Januari-April 2004 difokuskan pada informasi dana tata cara
teknis pencoblosan agar surat kuasa yang digunakan sah.
c. Tahap ketiga, Mei-Oktober 2004 difokuskan pada sosialisasi pemilihan
presiden.[44]
2) Tahap Verifikasi
Verifikasi terhadap partai peserta pemilu
dilakukan oleh Depkeh dan HAM melalui KPU dan brakhir 27 Oktober 2003. Dari
hasil verifikasi sampai akhir Oktober 2003 diketahui partai peserta pemilu 2004
berjumlah 24 parpol.[45]
3) Tahap Pelaksanaan
Pelaksanaan Pemilu 2004 meliputi dua tahapan :
a. Tahap pertama Pemilu Legislatif, dilakukan pada 5 April 2004 yang bertujuan
untuh memilih anggota DPR/DPRD dan anggota DPD yang akan duduk di MPR, dengan
alokasi kursi di MPR sejumlah 550, setelah tiadanya anggota MPR yang diangkat
(FTNI/POLRI dan F. Utusan Daerah/Golongan).[46]
b. Tahap kedua Pemilu Presiden meliputi dua putaran :
-
Putaran pertama pemilihan pasangan calon
presiden dan wapres pada 3 Juli 2004 yang bertujuan untuk memilih pasangan
calon presiden dan wapres.
-
Putaran kedua pemilihan pasangan calon
presiden dan wapres pada 20 September 2004. Putaran kedua ini dilakukan jika
tidak ada pasangan calon presiden/wapres terpilih pada pemungutan putaran
pertama. Karena jika pasangan calon pada pemungutan putaran pertama (5 Juli
2004) telah mendapatkan suara lebih dari 50% dari jumlah suara sedikitnya 20%
suara di provinsi, yang tersebar pada lebih dari setengah jumlah provinsi di
Indonesia, dapat ditetapkan sebagai presiden/wapres. Tetapi jika tidak ada
pasangan terpilih, maka dua pasangan calon yang memperoleh suara terbanyak
pertama dan kedua dipilih kembali olh rakyat secara langsung dalam pemilu
presiden dan wapres putaran ke-2.[47]
c. Hasil Pemilu 2004
1) Pemilu Legislatif
Pemilu 2004 diikuti oleh 24 kontestan peserta
pemilu yang kebanyakan merupakan partai baru hasil fusi dari beberapa partai
peserta pemilu 1999. Jumlah ini 50% lebih sedikit jika dibandingkan dengan
kontestan peserta pemilu 1999 yang berjumlah 48 kontestan. Dua partai baru yang
berhasil masuk dalam 10 besar antara lain Partai Demokrat (PD) dan Partai Karya
Peduli Bangsa (PKPB atau partai Golkar Baru).
Pemilu legislatif yang diselenggarakan 5 April
2004 dengan dasar UU No. 12 Tahun 2003 dan menempatkan Partai Golkar keluar
sebagai pemenang, disusul PDI-Perjuangan, PKB, PPP, PD, PKS, PAN, dan PKPB.
Berdasarkan hasil penelitian pemilu 2004 merupakan pemilu yang paling
demokratis sejak pemilu pertama 1955. Ada beberapa indikator yang dijadikan
parameter : Pertama, pemilu 2004 dilaksanaan oleh KPU yang
anggota-anggotanya terdiri dari unsur-unsur non-partisan partai. Kedua, adanya
panitia pengawas dan panitia independen, sehingga berbagai bentuk kecurangan
dapat diminimalisir. Ketiga, setiap adanya pelanggaran dapat segera
diselesaikan pada lembaga yang dapat dipertanggungjawabkan.[48]
Tabel Hasil Pemilu 2004 untuk Anggota DPR
No
|
Nama Partai
|
Kursi DPR Penetapan KPU
|
Kursi DPR Setelah Putusan MK
|
Keterangan
|
1
|
Partai Golkar
|
128
|
127
|
Berkurang 1 untuk Partai Pelopor
|
2
|
PDIP
|
109
|
109
|
Tetap
|
3
|
PKB
|
52
|
52
|
Tetap
|
4
|
PPP
|
58
|
58
|
Tetap
|
5
|
Partai Demokrat
|
57
|
55
|
Berkurang 2 untuk PAN dan Partai Pelopor
|
6
|
PKS
|
45
|
45
|
Tetap
|
7
|
PAN
|
52
|
53
|
Bertambah 1 dari Partai Demokrat
|
8
|
PBB
|
11
|
11
|
Tetap
|
9
|
PBR
|
13
|
14
|
Bertambah 1 dari PNBK
|
10
|
PDS
|
12
|
13
|
Bertambah 1 dari PDK
|
11
|
PKPB
|
2
|
2
|
Tetap
|
12
|
PKPI
|
1
|
1
|
Tetap
|
13
|
PDK
|
5
|
4
|
Berkurang 1 untuk PDS
|
14
|
PNBK
|
1
|
0
|
Berkurang 1 untuk PBR
|
15
|
Partai Patriot P
|
0
|
0
|
Tetap
|
16
|
PNI Marhaenis
|
1
|
1
|
Tetap
|
17
|
PPNUI
|
0
|
0
|
Tetap
|
18
|
Partai Pelopor
|
2
|
4
|
Bertambah 2 dari Partai Demokrat dan Partai
Golkar
|
19
|
Partai PDI
|
1
|
1
|
Tetap
|
20
|
Partai Merdeka
|
0
|
0
|
Tetap
|
21
|
PSI
|
0
|
0
|
Tetap
|
22
|
Partai PIB
|
0
|
0
|
Tetap
|
23
|
PPD
|
0
|
0
|
Tetap
|
24
|
PBSD
|
0
|
0
|
Tetap
|
Total
|
550
|
550
|
|
Sumber : Mahkamah Konstitusi RI 2004
Catatan :
PPNUI tidak mengajukan permohonan perselisihan hasil
pemilu ke MK.
2) Pemilu Presiden dan Wakil Presiden
Ciri khusus daripada pemilu 2004 adalah sistem
pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung. Pemilu presiden putaran
pertama menempatkan pasangan Mega-Hasyim yang didukung oleh PDI-Perjuangan,
Wiranto-Sholahudin Wahid yang didukung Partai Golkar, Amin-Siswono yang
didukung PAN, SBY-Kalla yang didukung tiga partai yaitu PD, PKP, dan PBB serta
pasangan Hamzah-Agum yang didukung oleh PPP.
Suatu euphoria baru dalam dunia
perpolitikan dan ketatanegaraan, maka untuk menyampaikan visi dan misi bagi
masing-masing pasangan diadakan debat calon. Dalam debat tersebut masing-masing
pasangan memberikan proyeksi tentang langkah-langkah apa yang akan diambil jika
pasangan tersebut terpilih nantinya.
Pemilu presiden putaran pertama ini
menempatkan pasangan SBY-Kalla sebagai urutan pertama disusul pasangan
Mega-Hasyim pada urutan kedua. Karena pemenang pemilu presiden putaran pertama
(pasangan SBY-Kalla) tidak mendapatkan suara lebih 50%, maka pasangan yang
menempati urutan pertama dan kedua masuk pada putaran berikutnya.
Dalam tenggang waktu menjelang pemilu presiden
putaran kedua diadakan kampanye terbatas oleh masing-masing calon dan
pendukungnya. Secara institusi pasangan Mega-Hasyim didukung oleh tiga partai
besar yaitu Partai Golkar, PDI-Perjuangan, dan PPP, di samping juga PBR dan
partai lain yang masuk dalam kelompok Koalisi Kebangsaan dengan Partai Golkar
sebagai pemimpinnya. Sementara pasangan SBY-Kalla memperoleh dukungan dari PD,
PKP, PBB, dan PKS yang terhimpun dalam Koalisi Kerakyatan. Dua partai besar PKB
dan Pan menyatakan netralitas dengan memberikan kebebasan kepada pemilihnya
untuk memberikan suaranya.
Pemilu presiden putaran kedua akhirnya menempatkan
pasangan SBY-Kalla sebagai pemenang dengan perolehan suara 60:40 terhadap
pasangan Mega-hasyim. Selanjutnya, SBY-Kalla sebagai presiden dan wapres dengan
kabinet persatuan menetapkan 100 hari kerja untuk merealisasi janji dan program
jangka pendeknya. Langkah awal dari 100 hari kerja terutama ditekankan pada
semua sektor baik hukum, pendidikan, kesehatan maupun sektor-sektor lain
khususnya pemberantasan korupsi.[49]
5.
Pemilu 2009 dengan Mekanisme dan Sistem Parliamentary
Threshold
Pemilu 2009 dirancang lebih menjamin demokrasi
konstitusional. Untuk mewujudkan hal tersebut, maka pemilu 2009 memiliki
karakteristik yang berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pertama, diterapkannya
sistem penyederhanaan partai (parlimentary threshold). Kedua, akomodasi
terhadap calon presiden non-partai (calon independen).
Langkah pertama dilakukan sebagai upaya untuk
menciptakan stabilitas kepartaian demi mewujudkan amanah UUD 1945 dalam
memaksimalkan sistem presidensial dengan tanpa menodai hak-hak demokrasi dalam
UUD 1945. Adapun langkah kedua ditempuh untuk mengakomodasi calon atau figur
yang benar-benar merupakan pilihan masyarakat. Sehingga mereka bukanlah
partisan yang pada nantinya hanya berpihak pada partai-partai yang mengusungkan
dan bersifat sektarian sebagaimana selama ini kita saksikan. Dengan langkah ini
diharapkan akan lahir figur yang benar-benar hanya berpihak pada kepentingan
negara dan bangsa, karena tidak merasa atau perlu membalas budi terhadap
kelompok tertentu.[50]
a. Latar Belakang Lahirnya Parliamentary Threshold
Sistem multi-partai yang dewasa ini dianut
dalam pemilu di Indonesia menghasilkan pembiakan jumlah partai politik yang
berujung pada ketidakefektifan. Jika pada pemilu 2004 terdapat 24 parpol, pada
pemilu 2009 terdapat 34 parpol yang menjadi kontestan.
Menurut Ali Masykur Musa, pembiakan jumlah
parpol tersebut menandai dua fenomena. Pertama, menunjukkan suburnya
iklim demokrasi sebagai konsekuensi kebebasan berpolitik. Dimana berorganisasi
dan berpolitik merupakan hak setiap warga negara, termasuk mendirikan parpol. Kedua,
menunjukkan belum stabilnya penataan sistem kepartaian.
Dalam sistem pemilu yang terfragmentasi akan
sulit melahirkan satu partai kuat untuk mendukung pemerintahan, sehingga
mengharuskan parpol-parpol melakukan koalisi dengan parpol lain. Sementara
bangunan koalisi sendiri masih terkesan rapuh, karena bagaimanapu juga kondisi
koalisi antar-parpol tidak dibangun atas kesadaran ideologi dan kerakyatan,
melainkan dibangun atas dasar kepentingan sesaat (pragmatis).
Rapuhnya pemerintah sebagai dampak lemahnya
sistem kepartaian diindikasikan dengan seringnya kebijakan pemerintah
diinterpelasi oleh DPR, hak angket dan ancaman penarikan dukungan. Hal ini
selalu menjadi senjata bagi parpol-parpol untuk berkompromi dengan pemerintah
(presiden).
Mencermati fenomena demikian, maka presiden
beserta DPR mengundangkan undang-undang politik sebagai upaya menciptakan
stabilitas politik, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD, dan DPRD (UU Pemilu Legislatif). Salah satu sistem
yang diadopsi dalam UU tersebut adalah penetapan mekanisme parliamentary
threshold.
Pasal 202 Ayat (1) UU Pemilu Legislatif
menyebutkan :
Partai Politik peserta pemilu harus memenuhi ambang batas
perolehan sekurang-kurangnya 2,5% dari jumlah suara sah secara nasional untuk
diikutkan dalam penentuan perolehan kursi DPR.
Maksud dari ketentuan tersebut adalah, apabila
suatu parpol peserta pemilu yang mendapatkan kursi yang minim di DPR tetapi
tidak melampaui ambang batas 2,5%, maka sebagai konsekuensinya parpol peserta
pemilu tersebut tidak dapat mendudukan kadernya di DPR.[51]
b. Tujuan
Untuk membangun stabilitas politik melalui
pemilu dalam sistem presidensial dengan sistem multi-partai, bisa dilakukan
dengan dua pola penyederhanaan. Pertama, dilakukan secara paksaan, seperti
terjadi pada masa Orde Baru. Dimana parpol tidak boleh lebih dari dua partai
(PPP & PDI) dan satu golongan karya (GOLKAR) yang sebenarnya juga berperan
sebagai parpol. Kedua, secara alamiah cara ini dapat dilakukan dengan :
1) Memilih salah satu sistem pemilu (sistem distrik atau sistem proporsional)
2) Memberlakukan sistem ambang batas (parliamentary threshold)
3) Mengecilkan besaran daerah pemilihan seperti pada pemilu 2004 dimana
rentang daerah pemilihan adalah berkisar antara 3-12 kursi.
Alasan tersebut menjadi pemicu perlunya sistem
ambang batas yang akan me-manage sistem multi-partai yang ada. Dalam
implementasinya parliamentary threshold memilih beberapa tujuan, antara
lain :
1) Membentuk sistem kepartaian multi-partai sederhana, yaitu dengan
meminimalisasi jumlah parpol di parlemen
2) Memperkuat parpol dan parlemen
3) Meningkatkan dan memperbaiki mekanisme serta prosedur rekrutmen pejabat
publik
4) Memperkuat sistem presidensial setelah terealisasinya sistem multi-partai
sederhana
5) Meningkatkan kualitas pelayanan publik manakala sistem pemerintahan
berjalan dengan efektif.[52]
c. Mekanisme Transfer Suara Pemilih
Seperti halnya pada pemilu 2004, pemilu 2009
menggunakan sistem mekanik dengan dua model dalam mentransfer suara pemilih. Pertama,
sistem distrik terutama digunakan dalam menjaring calon anggota DPD. Kedua,
sistem proporsional yang digunakan untuk menjaring calon anggota DPR.
Dalam sistem kedua digunakan sistem daftar (list
system), dimana pentransferan suara pemilih pada kursi parlemen dilakukan
berdasarkan rerata tertinggi atau biasa disebut dengan pembagi (divisor)
dan sisa suara terbesar (larger remainder) atau biasa disebut kuota.
Metode penghitungan divisor (pembagi) atau
rerata tinggi ditetapkan dengan memberikan kursi-kursi yang tersedia pertama
kepada parpol yang mempunyai jumlah suara rerata tertinggi, kemudian rerata
tersebut akan terus menurun berdasarkan perhitungan pembagi. Prosedur ini terus
berlaku sampai kursi terbagi habis.[53]
Tabel Alokasi Kursi Berdasarkan Rumus Divisor
D’hondt
Dalam Distrik 9 Wakil dengan 4 Parpol
Parpol
|
Perolehan Suara
|
Alokasi D’hont
|
Total Kursi
|
||
X/1
|
X/2
|
X/3
|
|||
A
|
33.939
|
33.939 (2)
|
16.969 (7)
|
11.313 (9)
|
3
|
B
|
56.157
|
56.157 (1)
|
28.078 (3)
|
18.719 (6)
|
3
|
C
|
24.150
|
24.150 (4)
|
12.075 (8)
|
8.550
|
2
|
D
|
20.663
|
20.663 (5)
|
10.331
|
6.887
|
1
|
Total
|
134.909
|
|
9
|
Catatan :
Penghitungan alokasi kursi berdasarkan formula rerata
tinggi D’Hondt biasa digunakan untuk mengeliminasi parpol-parpol kecil.
Tabel Alokasi Kursi Berdasarkan Rumus Divisor
Sainte-Lague dalam Distrik 9 Wakil dengan 4
Parpol
Parpol
|
Perolehan Suara
|
Alokasi Sainte-Lague
|
Total Kursi
|
||
X/1.4
|
X/3
|
X/5
|
|||
A
|
33.939
|
24.242 (2)
|
11.313 (6)
|
6.787
|
2
|
B
|
56.157
|
40.112 (1)
|
18.719 (3)
|
11.231 (7)
|
3
|
C
|
24.150
|
17.256 (4)
|
8.050 (8)
|
4.830
|
2
|
D
|
20.663
|
14.759 (5)
|
6.887 (9)
|
4.132
|
2
|
Total
|
134.909
|
|
9
|
Catatan :
Penghitungan alokasi kursi berdasarkan formula
Sainte-Lague biasa digunakan untuk memberi tempat pada parpol-parpol kecil.
Apabila konsep Parliamentary Threshold (PT)
diterapkan pada pemilu (misalnya pemilu 2004), maka akan diperoleh parpol mana
yang lolos PT dan parpol mana yang tidak lolos PT (Non-PT).
Adapun berdasarkan aturan Parliamentary
Threshold, maka perhitungan lolos tidaknya parpol melewati ambang batas
2,5% ialah jumlah suara sah secara nasional yang diperoleh satu parpol dikali
100 kemudian dibagi jumlah total parpol.
PT = A/B x 100%
Dengan PT = partai yang lolos Parliamentary
Threshold; A = jumlah suara sah secara nasional yang diperoleh suatu
parpol; dan B = jumlah total suara yang diperoleh parpol.
Misalnya Partai Persatuan Pembangunan (PPP),
memperoleh suara sah secara nasional sejumlah 9.248.764 suara, sedangkan suara
total sah secara nasional sejumlah 113.462.414 suara. Berdasarkan data tersebut
apakah PPP lolos PT?
Dengan rumus di atas diperoleh :
PT = A/B x 100% = 9.248.764/113.462.414 x 100%
PT = 8,15%
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka
presentase perolehan suara PPP sebesar 8,15% dan hal itu melebihi ambang batas
2,5%. Artinya, bahwa PPP lolos PT dan dapat ikut perhitungan penentuan
perolehan kursi parlemen.
Berdasarkan ketentuan Pasal 203 Ayat (2) dan
(3) UU Pemilu Legislatif dinyatakan :
Ayat (2) Suara
untuk perhitungan kursi DPR di suatu daerah pemilihan ialah jumlah suara sah
seluruh partai politik peserta pemilu dikurangi jumlah suara sah partai politik
yang tidak memenuhi ambang batas perolehan suara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 202 Ayat (1)
Ayat (3) Dan
hasil penghitungan suara sah yang diperoleh partai politik peserta pemilu
sebagaimana pada ayat (2) di suatu daerah pemilihan ditetapkan angka BPP DPR
dengan cara membagi jumlah suara sah partai politik peserta pemilu sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) dengan jumlah kursi di satu daerah pemilihan.
Berdasarkan ketentuan Pasal 203 Ayat (2) dan
(3) seandainya ditetapkan terhadap 24 parpol pada pemilu 2004 akan diperoleh
gambaran tentang parpol yang lolos PT (PT) dan yang tidak lolos PT (Non-PT).[54]
Hasil Perolehan Suara untuk Daerah Pemilihan
Jawa Barat I
Pada Pemilu 2004
No
|
Nama Partai
|
Jumlah Suara Sah Parpol
|
Kategori Parpol
|
1
|
Partai Golkar
|
263.625
|
PT
|
2
|
PDIP
|
224.551
|
PT
|
3
|
PKB
|
39.072
|
PT
|
4
|
PPP
|
82.840
|
PT
|
5
|
Partai Demokrat
|
244.506
|
PT
|
6
|
PKS
|
317.185
|
PT
|
7
|
PAN
|
146.396
|
PT
|
8
|
PBB
|
50.835
|
PT
|
9
|
PBR
|
22.349
|
NON-PT
|
10
|
PDS
|
53.249
|
NON-PT
|
11
|
PKPB
|
19.245
|
NON-PT
|
12
|
PKPI
|
7.277
|
NON-PT
|
13
|
PDK
|
9.686
|
NON-PT
|
14
|
PNBK
|
14.506
|
NON-PT
|
15
|
Partai Patriot Pancasila
|
4.514
|
NON-PT
|
16
|
PNI Marhaenis
|
3.796
|
NON-PT
|
17
|
PPNUI
|
15.502
|
NON-PT
|
18
|
Partai Pelopor
|
4.783
|
NON-PT
|
19
|
Partai PDI
|
4.806
|
NON-PT
|
20
|
Partai Merdeka
|
4.750
|
NON-PT
|
21
|
PSI
|
4.534
|
NON-PT
|
22
|
Partai PIB
|
2.225
|
NON-PT
|
23
|
PPD
|
6.140
|
NON-PT
|
24
|
PBSD
|
5.141
|
NON-PT
|
Total
|
1.551.512
|
|
Dari tabel di atas terlihat bahwa untuk daerah
pemilihan jawa Barat I pada Pemilu 2004 hanya ada delapan parpol yang lolos PT.
1) Penentuan Suara Sah
Suara sah adalah suara sah parpol yang lolos
PT dikurangi parpol yang tidak lolos parpol.
Misalnya dari tabel di atas diperoleh jumlah
suara sah parpol PT sebesar 1.369.009 dan jumlah suara Non-PT sebesar 182.503,
maka untuk menghitung suara sah adalah :
X = PT – NPT
X = 1.369.009 - 182.503
X = 1.186.500[55]
2) Penentuan Bilangan Pembagi Pemilih (Bpp)
Setelah jumlah suara sah di suatu daerah
pemilihan diketahui kemudian ditentukan BPP DPR dengan cara membagi jumlah
suara sah parpol peserta pemilu dengan jumlah kursi di suatu daerah pemilihan.
Misalnya, untuk daerah pemilihan Jabar dengan
kota Bandung dan Cimahi ada 7 kursi, maka :
BPP = 1.186.500 / 7
BPP = 169.500
Artinya dengan BPP sebesar 169.500, maka
wilayah tersebut agar dapat satu kursi di parlemen diperlukan suara sah yang
diperoleh suatu parpol sebesar 169.500 bagi parpol PT.[56]
3) Peroleh Kursi di Parlemen
Penentuan perolehan kursi di parlemen bagi
suatu parpol ditetapkan melalui dua tahap (Tahap I dan II) sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 205 Ayat (3) dan (4) :
Ayat (3) Setelah
ditetapkan BPP DPR dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap pertama dengan
membagi jumlah suara sah yang diperoleh suatu partai politik peserta pemilu di
suatu daerah pemilihan dengan BPP DPR.
Ayat (4) Dalam
hal masih terdapat sisa kursi dilakukan penghitungan perolehan kursi tahap
kedua dengan cara membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi kepada partai
politik peserta pemilu yang memperoleh suara sekurang-kurangnya 50% dan BPP
DPR.
Berdasarkan ketentuan tersebut, kita dapat
menentukan kursi yang diperoleh suatu parpol pada tahap I, dengan rumus :
N1 = A / BPP
Dengan N1 = jumlah kursi yang
diperoleh suatu parpol pada tahap I; A = jumlah suara sah parpol; dan BPP =
bilangan pembagi pemilih.
Misalnya berapa kursi yang diperoleh partai
Golkar pada Tahap I?
N1 = A / BPP = 263.625 / 169.500
N1 = 1,5
Berdasarkan perhitungan tersebut, maka kursi
yang diperoleh Partai Golkar Tahap I adalah 1 kursi.
Sedangkan untuk kursi Tahap II ditentukan
dengan formula membagikan jumlah sisa kursi yang belum terbagi pada parpol
peserta pemilu yang memperoleh 50% dari BPP.
N2 = BPP / 100 x 50
Berdasarkan rumusan tersebut, sisa suara
minimal yang harus diperoleh parpol untuk mendapat kursi Tahap II adalah :
N2 = BPP / 100 x 50 = 169.500 / 100
x 50%
N2 = 84.750
Artinya, untuk mendapat satu kursi dalam
parlemen, maka suara parpol minimal adalah > 84.750.[57]
Hasil Perolehan Kursi untuk Daerah Pemilihan
Jawa Barat I
Pada Pemilu 2004
No
|
Nama Partai
|
Jumlah Suara Sah Parpol
|
Kursi Tahap I
|
Sisa Suara
|
Kursi Tahap II
|
Sisa Suara
|
1
|
Partai Golkar
|
263.625
|
1
|
94.125
|
1
|
9.375
|
2
|
PDIP
|
224.551
|
1
|
55.051
|
0
|
55.051
|
3
|
PKB
|
39.072
|
0
|
39.072
|
0
|
39.072
|
4
|
PPP
|
82.840
|
0
|
82.840
|
0
|
82.840
|
5
|
Partai Demokrat
|
244.506
|
1
|
75.006
|
0
|
75.006
|
6
|
PKS
|
317.185
|
1
|
147.685
|
1
|
92.935
|
7
|
PAN
|
146.395
|
0
|
146.395
|
1
|
61.645
|
8
|
PBB
|
50.835
|
0
|
50.835
|
0
|
50.835
|
Jumlah
|
1.369.009
|
4
|
691.009
|
3
|
|
|
Sisa suara dikumpulkan di provinsi untuk
menentukan BPP baru Tahap III, jika jumlah kursi belum terpenuhi
|
Sisa suara
|
DAFTAR PUSTAKA
Asshiddiqie, Jimly, Desember 2006, “Partai
Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrument Demokrasi”, Jurnal Konstitusi,
Volume 3 Nomor 4.
_______________, Kemerdekaan Berserikat
Pembubaran Partai Politik dan Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, Jakarta, 2006.
_______________, Jimly, Pengantar Ilmu
Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta : Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi RI, 2006.
_______________, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2008.
Budiharjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta
: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
Karim, M. Rush, Pemilu Demokrasi Kompetitif,
Yogyakarta : Tiara Wacana, 1991.
Mahendra, Yusril Ihza, Dinamika Tata Negara
Indonesia, Jakarta : Gema Insani Press, 1996.
Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 1999 tentang Pengawasan Partai Politik oleh Mahkamah Agung.
Peraturan Pemerintah RI Nomor 83 tahun 2012
tentang perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2009 tentang Bantuan
Dana kepada Partai Politik.
Tutik, Titik Triwulan, Konstruksi Hukum
Tata Negara Pasca Amandemen UUD 1945, Jakarta : Kencana, 2010.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang
perubahan atas UU Nomor 2 tahun 2008 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Pemilihan Umum.
[1] Jimly Asshiddiqie, Desember 2006, “Partai
Politik dan Pemilihan Umum Sebagai Instrument Demokrasi”, Jurnal Konstitusi,
Volume 3 Nomor 4, hlm. 6.
[2] Lihat Pasal 1 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 Tentang Pemilihan Umum.
[3] Yusril Ihza Mahendra, Dinamika Tata Negara Indonesia, Jakarta :
Gema Insani Press, 1996, hlm. 177-178.
[4] Ibid., hlm. 178.
[5] Ibid., hlm. 179
[6] Ibid., hlm. 180.
[7] Jimly Asshiddiqie, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara Jilid II, Jakarta
: Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi RI, 2006, hlm. 153.
[8] Ibid., hlm. 153-154.
[9] Ibid., hlm. 154.
[10] Miriam Budiharjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Jakarta : Gramedia
Pustaka Utama, 1992, hlm. 163-164.
[11] Jimly Asshiddiqie, op. cit., hlm. 160.
[12] Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
[13] Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2
tahun 2008 tentang Partai Politik.
[14] Lihat Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik.
[15] Jimly Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat Pembubaran Partai Politik dan
Mahkamah Konstitusi, Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah
Konstitusi RI, Jakarta, 2006, hlm. 113.
[16] Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang perubahan atas UU Nomor 2
tahun 2008 tentang Partai Politik.
[17] Lihat Peraturan Pemerintah RI Nomor 83 tahun 2012 tentang perubahan atas
Peraturan Pemerintah Nomor 5 tahun 2009 tentang Bantuan Dana kepada Partai
Politik.
[18] Lihat Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik.
[19] Lihat Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1999
tentang Pengawasan Partai Politik oleh Mahkamah Agung.
[20] M. Rush Karim, Pemilu Demokrasi Kompetitif, Yogyakarta : Tiara
Wacana, 1991, hlm. 2.
[21] Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata
Negara Indonesia Pasca Reformasi, Jakarta : PT Bhuana Ilmu Populer, 2008,
hlm. 710.
[22] Ibid., hlm. 735.
[23] Titik Triwulan Tutik, Konstruksi Hukum Tata Negara Pasca Amandemen UUD
1945, Jakarta : Kencana, 2010, hlm. 329.
[24] Ibid., hlm. 330.
[25] Ibid., hlm. 331-332.
[26] Ibid., hlm. 333.
[27] Ibid., hlm. 334-335.
[28] Ibid., hlm. 335.
[29] Ibid., hlm. 337.
[30] Ibid., hlm. 338.
[31] Ibid., hlm. 339.